Friday, October 13, 2006

Puasa Kaum Muslimin Salah di Sebelas Negara
Mas’ud shobari**)

Sekurang-kurangnya terdapat sebelas negara arab yang memulai puasa mereka pada hari sabtu. Mereka beranggapan bahwa hari sabtu tersebut hari pertama berpuasa, akan tetapi di sana ada pendapat ilmiah yang menetapkan bahwa melihat hilal pada malam hari sabtu adalah suatu yang mustahil. Maka, adapun permulaan ramadhan adalah hari ahad atu senin. Dan hal ini menimbulakan pertanyaan tentang posisi jutaan umat islam yang memulai puasanya pada hari sabtu. Dan apa yang menjadi pendapat mereka itu bukanlah hilal Ramadan.

Adapun hukum syariat dalam hal ini adalah, bahwa, bagi setiap orang agar berpuasa dengan apa yang ditetapkan oleh mereka bahwa hal tersebut benar. Walaupun mereka berpuasa 31 hari karena hari pertama mereka puasa salah, maka hal itu sebenarnya tidak apa-apa, dan diangkatlah kesulitan dari seseorang yang telah melakukan ijtihad dari umat.

Sedangkan dalil bahwa seseorang berpuasa bersama orang yang benar ru’yahnya. Tidak ada persoalan apapun terhadap mereka sebab kesalahan mereka sendiri, dan adapun yang benar menurut nabi, bahwasaanya beliau telah bersabda, “puasa adalah pada hari dimana kalian berpuasa, dan berbuka (hari raya) adalah pada hari dimana kalian berhari raya, dan korkorban adalah pada hari dimana kalain berkorban.

Maka dengan itulah syaikh Yusuf Qardhawi berfatwa tentang “ Sahnya puasa orang yang salah dalam menentukan awal Ramadhan dan berpuasa satu hari pada bulan Sya’ban, lalu beliau berkata, bahwa kesalahan seperti ini adalah dimaafkan. Maka apabila seorang saksi mata salah dalam persaksiannya bahwa ia telah melihat hilal pada bulan Ramadhan atupun Syawal, dan itu menyebabkan orang-orang berpuasa satu hari terkhir pada bulan Sya’ban dan berbuka satu hari terakhir bulan Ramadan, maka sesungguhnya Allah SWT. sangatlah mudah untuk mengampuni mereka atas kesalahannya”, dan Allah telah mengajarkan kepada mereka untuk berdoa, (…”ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah,…” Q.S al-Baqarah: 286,). Bahkan jika seandainya mereka salah dalam melihat hilal DzUl Hijjah, hingga mereka wuquf di Arafah pada hari kedelapan atau kesembilan, dalam kenyataan dan dalam perkara yang sama, maka haji mereka tetap sah dan diterima, seperti halnya yang pernah ditetapkan oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan beberapa ulama lainnya.

Imam Ibn Qayyim (rohimahullah) pernah menukil dari salah seorang Imam Hadist, Imam al-Khitabi telah berkata, “bahwa kesalahan telah diangkat atau dihapus dari manusia dari sesuatu yang bersumber dari ijtihad. Maka seandainya ada suatu kaum yang berijtihad, dan mereka belum melihat hilal kecuali setelah tanggal tiga puluh Ramadhan, dan mereka belum berhari raya sehingga mereka menyempurnakan hitungan, kemudian setelah itu mereka menetapkan bulan tersebut dua puluh sembilan hari, sedangkan sebenarnya puasa dan buka mereka adalah pada hari kemarin yang sudah berlalu, maka tidak ada dosa dan kesusahan bagi mereka.

Penafsiran ilmiah terhadap hilal di hari sabtu

Nah, selanjutkan bagaimanakah kita membuktikan letak kesalahan dari ru’yah hilal Ramadhan hari jumat?

Ir. M. Syaukat ‘Audah kepala proyek Islam bidang meteorologi menjelaskan secara ilmiah tentang munculnya hilal Ramadhan hari sabtu. Beliau menilai bahwa ru’yah hilal pada hari jumat adalah mustahil bagi seluruh negara islam, hal itu dikarenakan terbenamnya Rembulan sebelum matahari tenggelam pada hari itu. Rembulan tersembunyi di kota Makkah al-Mukarramah pada hari jumat satu menit sebelum terbenamnya matahari, di Abu Dhabi sebelum dua menit, dan di Kairo sebelum satu menit.

Beliau menambahkan bahwa tidak ada satu negarapun yang mengumumkan ru’yah hilal hari Jum’at kecuali Saudi Arabia. Dan berkaca pada letak bulan hari Jum’at di Saudi, seperti yang dikatakan Ir. Syaukat, “kita mendapati bahwa Rembulan telah tenggelam di seluruh wilayah Saudi. Dan hal inilah yang ditetapkan seluruh pakar ilmu falaq di seluruh penjuru dunia bahkan sebagian orang Saudi ada yang menetapkan atau menyatakan bahwa permulaan bulan Ramadhan adalah pada hari ahad berdasarkan ru’yah hilal.

Beliau menafsirkan bahwa apa yang telah dilihat oleh sebagian orang Saudi dari ru’yah hilal yag mereka laksanakan adalah benda angkasa dan bukanlah hilal/bulan sabit. Karena, setelah terbenamnya matahari pada hari jum’at, di langit terlihat ada tiga benda angkasa, yakni, Mars, Merkurius, dan Jupiter, sedangkan satu dari ketiga bintang ini tidak menyerupai Rembulan dan Bintang, dan planet paling dekat yang mungkin terlihat adalah Merkurius karena letaknya yang berdekatan dengan ufuk (kaki langit, horison, dan cakrawala) setelah terbenamnya matahari.

Dr. Syaukat menunjukkan bahwa kejadian seperti ini bukanlah pertama kalinya yang terdapat kesalahan di dalamnya dikarenakan penglihatan mata telanjang kita. Dan Saudi pernah berpuasa di bulan Ramadhan pada tahun 1984 hanya selama 28 hari karena salah satu saksi mata meyakini terdapat dua planet yang muncul bersamaan dengan hilal, yakni, Merkurius dan Venus.

Hamzah Qablan al-Mazini, salah seorang penulis Saudi menyampaikan bahwa lembaga-lembaga ilmiah telah menetapkan ketidakmungkinan untuk melakukan ru’yah pada hari Jum’at, hal ini seperti apa yang telah beliau tulis pada sebuah koran nasional seraya menyatakan bahwa, sejumlah ahli spesialis bidang ilmu falaq dan lainnya berpendapat bahwa hilal akan terbenam (hilang) di kawasan negara islam dan arab beberapa menit sebelum terbenamnya matahari pada tanggal 29 Sya’ban pada tahun ini, dan inilah yang ia maksud dengan kemustahilan seseorang untuk melihatnya.

Dan dari beberapa orang yang menyampaikan hakikat perhitungan ini -yang dalam ungkapannya menyatakan kebenarannya- adalah Syaikh Abdullah bin Muni’, anggota lembaga tinggi ‘ulama, dalam pernyataannya yang disiarkan oleh majalah Saudi, 9 Ramadhan 1427 Hijriah. Dan sebagaimana apa yang disampaikan oleh sejumlah spesialis dan ahli dari Saudi Arabia dan para muslimin dan sejumlah besar badan astronomi dan meteorologi juga beberapa lembaga ilmiah di seluruh penjuru dunia. Diantaranya adalah lembaga negara bidang observasi astronomi dan geografi mesir yang menguatkan bahwa sebagian besar ibu kota-ibu kota negara islam dan arab tidak dimungkinkan untuk melihat hilal Ramadhan pada sore hari ke-29 Sya’ban. Dan lembaga tersebut menerangkan dengan jelas bahwa hilal bulan Ramadhan al-Mubarak akan lahir dan muncul sebelum terbenamnya matahari di sebagian besar negara dengan periode waktu sebentar dan akan hilang beberapa menit sebelum tenggelamnya matahari yang tidak mungkin untuk melihatnya. Hal ini menunjukkan bahwa ia akan hilang sekitar dua menit sebelum tenggelamnya matahari di Madinah al-Munawarah, Portsaid, Tunis, Damaskus, Palestina, Riyadh, Kuwait, dan tiga menit sebelum tenggelam di Ankara dan empat menit di Teheran.

Sedangkan, yang mengherankan dalam hal ini, bahwa tiga orang yang mengaku bahwa mereka telah melihat hilal berkata telah melihat hilal setengah menit setelah terbenamnya matahari di Hauthoh Budair, kawasan Riyadh Saudi Arabia, padahal enam dewan ilmiah Saudi yang terdiri dari Hakim, para ulama falaq dan yang lainnya tidak bisa melihat hilal , tidak dengan mata telanjang, dan juga tidak dengan teleskop. Sementara kerajaan justru mengumumkan melihat hilal yang berdasar pada ru’yah beberapa orang yang salah dalam ru’yahnya.

Penulis mengutip, bahwa Syaikh Ibn Ustaimin Rahimahullah telah menolak untuk berpegang atau berdasar pada pernyataan saksi mata yang mengaku telah melihat hilal pada waktu yang tidak pernah diperkirakan atau diprediksikan kemunculannya diatas horison.

Dan jawaban beliau terhadap direktur badan meteorologi dan geofisika, “apabila matahari gerhana setelah terbenam dan seorang telah menduga melihat hilal di suatu negara yang telah hilang mataharinya sebelum ia gerhana, maka sesungguhnya pengakuannya ini tidak bisa diterima secara pasti, karena hilal tidak dapat dilihat dalam keadaan seperti ini. Maka orang yang menduga itu ragu apabila ia benar-benar orang yang tsiqah, dan pendusta jika ia bukan orang yang tsiqah. Dan para ulama’ telah menyebutkan sebuah kaidah yang bermanfaat dalam hal ini, bahwa “seorang yang telah mendakwa apa yang mendustakan hal-hal kasat mata, maka tidak didengar pernyataannya”, [dinukil dari Ustadz Khalid Az-za’aq, majalah al-Jazirah, 27 Sya’ban 1427].

Penyanggahan dan Ijtihad

Sedangkan Dr. Nasr Farid Washil (Mufti mesir dahulu yang juga anggota Majma’ Buhus al-Islamiyah) melihat bahwa Saudi Arabia telah menyeleweng atau mengingkari apa yang telah disepakati dari keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dalam seminar Kalender Hijriyah di Jeddah 1997. Dan benarlah apa yang telah diambil oleh Daaral Ifta’ dan beliau berkata, “bahwa apa yang telah lengkap dalam pemberitaan ru’yah hilal bulan Ramadhan tahun ini di negeri Mesir termasuk Muttafaq alaih sesuai denga ru’yah ilmiah yang pasti dan beberapa aspek syariat, maka dari sini bahwa ijtihad sebagian orang terbukti salah.

Adapun Daaral Ifta’ Mesir juga telah melaksanakan ru’yah hilal Ramadhan setelah terbenamnya matahari pada Jumat 29 Sya’ban 1427 H. yang bertepatan dengan tanggal 22 September 2006 M. Dan telah terbukti oleh mereka bahwa hasil dari ru’yah syar’iyyah dan perhitungan-perhitungan ilmiah adalah tidak adanya ketetapan hilal bulan Ramadhan tahun 1427.

Kesalahan semacam ini menimbulkan problem seputar ru’yah hilal dengan mata telanjang. Dan keberadaan satu saksi saja -untuk dapat berpuasa dengan ru’yah tersebut berjuta-juta manusia-, maka di sana terdapat sebuah ijtihad dari Syaikh Muhsin al-Abikan, Penasehat Menteri Keadilan Saudi Arabia, beliau berpendapat, bahwa yang diambil adalah yang berdasar pada riset penelitian ilmiah dan meninggalkan ru’yah dengan mata telanjang, seperti apa yang beliau tulis dalam koran “Arab News” Saudi Arabia dan seperti apa yang telah beliau sampaikan di Televisi Saudi chanel 2.

Beliau melihat bahwa hadist-hadist yang ada tidak menggariskan kewajiban menggunakan metode ru’yah dengan mata telanjang. Dan menempuh ru’yah dengan mata telanjang terhitung sebagai suatu cara yang primitif pada masa perkembangan ilmu dan teknologi. Dan tidaklah diantara Islam dan ilmu terdapat pertentangan sebagaimana dalam agama Masihi yang terdapat kontradiksi antara keduanya pada masa-masa pertengahan.

Abikan berpendapat, menolak ru’yah dengan mata telanjang dengan berkata, ”tidak terhitung secara logika akan kesempurnaan penentuan permulaan bulan Ramadhan melalui bentuk taqlid yang bergerak dengan mengirimkan dua orang ke Sahara guna meneliti dan melihat hilal, sehingga berakibat bahwa puasa jutaan umat islam adalah mengikuti apa yang disampaikan oleh dua orang tadi, dan atas tanggung jawab individu mereka, pada suatu masa yang di dalamnya bisa kita temukan dengan mudah untuk melihat hilal melalui alat-alat teropong dan satelit-satelit buatan tanpa ada kesalahan sedikitpun”.

Di sela-sela munculnya pergesekan kekacauan antara ru’yah mata telanjang dan perhitungan astronomi, Ir. ‘Audah berpendapat –dalam makalahnya yang berjudul “Hilal Ramadhan Antara Hisab Falaki dan Ru’yah”- bahwasanya dalam hal ini harus ada sebuah pemahaman Hadits yang benar, dan supaya kita menentukan atau mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan ru’yah yang terdapat dalam Hadits. Maka bagaimana mungkin kita terima pernyataan/kesaksian satu orang, sementara ilmu pasti menyatakan tidak adanya kemunculan hilal? Karena manusia mungkin saja telah melihat benda lain. Dan di dalam hal ini tidak ada perselisihan terhadap Hadits, sebagaimana pada saat yang sama tidak mungking diterima apa yang dituntutkan sebagian ahli falak tentang penyandaran permulaan bulan hanya dengan terjadinya konjungsi (semakin mengecilnya bulan atau munculnya hilal) sebelum terbenamnya matahari. Dan ini adalah penyelewengan yang jelas terhadap perintah Allah yang menghubungkan/mengaitkan waktu-waktu tertentu kaum muslimin dengan Hilal dan bukan dengan semakin mengecilnya bulan (konjungsi / pertalian atau lahirnya hilal).
Adapun sikap yang benar disini adalah menggabungkan atau mengelaborasikan antara ru’yah dengan mata telanjang dan penyandaran terhadap perhitungan-perhitungan ilmu falak.[Wallahu a’lam]

**) peneliti bidang Syari’at pada Fakultas Daar al-Ulum dan bidang keislaman di Islam-Online.
(Terjemah dan harmonisasi oleh, M. Luthfi al-Anshori)

2 Komentar:

Sherlie Yulvianti said...

Lutfi,disana kapan lebarannya? Disini umat muslim amat sgt tidak kompak. Muhamadiah bilang senin eh Nu bilang selasa. Jd bingung

Sabdapena said...

biar gak bingung gimana kalo kita ngikut pemerintah aja. saya rasa itu bisa jadi solusi. dan jika semua orang bisa seperti itu pasti bisa jadi kompak deh lebarannya....Semoga!