Tuhan Menjaga Cintaku!?

Tuesday, December 25, 2007


Tuhan, melalui risalah agung-Nya telah mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa ber-khusnudzdzan (positive thinking); baik dalam keadaan yang susah (tidak disukai), terlebih dalam keadaan senang (yang disukai). Sebab keduanya adalah takdir yang telah digariskan Tuhan untuk setiap orang, yang di balik itu pasti ada hikmah atau nilai pelajaran yang bisa diambil. Namun bukan manusia namanya jika ia selalu benar dan tak pernah salah. Atau, kaitannya dengan pembahasan ini, selalu menjaga khusnudzdzan tanpa pernah ber-su'udzdzan. Sungguh sulit. Meskipun berusaha sekuat apapun, sesekali masih terbersit dalam hati untuk berprasangka buruk. Ya, walaupun di sisi lain kita juga mengakui, bahwa tidak semua prasangka itu dilarang. Misalnya, dalam kasus kejahatan, atau hal-hal lain yang terkait dengan tindak kriminal atau hukum; bahkan sebuah prasangka/kecurigaan itu mungkin dibutuhkan!?.

Nah, kali ini pembicaraan prasangka itu terkait dengan urusan asmara. Dalam menjalin sebuah hubungan cinta (yang menurutku adalah anugrah termegah yang diberikan Tuhan kepada manusia) terkadang muncul berbagai tanda tanya, atau bahkan rasa sayang yang tak jarang diiringi rasa curiga. Terlebih jika hubungan itu dipisahkan oleh jarak yang membentang luas (baca: Long Distance relationship [LDR]). Prasangka buruk, rasa curiga, atau bahkan tak percaya seringkali menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi. Oleh sebab itulah mungkin banyak orang yang enggan, bahkan menolak serta-merta untuk masuk ke dalam lingkaran LDR. Dalihnya adalah phobia terhadap kegagalan.

Alhamdulillah! Sejauh ini Tuhan masih menjagaku, menjaga cintaku dari ketakutan-ketakutan. Rasa percaya dan khusnudzdzan yang dipatrikan Tuhan dihatiku, seakan menjadi penjaga keutuhan cinta. Sesekali su'udzdzan memang masih menghampiri,
namun berkat rahmat-Nya pula datang sebuah pengingat atau peringatan dari sang 'Dewi'. Yang datang memang bukan barisan kata apologi atau pembelaan diri dan pernyataan bahwa dia baik-baik saja (baca:tetap setia, tetap mencinta). Namun seakan beberapa baris kata yang keluar tidak aku minta itu menjadi pengingat; "hey, kenapa kamu masih berburuk sangka, tak percaya akan ketulusan hatinya. Ia masih tetap seperti dulu, yang mencintaimu dengan sederhana, namun melalui perjuangan yang tak ringan. Entah datang pada saat chating, atau dari sekedar sms. Yang jelas seakan kedua hati itu tau masing-masing isinya, sehingga bisa saling bertanya dan menjawab. Maka dari itulah aku mulai dan sangat menghormatinya.

Hingga kini, aku masih merasakan; Tuhan menjaga cintaku. Sebuah anugrah yang datangnya tiba-tiba, tanpa kuminta. Namun sebagai manusia aku sadar betul bahwa bumi ini berputar, begitu juga hati yang terbolak-balik. Allah Yang Maha Kuasa akan sangat mudah membalik keadaan dalam sekejap mata. Maka aku tak buta untuk senantiasa memohon kepada-Nya. Agar cinta ini tetap Ia jaga, dan hati ini selalu diberi cahaya dan ketetapan, untuk selalu tersenyum dan sabar menjalani setiap liku asmara dan labirin dunia.

Dan kemarin aku telah berprasangka padamu, sayang! Bahwa aku menuliskan sebuah puisi tentang rindu yang berisi anggapan-anggapanku bahwa kamu telah "memasung rindu". Bahwa kamu begitu benci terhadap rindu, karena kedatangannya hanya menyisakan sepi, sunyi dan sendiri yang tak kunjung bertepi. Sementara aku sendiri menganggap rindu sebagai obat malasku yang paling setia. Karena kedatangannya menghadirkan daya dan energi untuk terus berlari mengejar mimpi. Maka aku takut akan terjadi kontradiktif antara rinduku dan rindumu. Tapi alhamdulillah, anggapanku itu segera kau bantah. Sebab di tengah malam tadi, kau masih mau mengirimkan sms rindu padaku:) Maka maafkanlah aku, semoga aku selalu bisa khusnudzdzan padamu.

"Tuhan, berilah aku sebuah rizqi berupa cinta-Mu dan cinta seseorang yang dari cintanya itu dapat mendekatkanku pada-Mu. Duh Gusti, Jadikanlah apa-apa yang aku cintai sebagai rizqi-Mu pula yang mampu memberikan kekuatan untuk dapat melakukan hal lain yang kau cintai...al-Hadits..."(HR. Turmudzi dari Abdullah bin Zaid al-khatmiy.[]

(Cairo, 25 Des 2007)

Baca Selanjutnya...!...

Cerita Idul Adha di Negeri Musa

Thursday, December 20, 2007

Senin (17/12) sore aku baru ngeh kalo hari raya Qurban tahun ini jatuh pada hari Kamis (19/12), setelah aku membuka pengumuman dari KBRI Kairo yang disebar-luaskan lewat millist. Yah, udah kelewatan deh hari Tarwiyahnya, so, cuma bisa melaksanakan puasa hari Arafahnya saja (18/12). Tak apalah, masih mending bisa puasa Arafah. Alhamdulillah. H-1 lebaran, suasana Kairo -khususnya di kawasan Hay ‘Asyir dimana kebanyakan mahasiswa Indonesia tinggal-, sudah tampak sepi. Jalan-jalan lengang dan beberapa toko yang biasanya beroperasi siang dan malam sebagian tutup. Sebab, sebagian besar para pedagangnya pulang kampung (mudik) untuk merayakan Idul Adha bersama sanak keluarga. Maka sebagai antisipasi, aku dan beberapa kawan serumah belanja cukup banyak untuk persediaan selama beberapa hari, minimal selama hari Tasyrik.

Berbeda dengan Indonesia, hari raya Idul Adha bagi masyarakat Mesir lebih istimewa daripada Idul Fitri. Suasana idul Fitri di bumi para nabi ini terkesan biasa-biasa saja, sementara di Indonesia, arus mudik masyarakat kota seakan tak pernah berkurang setiap tahunnya, bahkan selalu bertambah dan menyebabkan hiruk-pikuk tak terterhingga. Bagi masyarakat Mesir, yang istimewa bukan terletak pada perayaan hari raya Idul Fitrinya, tapi hari-hari selama bulan Ramadhan yang bagi mereka benar-benar menjadi ladang subur untuk beramal. Kalau melihat ke Indonesia, boleh dibilang yang terjadi adalah sebaliknya?!

Kembali membincang suasana Idul Adha di negeri Musa, usai melaksanakan ibadah sholat Ied, yang aku dapati adalah sepi, sunyi dan senyap. (Ya tentu saja, lha wong akunya cuma diam di rumah..!hiks..). Namun ketika aku beranjak beberapa langkah saja dari rumah, atau bahkan memanfaatkan angkutan transportasi yang masih beroperasi untuk jalan-jalan sekenanya mengikuti laju angkutan, yang ada adalah darah dimana-mana. Bahkan terkadang, bercak-bercak darah itu nyasar ke mobil-mobil. Orang Mesir memang terkenal jorok dan sembarangan. Menyembelih hewan kurban di pinggir-pinggir jalan semaunya. (ya mungkin karena sudah tidak ada lahan lain kalie..). Bahkan jika kebetulan ada air selokan (emang ada selokan di Mesir?) yang meluap ke jalan-jalan, warnanya berubah merah. Hari pertama hanya aku habiskan di rumah (boring banget yahh, mending kalo di rumahnya sambil nyate! Lha ini, ughh,..garing bangett!).

Hari kedua pagi aku masih di rumah. Bangun agak telat, jam 07.00. Untuk ukuran musim dingin jam segitu masih pagi banget kok! (Apologi..hehe). Namun untuk mengisi hari ini telah ada beberapa jadwal yang menanti; yaitu ngambil daging dari Muqattam, rumah Syeih Muhammad Khalid Tsabit -untuk dibagikan ke kawan-kawan Hadrah- habis Dzuhur, lalu jam 4 sorenya ada undangan ngisi Rebbana/Sholawatan pada acara Tasyakuran Renovasi Wisma Nusantara di Rab’ah bersama kawan-kawan an-Nahdlah (nama grup Hadrah asuhan Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir).

Ah...pagi yang sepi. Tiba-tiba suntuk menghapiriku. Tak tau mengapa. Aku buka jendela kamarku, kupasang kedua mataku yang tak lagi ngantuk untuk menelisik kondisi sekitar. Ohh...lengang....! Sepi, sepi dan sendiri aku benci. Kawan-kawan serumah tak tau entah sedang beraktifitas apa. Pintu kamarku masih tertutup. Tapi kayaknya mereka pada belajar, sebab ujian semakin dekat. Aku bosan. Mau belajar, lagi nggak mood. Ahh...tapi aku paksa untuk membuka-buka diktat. Suntuk mesih saja menghantui. Mungkin ini pengaruh dari mimpiku semalam?. Yang membuatku semakin merindu dengan suasana tanah air, keluarga, demikian juga kekasih!. Ahh..aku putuskan untuk mengirimkan sms ke keluarga. Aku bilang ke mereka dalam nada canda: “Halo,Assalamu’alaikum.wah,lg pd nyate nih critanya?hehe.enak dunk!kirimin kMesir dong,haha(brcnda)Msak hr raya idul Adha pun ga mrskn dging,ihik,ihik”. Childish banget ya..! Biarin...Duobrak..! dan...aku menanti sebuah balasan, tapi, kosong! Tak ada tanggapan, semakin sedih aku sendiri mengeja sunyi

Suasana sepi yang bembalut Kairo bertambah sunyi ketika hujan rintik-rintik membasuh buminya. Hanya sebentar. Di Mesir emang jarang-jarang hujan. Pantesan aja kalo sekali turun hujan seakan masyarakatnya begitu senang. “Ini adalah berkah dari Tuhan”. Hingga siang, sampai adzan Dzuhur berkumandang, rintik hujan kembali berjatuhan dari langit yang mendung sedari pagi. Ughh...semakin dingiin. Sembari mengisi kekosongan dan menghibur hati yang sedang merindu, iseng-iseng aku nyalakan komputer bututku lalu menulis puisi:

Sepi di Idul Adha

Kubuka jendela pagi
aku terkesima
menyaksikan alam yang begitu sepi.
Kutatapi bangunan Masjid bercorak merah bata
Di bebalik pintunya yang masih terbuka separo
ada beberapa orang melakukan percakapan berjubah coklat tua
itu baju kebesaran mereka di musim dingin
lalu masing-masing berjalan ke arah kubus-kubus yang berdiri kokoh
lalu lengang kembali datang.

Bagiku udara pagi ini tidak sebegitu dingin
angin yang datang memasuki ruang kamar juga tenang, sepoi
tidak seperti biasa yang suka tak sopan menggedor, bahkan menerobos
menerbangkan kertas-kertas, membawa debu, pasir.
Namun desir hatiku pagi ini sebegitu kencang
rongga dadaku dingin dihinggapi rindu.

Kesunyian alam seakan menyelinap!
aku termangu tak berdaya
dirajam perasaan dalam penjara kesendirian
Mimpi demi mimpi yang mengabarkan kebersamaan
justru menambah getir
karena yang maya tak lebih fatamorgana.

Dan aku semakin merindu
ditingkahi mimpi yang menghadirkan bayangmu
dalam malam-malamku yang tak lagi putih.

Dan pagi ini,
tatkala kubuka jendela kamarku
aku mendapati sepi yang tak biasa
di hari Idul Adha yang menyiratkan semangat berkorban
maka aku menenangkan diriku
dengan sejenak melakukan penghayatan
bahwa hidup adalah pengorbanan;
lebih baik berkorban penuh lapang
daripada terpasung dalam diam,
menggerutui nasib yang belum terbayang!?.[]

(Mutsallas, 20 Des 2007, 11 Dzulhijjah 1428 H)

Baca Selanjutnya...!...

Gejolak Jiwa Dalam Diam

Tuesday, December 11, 2007


I
Di sebuah senja kelam
Aku menemukanmu terduduk diam
Ternyata sudah beberapa hari engkau bungkam
Lalu menghilang di antara kesumpekan
-
Bebunyian itu sudah lama pergi dari telingaku
Ringtone Hp bututku yang tetap sabar menandai pesan
Biasanya ia selalu datang dengan senyuman
Tapi kini seakan hendak lari
Menyisakan sepi…

Seribu bebunyian tanya lalu kukirimkan
Kepada siapa saja, apa saja
Yang dalam memorinya pernah tau tentang kita
Dan,…
Tak ada jawaban.
Kamu sembunyi berteman sunyi
Aku terdiam karna kau tetap bungkam
Berteriakpun aku tak mampu mengusir diammu
Sekeras apapun hatiku bertanya mengharap jawab
Kandas tak bertepi
Hempas diterpa ambigu
Kapankah kau akan membuka mulutmu?
Aku telah lama menunggu,
Tersengal di ruang rindu.

II
Tolong katakan padaku
Dengan bahasa apalagi aku bisa memanggilmu
Aku sudah kehabisan suara
Otakku semakin bingung memikirkan cara
Agar aku bisa kembali menyapamu
Dan kau faham akan maksudku.
-
Dirimu aku pahami setulus hati
Namun diriku kehilangan hati
Hatiku telah kau kuasai;
Memikirkanmu adalah ritual keseharian tak bertepi
Mengingatmu adalah episod teristimewa yang kupunya

Mungkin hatiku tau kamu butuh waktu
Dan aku akan bersabar
Mengakrabi setiap sunyi
Dalam diammu aku sendiri
Berteman sepi.[]

*) Aku lupa entah kapan pernah menuliskan sajak di atas, yang baru saja aku temukan di antara lembar-lembar kertas berserakan...

Baca Selanjutnya...!...

Munajat Kaum Puisi


Pada suatu malam yang cerah, dimana langit terlihat begitu bersih; tanpa rembulan, tanpa bintang-bintang, mungkin karena para malaikat, peri, dan ruh-ruh para nabi turun ke bumi, sekelompok anak manusia yang menamakan diri mereka para penganyam kata berkumpul di sebuah halaman terbuka beralaskan sahara. Tujuan perkumpulan itu tiada lain adalah untuk memanjatkan do’a, meminta apa yang bisa diminta, kepada Dzat yang selalu siap untuk diminta, demi kemakmuran dunia.

Karena mereka terdiri dari berbagai tingkatan umur, seluruh yang hadir bersepakat sang penyair tertua diberikan kesempatan untuk memimpin do’a. Dan sejurus kemudian, sepp…. ! suasana menjadi hening, sunyi. Masing-masing mereka terdiam berkonsentrasi untuk menyimak dan mengamini munajat kaum puisi. Pernafasan pun mereka atur sebaik mungkin agar bisa khusyuk memanjatkan puja-puji. Dan, seett….

Bismillahirrahmanirrahim…
Dengan menyebut asma-Mu ya Allah Yang Maha Penyayang
Demi kekuasaan-Mu yang telah menitahkan pena untuk berfirman
Sungguh manusia telah tunduk di bawah katakata-Mu
Mereka berprilaku atas pondasi katakata-Mu
Mereka masuk sorga karena patuh atas katakata-Mu
Mereka masuk neraka karena ingkar atas katakata-Mu

Maka, kami adalah hamba kata-Mu
Yang meminta sedikit katakata-Mu
Untuk mewujudkan katakata baru
Yang mungkin lebih bisa diserap oleh para hamba
Melalui sajak sejuta makna
Mengurai rahasia
Menyibak tabir
Mengungkap hikmah di balik dimensi kata

Tuhan,…jikalau katakata-Mu tak kan habis walau dituliskan dengan tinta air laut yang maha luas,
Kami meminta ilham sedikit katakata-Mu
Untuk mewujudkan perdamaian dan kasih sayang
Amin.
(Gerbangtiga, Akhir Ramadhan 1428 H)

Baca Selanjutnya...!...

"Karena Kini Ada Kamu"


Kabut malu hempas di sana
Pekatnya tak lagi jahat
Hitamnya tak lagi gelap
Aromanya tak lagi hembuskan kesedihan
Redupnya tinggal kiasan

Nampaknya ia sungkan
Mungkin tak punya nyali
Ada yang tak biasa
Taukah ia mengapa?

Badai itu kirimkan kata
Ia tak kunjung kuasa
Dayanya tak lagi karsa
Congkaknya tak lagi perkasa
Auranya tinggallah hampa

Nampaknya ia takut
Mungkin pula tak berani
Ada yang beda
Taukah ia mengapa?

Karena kini ada kamu
Santunmu hapus pekatnya
Putihmu sirnakan gelapnya
Cahayamu nyala terang pancarkan arti hadirmu

Karena kini ada kamu
Kekuatanmu hadirkan damai tuk sejukkan hati semesta
Rendah hatimu cerminan luhur pekerti sarat makna
Keceriaanmu semerbakkan harum tulus hatimu

Karena kini ada kamu
Kamu…

Puisi titipan by:Exan

Baca Selanjutnya...!...

Darah Itu Merah, Jendral...!!??

Saturday, November 10, 2007


Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!

Tak ada satupun mahluk di dunia ini yang lebih besar dari-Nya,sehingga mereka bebas menindas yang lebih kecil.
Tak ada satupun manusia di bumi ini yang diberikan hak penuh untuk mengeksploitasinya, sehingga mereka bebas menjarahnya.
Dunia adalah tempat bernaung bagi semua mahluk-Nya, yang besar, yang kecil, yang melata, yang terbang, yang berjalan...untuk saling beriringan, bukan saling menjegal-menjatuhkan.
Bumi ini adalah ladang seluruh manusia, yang telah terbagi-bagi sesuai garis lintang maupun bujurnya...untuk sama-sama merawatnya, demi kemakmuran bersama, bukan kemakmuran perseorangan.

Allah Maha Besar!
yang selainnya hanya kecil
namun dengan limpahan ke-Maha Besaran-nya itu kita mampu menjadi besar, sesuai kadar ke-besar-an manusia, untuk menaungi yang kecil, bukan menindasnya.

MERDEKAAA.........!!
MERDEKAAA.........!!
MERDEKAAA.........!!

Pekik teriakan kalian begitu lantang memecah kebisuan
untuk membebaskan bumi dari perbudakan
untuk menyelamatkan dunia dari ke-fana-an
bebas dari penjajahan
menuju gerbang kemerdekaan...

Darah itu merah, jendral...!

Semangat kalian untuk berjuang,
Semangat kalian untuk berkorban..
Adakah masih tersisa hingga kini
yang terabadikan oleh patung-patung hingga nama-nama jalan??

kisah kepahlawanan kalian,..
masihkah membekas dalam jiwa setiap generasi muda?
setiap warga negara Indonesia?
Sehingga mereka memahami betul mahalnya anugrah Kemerdekaan,
sehingga tak mudah lalai untuk kembali dijajah??
apakah benar, bahwa darah kalin adalah tebusan dan jaminan
dimana setelah itu, Indonesia akan Merdeka selamanya
ataukah itu hanya sekedar uang muka
dimana ketika generasi penerusnya tak mampu melunasi perjuangan
maka kemerdekaan akan kembali tergadaikan???

Ah...apakah kita telah benar-benar Merdeka!!??

Yang jelas satu yang ku pahami; bahwa kalian "mati agar tanah air hidup selamanya".

Kairo, 10 November 2007.
(Untuk mereka yang selalu memperjuangkan hidup di mana mereka berpijak)

SELAMAT HARI PAHLAWAN!
SEMOGA KITA MAMPU MEMAKNAI SETIAP PERINGATAN BENAR-BENAR SEBAGAI PERINGATAN!?

Baca Selanjutnya...!...

Untuk Satu Pembedaan (Puisi Lama)

Tuesday, November 06, 2007

Apa yang terjadi?
Zaman apa ini?
Cahaya surya semakin memanas
Bumi pun mulai meleleh
Kabut gunung gelap lekat
Mulai turun ke permukaan
Mengelilingi kebenaran
Angin bertiup kawankan debu
Menghantam mata kaburkan pandangan
Dunia silau satu pilihan
Kebenaran...kebathilan
Campur baur tanpa perbedaan
Kali ini manusia dipermainkan
Untuk satu pembedaan
Gelap-terang, kaya-miskin,
Kesementaraan-keabadian.
Kefanaan dunia adalah nyata,
Gemerlapnya dunia hanyalah maya,
Maka, segeralah kau ketuk pintu cahaya-Nya
Menjadi pembeda yang benar-benar beda
Silahkan engkau singgah minum di kedai dunia
Namun bukan sekedar minum
Minumlah madu untuk dahaga akheratmu
Persiapkanlah,..zaman ini penuh racun![260404]




Baca Selanjutnya...!...

Mesir yang Aneh, Lucu dan Menjengkelkan

Monday, October 01, 2007


Pada Sabtu kemarin (29/9), kami (Grup Hadrah “An-Nahdlah”) berkesempatan untuk menghadiri sebuah seminar international yang diselenggarakan oleh “Jam’iyyah Syarqil Ausath li as-Salâm wa Huqûq al-Insân” di Perpustakaan Umum Mubarak, Giza. Satu hari sebelumnya, Jum’at (28/9) kami menerima tawaran itu dari Muhyiddin Basrani, Koordinator Lembaga Seni dan Budaya (LSBNU) Mesir yang kebetulan menerima informasi itu langsung dari Muhlason Jalaluddin, Lc, ketua Tanfidziyah PCINU Mesir. Mendengar bahwa kami akan diundang dalam sebuah seminar berskala internasional untuk berpartisipasi membawakan sebuah kesenian Islam Indonesia, tentu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Pada awalnya kami agak merasa kecewa karena beberapa personel inti kami menyatakan tidak bisa ikut karena bertabrakan dengan jadwal acara lainnya. Namun setelah melalui nego dan beberapa pertimbangan, akhirnya seluruh tim menyatakan siap untuk tampil. Alhamdulillah.

Sabtu malam pukul 19.00 CLT, kami telah berkumpul di Griya Jawa Tengah menunggu jemputan dari KBRI yang akan mengantarkan kami ke tempat seminar. Pertama kami meluncur ke arah Dokki karena menghampiri dua orang personel yang ada di sana, juga untuk menjemput Bpk. Muhammad Salim, salah satu Staf Atdikbud KBRI yang akan berangkat bersama-sama kami. Dari Dokki meluncurlah mobil el-tramco yang membawa kami menuju Giza, tempat Perpustakaan Umum Mubarak berada. Sampai di sana pukul 20.40. Lalu kami diberitahu oleh salah satu pegawai perpustakaan bahwa acara akan dilaksanakan di Auditorium Seminar Perpustakaan yang terletak di lantai 4. Ahh..sayang lift yang ada nampaknya tidak bekerja dengan baik, maka kami terpaksa naik melalui tangga biasa.

Beberapa saat kemudian, sampailah kita di lantai 4 lalu ditunjukkan dimana Auditorium itu berada. Memasuki Auditorium, hati kami tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Ada beberapa kesan yang terpotret oleh mata kami. “Loh…kenapa tempatnya sedehana banget. Penataan kursinya juga masih berantakan. Trus back-ground-nya mana? Kok seakan-akan gak ada “hawa” mau diadakan acara dalam ruanagn itu”. Demikianlah sekilas kesan aneh yang kami rasakan menatap kondisi ruangan seminar.

Lalu keanehan selanjutnya; “bukankah ini seminar internasional? Apalagi diselenggarakan di Perpustakaan Umum Mubarak yang notabene membawa nama baik Presiden Mesir. Apakah itu tidak memalukan jika muncul kesan dari para undangan bahwa acara ini terkesan tidak terkonsep secara rapi? Lalu dimana pula para panitianya? Gak ada satupun orang diruangan itu yang nampak seperti seorang panitia”.

Kamipun kemudian menanyakan keadaan yang “carut-marut” ini kepada Pak Salim yang katanya tahun lalu juga sudah pernah menghadiri acara yang sama. Menurut keterangan beliau, agenda semacam ini memang rutin diadakan setiap tahun. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, perwakilan Indonesia juga diminta untuk berpartisipasi dalam seminar semacam ini yang diwakili oleh Grup Nasyid Da’i Nada. Dan tahun ini kebetulan Indonesia mewakilkan utusannya kepada Grup Hadrah “an-Nahdlah” PCINU Mesir. Naifnya, acara tahun ini juga terkesan tidak ada perubahan dari tahun sebelumnya yang juga “carut-marut” dan tidak ada kesiapan dari pihak penyelenggaranya. KBRI beritanya tahun lalu sudah memberikan beberapa kritik maupun saran berkenaan dengan penyelenggaraan acara semacam ini. Namun hasilnya masih tetap nihil. Tak ada respon. Lucu memang! Acara berskala internasional tapi segi profesionalitasnya di bawah rata-rata mahasiswa Indenoesia Mesir (Masisir) dalam hal penyelenggaraan sebuah acara.

Sejurus kemudian, muncul dua orang panitia yang nampak menenteng sebuah spanduk. Mungkin itu yang akan dipasang sebagai back-ground panggung. Nah, ternyata benar. Spanduk itu lalu dipasang dengan bertuliskan seperti di bawah ini:

Kemudian, perasaan dongkol itu kembali muncul tatkala kita sudah menunggu selama bermenit-menit bahkan hampir satu jam diruang seminar tanpa ada jamuan, penyambutan, maupun ramah-tamah dari pihak penyelenggara. Yahh….kami dicuekin gitu aja! Sungguh tidak berperasaan! Ughh..! Sudah begitu yang muncul kemudian adalah gaduh dan riuh karena kedatangan beberapa wartawan stasiun televisi dan radio yang berebutan untuk melakukan wawancara, baik dengan penyelenggara maupun para tamu undangan. Diantara beberapa negara yang diundang adalah Indonesia, al-Jazair, Sinegal, Sudan dan Kazakstan. “Menjengkelkan! Ini acara yang sebenarnya wawancara atau seminar sih?”

Namun sedikit yang menjadi obat penawar kekecewaan kami, walau bagaimanapun bentuk atau wujud acara itu, yang penting nanti kita bisa masuk TV. Entah yang hadir sedikit atau banyak, yang jelas gaung kita bisa disaksikan dimana saja melalui stasiun televisi yang saat itu hadir. Bahkan penulis sendiri, sebagai koordinator Grup Hadrah sempat diwawancarai oleh dua stasiun televisi. Yang pertama adalah “O” TV, sebuah stasuin televisi lokal Mesir dan yang kedua adalah dari stasiun televisi Irak. Topik wawancaranya adalah seputar adat istiadat, ritual keagamaan, bahkan hingga pada masakan khas Indonesia yang ada (khususnya) pada bulan Ramadhan. Di samping itu, penulis juga diwawancarai seputar bentuk keikutsertaan kami (an-Nahdlah) dalam acara ini. Ahh…lumayan, setidaknya bisa masuk TV!

Eit…sebentar. Nampaknya masih ada lagi keanehan serta kelucuan yang terlihat dalam penyelenggaraan acara ini. Antara lain adalah; bahwa kedatangan para wartawan stasiun televisi dan radio itu seakan-akan memang telah direncanakan, atau dengan bahasa lain telah diundang atau diajak kerjasama oleh pihak penyelenggara. Hingga pada saat berlangsungnya acarapun, yang mengatur bahkan mengontrol acara adalah justru wartawan itu sendiri dan bukan panitia. Waah..sunguh aneh memang orang Mesir. Tapi satu sisi terlihat pintar, atau licik?. Acara yang sebenarnya tidak begitu hebat, namun bisa di blow-up sedemikian rupa hingga seakan menjadi acara yang besar karena disiarkan oleh beberapa stasiun televisi lokal maupun internasional, juga diliput oleh radio, koran dan majalah.

Setelah molor beberapa lama, akhirnya acara dimulai pukul 21.45 dan dipimpim langsung oleh Abdul Fatah Hamid selaku panitia seminar, sekaligus ketua dari “Jam’iyyah Syarqil Ausath li as-Salâm wa Huqûq al-Insân”. Telah hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut masing-masing perwakilan dari al-Jazair, Sinegal, Kazakstan dan Sudan. Sementara Indonesia, pada kesempatan itu tidak diminta untuk menjadi salah satu pembicara. Namun hanya berpartisipasi memeriahkan acara dengan penampilan Grup Hadrah “an-Nahdlah” asuhan Lembaga Seni dan Budaya (LSBNU) Mesir.

Sesuai tema yang diangkat, Abdul Fatah dalam pembukaan acara menjelaskan bahwa, seminar ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh ritual-ritual keagamaan maupun adat istiadat dari masing-masing negara, khususnya yang ada pada bulan Ramadhan. Di samping itu acara ini juga bertujuan untuk menjalin silaturrahmi dan ukhuwwah islamiyyah antar negara-negara muslim di dunia. Maka pada sesi selanjutnya, secara bergantian masing-masing pembicara menceritakan adat istiadat yang ada di negara mereka masing-masing dalam menyambut maupun mengisi bulan suci Ramadhan.

Pukul 23.00 CLT seminar usai, lalu dilanjutkan dengan beberapa penampilan seni. “An-Nahdlah” yang pada malam itu berkesempatan tampil pertama mempersembahkan dua buah shalawat Qoshidah diiringi tabuhan alat musik Rebana. Kemudian dilanjutkan oleh perwakilan dari Sudan yang menampilkan musik khas ala sudan bernama “Aud” mengiringi beberapa lagu kebangsaan mereka. Lalu perwakilan dari Mesir sendiri yang menyanyikan lagu khas ala Mesir.

Dan begitulah seluruh rangkaian acara pada malam itu. Kami keluar dari ruangan dengan berbagai rasa yang campur baur jadi satu. Rasa lapar, karena tidak ada jamuan makan maupun snack. Haus karena tak dikasih minum. Capai dan ngantuk karena acara molor terlalu lama. Juga sebentuk lucu, aneh, bahkan jengkel yang tersirat dalam penyelenggaraan acara ini. Namun yang terpenting dari itu semua, kami tetap berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik dari Indonesia untuk dunia. Karena kami datang atas nama duta bangsa, maka kami sebisa mungkin membalut perasaan-perasaan yang ada itu tadi dengan selaput kesabaran, lalu menghadirkan sebuah performa yang semaksimal mungkin. Bagaimanapun juga, pengalaman Ramadhan tahun ini tak akan terlupa untuk menjadi kenangan indah yang aneh, lucu dan menjengkelkan.[dicatat oleh: M. Luthfi al-Anshori]

Baca Selanjutnya...!...

Dalam Sepertiga Dimensi Ramadhan yang Pertama

Aku adalah manusia yang beraneka warna
Terkadang hitam, terkadang putih
Terkadang abu-abu, terkadang hijau, terkadang merah
Terkadang cerah seperti siang yang berderang,
terkadang gelap, pekat, seperti malam yang ditinggal sang rembulan.

Aku berlari mencari terang, sekuat tenaga
Namun aku terperangkap gelap yang menjerumuskanku ke lembah nista
Sudah aku rancang program-program menuju cahaya
Namun nafsuku masih begitu kuat dan liar mengobrak-abriknya
Dan aku pecah, retak tak jelas warna
Tak serupa bentuk
Apakah aku masih menjadi manusia?

Dalam cerahnya siang aku justru terpejam
Kalaupun terjaga, akupun tak bersigegas menata diri dan hati untuk menyambut kelahiran rembulan.
Dalam gelapnya malam lagi-lagi aku terpejam
Kalaupun terjaga aku tak bersegera mengetuk pintu langit
Menelusuri ‘arasy kelapangan yang menawarkan semburat kasih sayang
Menjelajahi dunia gelap yang di baliknya menghadirkan terang
Guna mengambil mutiara-mutiara abadi untuk bekal kembali ke sebuah ketiadaan
Ohh…duhai Sang pemegang siang dan pengendali malam
Aku sungguh lalai atas apa yang telah Engkau ajarkan.
Dunia-Mu telah mengaburkan pandanganku akan nilai-nilai
Gemerlap ciptaan alam raya-Mu membuatku terperanga lalu terhipnotis untuk begitu mengejarnya, mencintainya, dan mencumbuinya setiap waktu.
Hingga aku meninggalkan-MU, melupakan hak-Mu untuk kusembah, melalaikan kewajibanku untuk menyembah dan beribadah.

Ohh…sungguh dunia yang Engkau cipta fana begitu menggiurkan hati manusia
Dimensi fatamorgana yang engkau hadirkan sungguh menarik nafsu manusia
hingga mereka mabuk lupa daratan
berhijrah ke ruang hampa udara
dalam ektase yang sementara.

Aku adalah Abdi-Mu
Yang terkadang membangkang,congkak dan menolak kebijakan-kebijakan-Mu
Tatkala aku dirundung pilu, ketika aku dihinggapi sendu
Karena aku tak menginginkan pilu, karena aku tak mau sendu
Yang ku mau hanya satu;
Agar Kau turuti semua permintaanku, kau halalkan segala lakuku.

Ohh…manusia….
Manus-manus penuh dosa
Yang kamu bisa hanya meminta
Yang kamu mau hanya bahagia
Tidakkah engkau ingat; bahkan para nabi pun disiksa, diuji dan dianiaya
Bahkan Muhammad sang pemimpin para nabi pun telah dicaci bak penyihir gadungan yang menawarkan keahlian.
Maka jangan sekali-kali kau menginginkan sorga tanpa melalui ujian demi ujian
Yang harus kau tempuh adalah jalan berliku, terjal dan menyesakkan
Seperti labirin yang menakutkan.

Ooh….Tuhan Yang Maha Penyayang!
Aku adalah abdi-Mu yang hilang
Aku adalah pembangkang
Aku hanya mau senang.
Dan karena aku adalah manusia
Maka aku takkan malu berapologi di depan-Mu,
Bukankah cinta-Mu lebih besar dari sekedar benciku
Bukankan rahmat-Mu lebih agung dari kealpaanku menjalankan tuntunan-MU
Dan bukankah ampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosaku.
Aku hanya manusia
Yang masih labil dipermainkan dunia
Sementara istiqamah masih jauh di ujung cakrawala
Entah sampai kapan aku akan menemukannya
Untuk aku tukar dengan Ridha, cinta, dan ampunan-Mu…

Tuhanku…
Dalam dimensi rahmat-Mu
Aku datang, pasrah dan berserah…
Mengantarkan segudang salah
Agar Kau bimbing aku ke jalan yang terarah
Menyambut dimensi ampunan-MU
Menanti penyelamatan-Mu
Dari Jahannam yang seram.
-Musallast, 16 September 2007, 11.06

Baca Selanjutnya...!...

Do'a Menjelang Puasa; Sebuah Pengakuan

Monday, September 10, 2007


Tuhan,
Betapa banyak dosa yang selama ini telah aku lakukan;
dosa mata, telinga, mulut, kaki dan tangan
dosaku menumpuk bak buih di lautan.

Tuhan,
Betapa hati dan otak yang telah Engkau anugrahkan ini belum bersinergi
membentuk sebuah keyakinan, keimanan, ketakutan dan perbuatan
bahwa dosa adalah noda dan amal ibadah adalah cahaya
sehingga aku masih labil terombang-ambing satu pembedaan;
dunia-akherat
duniaakherat
hitam-putih
hitamputih
kesementaraan-keabadian
sementaraabadi
fatamorgana-fakta
hakekat.

Tuhan,
bukannya aku licik atau pengecut karena masih sering ngumpet-ngumpet berbuat dosa
tapi jika memang di hadapan-Mu; aku seperti itu, akupun pasrah!
toh aku juga tak akan pernah bisa ngumpet dari-Mu.
Tapi jujur: Aku sebagai Abdimu, yang walaupun masih sering bingung dan linglung;
aku sangat menghotmati-Mu, walaupun kau tak gila hormat sebagaimana kebanyakan manusia
aku juga berharap banyak pada-Mu, walaupun harapan itu sering tidak aku barengkan dengan usaha
aku juga takut pada-Mu, walaupun takutku itu belum mampu menghalangi maksiatku
dan aku sebenarnya sangat mencintaimui, sebagaimana aku cinta pada Sorga-Mu.
tapi busuk...
aku busuk,
mereka, kawan-kawan manusiaku juga busuk.
Karena telah tau tapi belum sadar,
karena telah berilmu tapi belum beramal.

Tuhan,
maka dari itu, Tuhan...
aku punya satu permintaan menjelang datangnya bulan seribu bulan;
"Bakarlah aku dalam Ramadhanmu,
biar aku lebur bersama dosaku
lalu menjadi abu yang suci
menjemput hari nan fitri
kembali seperti bayi".
-Gerbangtiga, 10 Sep '07

Baca Selanjutnya...!...

Kenapa?

Thursday, August 30, 2007


Kenapa harus berperang demi dunia
yang sebenarnya hanya fatamorgana?
kenapa tidak berperang untuk sorga
yang abadi kekal selamanya?

Kenapa para manusia lebih suka berjuang matimatian demi membela dirinya, organisasinya, dan kepentingannya
mereka lebih suka menggantungkan diri kepada sesuatu yang menjanjikan kesementaraan,
sementara kepada Dzat Yang Abadi dan menawarkan keabadian mereka abai?

entahlah,...
jawabannya mungkin karena manusia di dunia memang harus memilih, bukan dipilih
tapi keadaan mereka di akherat nanti dipilih, tak bisa memilih.
entahlah...manusia bodoh...manusia bebal...!
-gerbang tiga, 30 Agustus 2007

Baca Selanjutnya...!...

Memilih Pagi


Aku memilih pagi
mencari sepi, senyap dan murni.

Aku memilih pagi
menghindari gaduh, riuh dan polusi.

Aku memilih pagi
berkawan embun yang suci membasuh bumi
mengeja sepi-gaduh, senyap-riuh, murni dan polusi.
Di antaranya ada simfoni kehidupan yang harmoni
membentuk simpul-simpul sunnatullah
yang saling melengkapi.
sebab tanpa alam yang sepi, senyap, murni
aku akan bingung melabuhkan jiwa yang gaduh-riuh.
dan tanpa dunia yang berwarna penuh nuansa
kemana akan aku tumpahkan sunyi senyap hati yang dibalut sepi?

Aku memilih pagi untuk memulai hari
Bersama cicit-cuit burung yang ceria menyambut surya
setelah semalam suntuk bertekuk
dalam pekat malam yang tenggelam.
-Suq Sayyarat, 28 Agustus 2007.06.37 WK.

Baca Selanjutnya...!...

Elegi Diri Sendiri (Dimana Nasionalisme Itu?)

Monday, August 27, 2007


Aku sampai bingung hendak berucap apa.
Akupun tak tau hendak menuliskan apa.
Ooohh...Indonesiaku...!
Ooohh...Nusantaraku...!
Aku tak punya suara untuk berkata.
Aku tak punya pena untuk bersabda.
Aku hanya menangis, berkabung, dan terluka.
Melihat umurmu yang semakin tua,
namun rakyatmu tak kunjung dewasa.
-

Di malam tujuhbelasan ada perselisihan
Bukan aroma perjuangan yang harum-suci,
namun darah pertikaian yang anyir-najis.
teriakan-teriakan itu bukan lagi nasionalisme,
tapi kepentingan-kepentingan nafsu, suku, atau warna baju.
Entah apa yang terjadi di negeri asing ini
yang limaribu masyarakat Indonesia tinggal di dalamnya.
Sungguh naif,
Sungguh ironis.
Bumi para nabi menjadi gelanggang perseteruan para putra Pertiwi.
Serasa Fir'aun kembali ke tanah Musa,
merasuki jiwa para penerus bangsa
yang konon katanya sedang belajar agama.
-
Aku tak tau
Aku tak bisa
bibirku kelu
untuk berkata-kata.
maafkan aku Indonesiaku
Jika pada Dirgahayumu beberapa hari lalu
aku tak mampu mengeluarkan secuil komentar tentangmu,
bahkan sekedar do'a, harapan atau janji setia
Karena aku yang sedang pilu
melihat Merah-Putih berkibar letih.
-
Aku yang baru tersadar,
setelah sekian lama hanyut dalam kesedihan
sehingga mulut bungkam
tubuh layu
dan tinta beku.
ingin rasanya hari ini;
Sepuluh hari setelah ulang tahunmu yang ke enam puluh dua
Aku berucap sumbang dalam tangisan iba:
MERDEKA INDONESIA...!
DIRGAHARU NUSANTARA...!
Bersabar dan berdo'alah wahai Ibu Pertiwi
Nasionalisme anak bangsamu sedang diuji!
(Garden City-Cairo, 27 Agustus 2007)

Baca Selanjutnya...!...

Tentang Rembulan

Saturday, July 21, 2007

Di malam yang tinggal sunyi
Haikalmu tidak lagi bundar
Namun ronamu tetap menggairahkan
Cahyamu yang redup
Timpali permukaan air yang beriak tipis
Tampakkan gelombang kemerahan
Seperti wajah primadona yang baru dipinang.

Ohh…suasana yang sayang jika terlewatkan
Aku ingin mengabadikan aktingmu itu
Yang mewarnai air, malam dan kegelapan
Membentuk harmoni keselarasan
Dalam irama riak ombak yang ringan, tentram.

Namun kameraku tak mampu menangkapmu
Yang ada tetap gelap
Dan bukan bentuk molekmu yang ku dapat
Hanya ada setitik cahaya
Di antara hitam yang pekat.

Lalu aku berpikir
Dan dalam detik yang tak lama aku teringat
Akan sebuah ayat tantang Matahari dan Rembulan:
"Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (dari dirinya sendiri),
Dan Rembulan bercahaya (dari pantulan sinar Matahari)…"
Maka aku tidak ingin menyalahkanmu
Jika dalam haikalmu yang tak lagi bundar
Jika dalam cahayamu yang tak lagi terang
Kameraku tak mampu mengabadikan aktingmu
Pada umurmu yang telah dimakan senja.

Mustallast, 19 Juli 2007, 08.29

Baca Selanjutnya...!...

Surat Untuk Desaku

Aku pamit,
Selama beberapa purnama aku akan berkelana
Bukan tanpa tujuan
Tapi ini perjalanan suci
Yang pernah ditempuh para nabi dan wali.

Aku pergi mencari cahaya
Yang bisa menerangiku dimana dan kapan saja
Yang bisa aku bawa kemana-mana.

Aku pergi mencari terang
Dari kegelapan yang menyesatkan
Dari kebodohan yang menistakan.

Aku pergi bersama Rembulan
Menapaki sepi dalam perjuangan
Meraih ilmu bekal masa depan
Sebagai lentera, sebagai cahaya
Menerangi langkah
Menyongsong amanah

Aku pamit,
Selama beberapa purnama aku akan berkelana
Bukan tanpa tujuan
Tapi ini perjalanan suci
Yang pernah ditempuh para nabi dan wali
Dan aku akan kembali
Bersama kelahiran Rembulan
Membawa terang
Menghapus kegelapan.

Mustallast, 19 Juli 2007, 07.55

Baca Selanjutnya...!...

Napak Tilas Kairo Fathimiyyah Bersama LSBNU

Monday, July 16, 2007


Kairo – Minggu (15/7) pagi kemarin Lembaga Seni dan Budaya (LSBNU) Mesir untuk yang ketiga kalinya berhasil melaksanakan Long March (napak tilas, red) bersama beberapa personilnya. Kali ini, tujuan perjalanan yang akan ditempuh adalah kawasan Kairo Fathimiyyah yang dimulai dari Bab el-Futuh yang terletak tidak begitu jauh dari kawasan Husain dan Khan el-Khalily.

Menurut keterangan koordinator LSBNU, Muhyiddin Basrani; kegiatan ini ditujukan untuk dapat mengenal Kairo sekaligus kekayaan sejarahnya secara lebih dekat lagi. Agenda ini rencananya akan diselenggarakan sebanyak 3 kali dalam sebulan selama masa kepengurusannya, dengan target seluruh pelosok Kairo akan dapat ditelusuri. "Masak kita tinggal di Kairo tapi tidak mengetahui sejarahnya sama sekali?" demikian Mumu (sapaan akrab Muhyiddin) menjelaskan alasan diadakannya kegiatan ini.

Tepat pukul 10.00 Waktu Kairo para peserta yang terdiri dari enam orang (Aceng, Mumu, Chosem, Rochim, Faizin dan Luthvi) telah berkumpul di Bawwabah Tiga. Dari situ rombongan menaiki mobil Eltramco yang meluncur ke arah Sabi', lalu berganti bus yang menuju arah Darrasah/Husain. Rombongan turun di sebuah pertigaan jalan sebelum Darrasah yang teletak tidak begitu jauh dari Bab el-Nasr. Turun dari bus, rombongan memulai napak tilasnya dengan jalan kaki. Jika perjalanan pada "Long March" pertama beberapa waktu lalu dimulai dari Bab el-Nasr, kali ini perjalanan dimulai dari Bab el-Futuh yang terletak tidak terlampau jauh dari Bab el-Nasr. Atau bahkan bisa dikatakan kedua Bab (gerbang, red) ini terletak secara berdampingan.

Bab el-Futuh adalah salah satu gerbang dari beberapa gerbang benteng yang terdapat di kota Kairo. Didirikan pada masa Daulah Fathimiyyah tahun 480 H/1087 M atas perintah Jauhar as-Siqly, dan selesai disempurnakan pada masa pemerintahan Badr al-Gamaly yang kini dapat kita temukan terletak di samping Masjid Hakim bi Amrillah. Bab (gerbang) ini terdiri dari dua menara silinder yang mengapit pintu masuknya.

Setelah memasuki Bab el-Futuh rombongan singgah di Masjid Hakim bi Amrillah yang terletak berdampingan dengannya. Masjid ini dibangun pada tahun 380 H/990 M masa pemerintahan al-Aziz Billah al-Fathimy. Namun beliau telah meninggal sebelum pembangunan masjid ini selesai, hingga akhirnya disempurnakan oleh putranya al-Hakim bi Amrillah pada tahun 403 H/1013 M. Maka hingga sekarang masjid tersebut dikenal dengan nama al-Hakim bi Amrillah. Masjid ini merupakan masjid terluas kedua di Kairo setelah Masjid Ibnu Thulun.

Keluar dari Masjid al-Hakim bi Amrillah rombongan melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang terlihat semrawut karena sedang ada perbaikan di beberapa bangunan sekelilingnya. Obyek selanjutnya adalah Bait el-Suhaemy. Ia merupakan salah satu rumah peninggalan bersejarah di Mesir yang menyimpan berbagai keistemawaan khusus di dalamnya. Maka tidak heran jika para wisatawan manca negara hadir untuk menyaksikan rumah bersejarah tersebut.

Bait el-Suhaemy terhitung sebagai salah satu tempat berziarah atau tempat berkunjung terkenal yang menghadirkan satu contoh tersendiri dari berbagai corak arsitektur bangunan tempat tinggal khusus, bahkan ia juga terhitung sebagai satu-satunya rumah ideal yang menghadirkan keindahan bangunan islam pada masa Usmani di Mesir. Adapun rahasia dari penamaan yang langka ini terkembali pada bani/keluarga terakhir yang tinggal di dalamnya. Yaitu keluarga Syeikh Muhammad Amin al-Suhaemy yang merupakan Syeikh Ruwâq al-Atrâk di al-Azhar al-Syarîf dan beliau meninggal pada tahun 1928 M.


Bait el-Suhaemy dibangun pada masa Usmani tahun 1648 M oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy. Pembangunan rumah ini dilaksanakan dalam beberapa tahap hingga akhirnya jadi seperti yang masih ada saat kini. Bait al-Suhaemy terdiri dari dua bagian. Pertama adalah bagian selatan yang didirikan oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy tahun 1058 H – 1648 M. Kedua adalah bagian utara yang didirikan oleh Ismail bin Syalby pada tahun 1211 H – 1796 M, lalu dua bagian ini akhirnya ia gabungkan menjadi satu. Pada tahun 1931 M, pemerintah mesir membeli rumah ini dari para pewarisnya dengan harga 6.000 Pound Mesir, dan menghabiskan 1000 Pound untuk melakukan perbaikan.

Setelah beberapa saat singgah di halaman Bait al-Suhaemy, rombongan melanjutkan perjalanan melewati beberapa masjid kuno yang menampakkan kegagahan bangunannya. Beberapa diantaranya adalah Madrasah dan Masjid Kamiliya (1180 – 1238 M), Masjid al-Aqmar (1125 M), Madrasah dan Masjid Barquq (1386 M), hingga akhirnya sampai pada masjid Sayyidina Husain dan Masjid al-Azhar (970 M). Adzan shalat Dzuhur tepat dikumandangkan ketika rombongan sampai di masjid al-Azhar yang juga merupakan peninggalan Daulah Fathimiyyah. Maka rombongan beristirahat sejenak lalu melaksanakan shalat Dzuhur.

Usai shalat Dzuhur rombongan melanjutkan perjalanan menuju Bab Zuwayla. Terletak tidak jauh sebelum Bab Zuwayla terdapat sebuah masjid besar yang dikenal dengan sebutan "Red Mosque". Ia adalah masjid al-Muayyad yang didirikan oleh sultan al-Muayyad dan selesai dibangun pada tahun 1422 M.

Adapun Bab Zuwayla, ia merupakan salah satu gerbang terbesar di Kairo yang didirikan pada tahun 485 H – 1092 M. Ia dikenal juga dengan sebutan Bawwabah al-Mutawally (gerbang al-Mutawally). Setelah mengalami perbaikan selama kurang lebih 900 tahun, Bab Zuwayla yang merupakan peninggalan bersejarah Daulah Fathimiyyah kembali diresmikan dan dibuka pada hari Ahad (14/9/2003).

Terletak sekitar 100 meter di depan Bab Zumayla terdapat masjid as-Shalih Thala'i yang dibangun pada tahun 1160 M oleh amir Shalih Thala'i bin Razik. Masjid ini dibangun dengan bentuk memanjang di atas bangunan bawah tanah. Maka masjid ini dijuluki sebagai salah satu masjid gantung atau masâjid al-mu'allaqah.

Meninggalkan Bab Zuwayla rombongan melanjutkan perjalanan menuju obyek akhir dari Long March kali ini, yaitu Abdeen Palace yang di dalamnya terdapat Museum Abidin. Setelah menempuh perjalanan beberapa lama di bawah terik matahari yang cukup panas, sampailah juga di kawasan Abdeen Palace yang terhitung cukup luas. Namun sayang, ketika rombongan berniat untuk memasuki museum ternyata telah tutup. Alhasil rombongan memutuskan untuk segera kembali ke Nasr City karena telah cukup capai. Dan kali ini rombongan pun masih memilih jalan kaki untuk menuju sebuah terminal bus. Setelah melaui voting, terpilihlah Mahaththah Tahrer sebagai terminal yang akan kita tuju. Tak disangka, ternyata perjalanan kali cukup panjang. Start dari Bab el-Futuh dan final di Terminal Tahrer. Sebuah "perjalanan sejarah" yang cukup melelahkan namun mengasyikkan dan memperkaya wawasan.

M. Luthfi al-Anshori

Baca Selanjutnya...!...

Dakwah dan Kapsul

Tuesday, June 19, 2007


Seringkali orang masih getol menerjemahkan teks secara leterlijk-tekstual. Hasilnya, apa yang diinginkan terkadang justru kontraproduktif. Ironisnya lagi hal ini masih berlaku juga dalam lingkup dunia dakwah. Sebuah sabda Nabi yang sudah sangat masyhur; “qul al-haqqa walau kâna murran”, pun diartikulasikan sebagai dalil untuk berbicara lantang dan bertindak tegas dalam menyerukan kebenaran. Jika itu salah, maka dengan tegas dan terus terang harus dikatakan salah. Dan jika ini benar, maka juga harus dikatakan benar.

Secara sekilas statemen di atas memang benar. Bahwa sebuah kebenaran memang harus dibenarkan dan kebathilan harus dihapuskan. Namun dalam tataran praksis hal itu tidak serta-merta bisa diterapkan secara saklek. Banyak contoh kasus yang secara eksplisit menyatakan bahwa praktek dakwah yang kaku semacam itu justru menimbulkan penentangan (minimal perasaan dongkol) dari pihak audience. Bahkan bisa jadi seorang audience akan sampai pada tindakan mencegat bahkan mengancam sang da’i jika dirasa apa yang disampaikannya terlalu kaku dan keras merobek-robek adat atau tatanan masyarakat yang sudah ada sebelumnya.

Seorang da’i, dalam disiplin ilmu dakwah disebutkan minimal harus memiliki beberapa kecakapan dan kemampuan keilmuan yang cukup untuk menjalankan proses dakwah. Diantaranya adalah ilmu bahasa, sosial dan psikologi. Di samping itu ia juga harus mempunyai kesiapan mental serta material yang cukup untuk menopang aktifitas dakwahnya. Dan jika beberapa hal di atas tidak dimiliki seorang da’i, proses dakwah yang diembannya bisa jadi akan sia-sia dan tidak tepat sasaran.

Melalui kecakapan bahasa, seorang da’i dengan elok dan menawan akan mampu menyampaikan materi dakwahnya secara optimal dan lugas. Dengan ilmu sosial, seorang da’i setidaknya bisa membaca dan menganalisa secara cepat bagaimana kondisi sosial masyarakat setempat yang akan dijadian sebagai obyek dakwah. Dan dari situ ia akan mampu menyesuaikan gaya serta materi penyampaian sesuai dengan latar belakang dan karakter masyarakat tersebut. Masyarakat desa tentu tidak akan nyambung dengan urusan politik, perekonomian maupun materi-materi lain yang sekiranya berat dan di luar jangkauan keseharian mereka. Berdakwah untuk mereka juga tak mungkin menggunakan gaya bahasa intelektual yang banyak diserap dari berbagai bahasa asing. Begitu juga sebaliknya, model dakwah untuk masyarakat desa belum tentu cocok untuk diterapkan di kota. Maka intinya adalah bagaimana seorang da'I bisa bersikap proporsional dalam “mengukur kedalaman sungai yang akan disebrangi”.

“Khâtibu an-Nâsa ‘ala Qadri ‘Uqûlihim” begitulah sabda Nabi yang mengajarkan sebuah metode dakwah yang juga telah diterapkan oleh Nabi-nabi sebelumnya. “Sampaikanlah dakwah, risalah, maupun nilai-nilai lainnya kepada manusia sesuai kadar kemampuan otak mereka”. Betapa bijak memang kandungan Hadits di atas. Bahwa setiap masyarakat memang diciptakan berbeda-beda dan beraneka ragam corak budaya dan adat istiadatnya. Dan pada gilirannya hal itu juga mempengaruhi tingkat kecerdasan berpikir dan daya tangkap mereka terhadap sesuatu yang baru. Maka bagi setiap da’i seyogyanya bisa arif menangkap setiap perbedaan-perbedaan tersebut, lalu mempersiapkan materi beserta bumbu-bumbunya yang sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat.

Sabda “Qul al haqqa walau kâna murran” lagi-lagi tidak harus diterapkan secara saklek dan kaku. “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu rasanya pahit”. Menggenggam amanat dakwah adalah bukan hal yang remeh. Apalagi jika kita menilik konteks kekinian, maka kita akan menjumpai berbagai aral dan tantangan yang setiap saat siap menghadang. Iya. Mengemban amanat dakwah pada masa sekarang adalah laksana menggenggam bara api yang setiap saat siap membakar diri sendiri.

Maka sejenak mari kita mengamati falsafah "kapsul". Bahwa kandungan obat yang terbungkus di dalamnya sejatinya adalah pahit. Pahit bahkan getir jika ia ditelan secara langsung tanpa ada pembungkus berupa “kapsul”. Maka dari sini kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa sesuatu yang hakikatnya pahit tidak harus ditelan secara pahit pula. Namun kepahitan itu bisa dihindari dengan memberikan pembungkus yang rapi dan nyaman.

Mari kita analogikan dan kita singkronkan dengan sabda Nabi di atas; “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu rasanya pahit”. Seorang da’i, dalam kaca mata syar’i adalah ibarat dokter yang secara komprehensif mendata dan mendiagnosa gejala-gejala penyakit yang ada dalam masyarakat. Maka dari situ ia akan memilih dan memilah obat apa yang kira-kira cocok untuk masyarakat tertentu. Dan selanjutnya adalah proses pengobatan yang tiada lain adalah praktek dakwah itu sendiri. Maka muatan dakwah atau materi pengobatan maupun penyuluhan yang hakikatnya mungkin terasa pahit sepahit obat atau pil, bisa jadi disiasati supaya tidak diterima pahit pula oleh masyarakat. Untuk itulah kecakapan seseorang dalam mengolah kata itu diperlukan. Dan hal itu terkembali pada sejauh mana seorang da’i mempunyai kemampuan berbahasa yang maksimal.

Iya. Sebuah materi yang substansinya pahit karena itu akan memperbarui bahkan merombak tatanan-tatanan yang sudah ada sebelumnya dalam sebuah sistem masyarakat tidak harus disampaikan untuk dikomsumsi secara pahit pula. Namun ibarat obat pahit yang berada dalam kapsul ia menjadi tidak pahit ketika dikonsumsi, karena telah dibungkus dengan sesuatu yang baik yang sudah diramu dan diolah oleh tangan-tangan profesional. Maka, “sampaikanlah kebenaran yang substansinya terasa pahit namun bisa diterima dengan tanpa rasa, tanpa disadari dan hal itu secara alami akan merasuk ke berbagai jaringan syaraf dan sel, namun memberikan efek perubahan signifikan menuju arah perbaikan dan penyembuhan”. Wallahu a’lam!

M. Luthfi al-Anshori
Mutsallas-Hay Asyir-Nashr City, 18 Juni 2007, 10.02 WK.

Baca Selanjutnya...!...

Dimensi Ujian

Friday, June 15, 2007


Musim ujian bagiku adalah rahmat. Terserah apakah di beberapa ruasnya aku masih merasakan penat, capek dan terkadang juga suntuk menghadapi ribuan halaman buku diktat. Namun kesemuanya itu tak membuatku kalah dan menyerah untuk terus berjibaku mengalahkan malas memerangi nafsu. Bagiku ujian adalah peluang. Peluang untuk mendapatkan sebuah kemenangan bernama “Kelulusan”. Ya. Lulus dari ujian maupun cobaan dengan berbekal bulatan tekad, kesabaran dan kepasrahan sepenuhnya kepada Tuhan. Maka, di sebuah ruang yang berlabel “kelulusan” itulah aku menemukan rahmat.

Ujian adalah karunia. Di dalamnya ia menyimpan sebuah kekayaan. Yaitu kekayaan kesempatan yang terlalu sayang untuk disia-siakan. Tanpa melewati ujian, bagaimana mungkin seorang siswa akan bisa naik kelas atau naik tingkat!? Bahkan anak seorang presiden, gubernur, bupati, pun harus melalui ujian untuk bisa naik kelas. Atau jika ‘hal itu’ memang sempat terjadi, bisa saja kenaikan itu disebabkan oleh unsur di luar kenormalan, atau kejujuran.

Falsafah ujian sekolah, madrasah, perguruan tinggi atau apapun nama dan tingkatannya adalah secuplik pelajaran dari sekolah kehidupan bernama DUNIA. Yang di dalamnya juga menuntut adanya ujian bagi setiap manusia untuk dapat membuktikan eksistensinya, untuk dapat menunjukkan kepada dunia bahwa ia ada dan mampu melewati setiap ujian dengan “selamat”. Bertindak sebagai juri dalam setiap ujian kehidupan adalah Sang Pencipta dari segala yang bernyawa maupun yang tidak. Jika lulus ia akan naik tingkat di sisi-Nya. Dan jika gagal atau putus asa ia akan tetap pada posisinya yang semula dan bahkan mungkin turun ke lembah nista.

Aahhh… ingin rasanya sekali lagi aku menegaskan pada diri sendiri bahwa setiap ujian, siapapun penyelenggaranya dan dimanapun ia diadakan adalah sebuah peluang, adalah kesempatan, adalah kasih sayang.

Menyebut istilah kasih sayang ingatanku seakan terseret kembali ke masa lalu, ke masa kecilku. Sejak kecil, ketika aku masih merasakan kehangatan kasih sayang dalam dekapan keluarga yang membesarkanku; berbagai ungkapan dorongan semangat, ajaran untuk belajar pada alam, berguru pada kehidupan, begitu sering aku dengar dari lisan Abahku. Beliau adalah seorang edukator. Beliau selalu bermurah hati untuk menularkan berbagai ilmunya kepada siapapun yang meminta.

“Cung,… yang namanya kita hidup ini kan juga penuh dengan ujian dan cobaan. Namun bukankah Tuhan justru suka memberikan berbagai ujian kepada para hamba yang dicintai-Nya! Tentu. Karena hakekat ujian itu adalah peluang baginya untuk melakukan percepatan dalam meraih tempat yang tinggi di sisi-Nya. Maka bersabar dan berjuanglah!” pesan Abah kepada kami yang kala itu hendak merantau menuntut ilmu.

*** ***
Ujian musim panas Universitas al-Azhar Kairo sudah dimulai sejak pertengahan Mei yang lalu. Pada awal-awal persiapan menjelang ujian aku pun merasakan berat dan beban. Materi yang cukup banyak dengan persiapan yang tak seberapa. Ahh…rasanya sudah capek duluan sebelum ujian benar-benar digelar. Namun satu yang tak pernah aku lupakan, selama masih ada waktu, selama itu pula aku masih bisa berusaha dan berjuang. Ujian bagi sebagian orang bisa jadi adalah jeruji yang begitu memenjara dan mengekang. Namun bagiku aku mencoba menerimanya lain. “Namanya juga sekolah, masak tak mau melewati fase demi fase ujian!”. Dan dari sebuah awal keterpaksaan dan tuntutan itulah akhirnya aku bisa menerimanya lega. Karena mau tidak mau harus menjalaninya; “kenapa harus dengan begitu tegang dan ngoyo? Kenapa tidak aku hadapi saja dengan enjoy dan rileks? Toh segala pekerjaan maupun tugas jika dinikmati kan bisa menjadi ringan. Walaupun hal itu bukan bermaksud meremehkan lho…!”.

“wah,…lagi musim ujian tapi masih sempat juga ya kamu nulis. Kok aku lihat blog-mu update terus!?” tanya seorang teman kepadaku.

“iya nih. Ya habisnya gimana lagi. Aku memang lebih suka memilih menulis untuk menumpahkan segala rasa yang sedang menghampiri di saat-saat tertentu. Ketimbang suntuk belajar lalu tidak melakukan apa-apa, aku lebih memilih menulis!” jawabku sok arif.

Musim ujian oh musim ujian! Selain menjadi rahmat dan karunia ia juga menjadi musim semi ide bagiku. Suatu ketika aku pernah menulis di buku catatan harian-ku;

“kali ini ujian sudah dekat. Nampaknya aku berniat pamit sementara pada kata-kata. Ke depan waktuku akan habis tersita untuk ujian, hingga tak ada lagi waktu untuk mengumpulkan kata-kata. Menyemainya indah seperti hari-hariku yang dipenuhi cinta. Maka bersabarlah wahai kata. Selanjutnya aku akan membiarkanmu bebas berceceran dalam alam penantian. Hingga pada saatnya nanti, aku akan kembali memungutmu sebagai mutiara rasa yang akan aku rangkaikan mesra penuh kelembutan. Sebagai cindera mata bagi siapapun yang membacamu”.(02-12-05)

Dan ternyata aku tak bisa! Musim ujian justru menjadi musim semi yang mengaktifkan berbagai sel maupun syaraf tubuh lengkap dengan fungsinya. Bahkan kelima indra pun secara alami mempunyai peran dinamis dalam menangkap setiap fenomena yang ada. Maka yang terjadi adalah; bahwa setiap gerakku adalah ide, setiap penglihatanku adalah pembacaan yang mendalam, dan setiap kejadian adalah data. Ya. Karena masih ujian, dan aku tidak punya cukup waktu untuk segera menuliskan, maka yang aku lakukan adalah hanya mengumpulkan data-data. Menuliskan setiap ide yang muncul dalam berbagai lembaran kertas berceceran. Lalu baru mencoba menyusun dan merapikannya di saat ada sedikit waktu senggang sembari istirahat merenggangkan syaraf-syaraf otak yang kaku.

Rasa syukurku pada Sang Pemilik malam. Yang menyediakan Bintang dan Rembulan sebagai ayat-ayat langit untuk obyek pembacaan dan bahan renungan. Dan Sang Pengatur siang yang menjadikan matahari sebagai sumber kekuatan. Segala apa yang dicipta-Nya adalah ayat. Yang dibaliknya selalu ada hikmah. Maka kini aku mencoba sedikit meminta hikmah-Nya di balik penciptaanku. Untuk dapat melihat sisi terang hikmah-hikmah dari setiap benda lain di sekelilingku. Untuk dapat memaknainya tepat sesuai kodrat penciptaannya.

Potret dunia ide yang ada memenuhi alam. Ingin rasanya suatu saat nanti aku bisa melukiskan setiap pesan alam yang beraneka ragam. Untuk dapat dicamkan seluruh penduduk bumi bahwa ia ada untuk dibaca dan dijaga. Walaupun takdir telah menggariskan fana, namun sekali lagi masih tersisa waktu untuk menebus lalai dan menghapus dosa.

Dengan semangat. Betul. Dengan semangat usaha dan do’a yang berdetak kencang dalam nadi pengharapan. Bahwa suatu saat nanti akan ada sebuah ‘pembukaan’. Pembukaan terhadap satir-satir misteri Tuhan yang ia titipkan pada alam dan kehidupan. Setiap ujian adalah peluang? Setiap coba’an adalah kasih sayang? Setiap gerak langkah adalah ide? Dan setiap ayat bumi maupun langit adalah data?

Maha suci Allah Sang Sutradara kehidupan. Hanya di tangan-Nya-lah ujian akan diselenggarakan. Dan hanya di mahkamah-Nya-lah hasilnya akan dibagikan. Lulus, atau Gagal? Dan Maha Besar Allah yang menjadikan setiap ciptaan sebagai bahan pembelajaran. Lalu dari-Nya-lah manusia mengais setiap ide. Maka tak salah jika ada yang berkata; “kita harus menerima bahwa detak kreatifitas dalam diri kita adalah detak kreatifitas Tuhan”. Dan juga; “potensi kreatif dalam diri manusia itulah citra Tuhan”.

Untuk saat ini aku hanya ingin mengumpukan semangat. Karena dengan semangat manusia bisa bertahan hidup. Dan dengan semangat pula setiap ujian akan terlampaui. “kreatifitas, potensi, maupun ide adalah anugrah Tuhan kepada kita. Maka menggunakan kreatifitas, mengembangkan potensi dan menghasilkan ide adalah balasan kita atas anugrah-Nya”. Semoga!.

M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, 10 Juni ’07, 14.30

Baca Selanjutnya...!...

"Perjalanan Kita"

Thursday, June 14, 2007


Beberapa waktu yang lalu aku pernah janji padamu, untuk mengajakmu bertamasya, jalan-jalan bersama menikmati keindahan alam raya. Maaf kalo ungkapanku ini terkesan ngaco' dan mengada-ada! Mungkin itu adalah atas pengaruh suasana hatiku yang memang selalu memimpikan sebuah pertemuan. Bahwa kita akan segera berjumpa, lalu jalan bersama, mengembara menikmati indahnya penjelajahan dalam sebuah kebersamaan.

Keinginan tertinggiku saat ini adalah bertemu denganmu. Rasanya aku ingin pulang. Karena saat ini, aku sedang dirundung bimbang, ada apa denganmu?? Diselimuti kabut kecemasan aku ingin menanyakan seputar gerangan. Alam maya yang selama ini mempertemukan kita, membukakan jalan bagi kita untuk saling bersuara dan beraksara, belum bisa sepenuhnya dapat dipercaya, tidak selamanya menghadirkan kebenaran, bahkan selaksa kejujuran .

Ahh....kenapa pula lagi-lagi aku hanya memikirkan seonggok angan?. Yang kesemuanya itu hanya akan berlabuh pada pengharapan, kosong, bukan kepastiaan.
Tapi entah kenapa, berulang kali hatiku memaksa pikiranku untuk tetap berkeinginan mengajakmu jalan-jalan. Yah, walau entah kemana arah tujuan??. hati ini rasanya benar-benar rindu memimpikan sebuah pertemuan.

Ohya...aku punya usulan; walau memang tak mungkin rasanya, jika hatiku menginginkan sebuah keutuhan kebersamaan, antara kau dan aku, jiwa dan raga, maka,...ehmm...gimana ya....?
Sebelumnya aku minta maaf jikalau ungkapanku beberapa waktu yang lalu sempat membuatmu bingung dan bertanya-tanya. Maka saat ini aku akan menjawabnya! Sekali lagi Maaf, andai wujud surprise yang aku janjikan hanya berbentuk sebuah tulisan. Tidak lebih dari itu. Mengajakmu jalan-jalan bukan berarti sebuah pertemuan, bukan berarti jiwa dan ragamu sekaligus yang aku maksudkan.

Maka perkenankanlah saat ini aku bawa jiwamu sejenak, aku ajak alam imajinasimu bertamasya mengunjungi beberapa tempat istimewa, menguak misteri ilahi, untuk lebih banyak lagi kita akui bahwa cinta adalah karunia, kasih sayang adalah lambang perdamaian, dan kebersamaan adalah kebahagiaan.
♦♦♦ ♦♦♦

"saat ini aku harap kamu bersiap-siap, karena sebentar lagi aku akan segera menjemputmu. Maaf kalo nanti tidak ada mobil mewah yang akan membawamu, karena aku tidak punya yang seperti itu. Yang ada hanya kuda putih berlabel 'ketulusan & keikhlasan'. Nanti kamu tunggu saja di halaman rumahmu, aku akan datang menungganginya untuk menjemputmu, lalu kita pergi bersama. Kita berdua akan naik dipunggung kuda itu. Kamu tidak perlu khawatir kuda putih kita akan merasa keberatan dan kecapekan membawa kita jalan-jalan. Karena tadi waktu di kandang aku telah memberinya makan rumput 'pengertian & kesabaran'.

Pertama kali kita akan berjalan menelusuri sepanjang jalan kenangan, yang telah begitu banyak menorehkan jejaknya dalam benak kita. Dari sini kita bisa saling bernostalgia , mengingat kembali masa-masa dimana dulu kita pernah bersama, jiwa dan raga kita, aku masih bisa secara langsung memandangimu, beguti pula kamu. Tapi itu justru tidak mampu mengaitkan hati, mempertalikan sebuah ikatan. Mulut tak kunjung berani mengungkapkan isi hati, yang ada justru cinta menarik jarak antara kita, menjadi dinding penyekat bagi dua hati yang semestinya bisa saling memberi dan mengasihi.

Di sudut depan kita nampak sebuah bangunan hijau yang rasanya tak asing lagi di mata kita, itu adalah masjid. Lalu di sampingnya, terlihat dari bebalik kaca, dan kornea pun mengarahkan tujuannya pada bangun bidang tingkat dua. Itu adalah gedung TPA yang mana dulu kita pernah sama-sama mengejawantahkan sedikit ilmu kita di sana. Tiba-tiba suara lirih dari dalam gedung itu menghampiri telinga;"hei,...apakah kalian masih ingat padaku, bukankah kalian dulu pernah mengajar ditempatku??". "iya, aku ingat!" jawabku tegas. Tapi tak lama kemudian angin juga menyampaikan suara hati lingkungan, "tapi kami minta maaf jikalau telah menghidupkan ingatan kalian lagi, aku tidak bermaksud memprofokasi atau mengungkit-ungkit masa lalu kalian, kami Cuma sayang sama kalian, karena kalian dulu telah perpartisipasi menghiasi alam kami dengan lantunan-lantunan suci kalam ilahi"...

Tidak jauh dari tempat yang baru saja kita lalui, telah tampak di depan sebuah bangunan yang tak begitu megah namun cukup berwibawa. Ia membawa kita pada sebuah kenangan perjuangan dan pembelajaran, dimana kita sama-sama dididik dan dibina untuk menjadi manusia yang benar-benar berjiwa manusia. Manusia yang benar-benar manusiawi dan mengetahui sifat-sifat kemanusiaan yang sesungguhnya.

Dahulu, entah sengaja atau tidak sengaja, ternyata kita sering jadi rekan kerja. Susah dan senang pernah kita jalani bersama dalam rangka menjalankan tugas sebagai panitia. Mungkin salah satu keistimewaan tersendiri bagiku ketika mempunyai partner kerja sesosok figur sepertimu. Tapi disela-sela kekagumanku padamu, justru yang nampak padamu mungkin kegalakanku, egoismeku, dan kekeraskepalaanku, yang kesemuanya itu tak jarang membuatmu anyel, mangkel plus dongkol, sekaligus membuat wajahmu cemberut setiap kali pulang dari meeting.

Aahh...rasanya masa-masa itu memang penuh warna dan pesona. Bukan Cuma aku dan kamu, namun kita semua komunitas Glafeesa turut memberikan aroma dan nuansa tersendiri di jagad asrama dan almamater tercinta. Mulut ini rasanya tak mau berhenti dari senyum simpul dan tawa tatkala mengingat masa-masa indah dan penuh canda selama di asrama. Tapi, mata ini pula terkadang tak terasa turut mengungkapkan rasa, tetesan air mata tiba-tiba membasahi muka mengingat setiap butir perjuangan dalam kebersamaan yang terus terbina antara kita. Sungguh syahdu suasana yang tercipta, kekompakan tuntaskan perpecahan, kesepakatan pelihara kesepahaman.

Untuk saat ini, sudah cukup rasanya aku menengok ke belakang, walaupun itu semua adalah sepihak rasa, maka hatimu aku tidak tahu, dan hanya kamu yang tahu. Maka di lain waktu aku harap kamu juga mau meninggalkan catatan kecilmu sebagai hadiah yang berarti besar bagiku, semoga kamu tidak keberatan. Karena saat membawamu dalam perjalanan ini, sungguh aku tak ada hak mewakili jiwamu dengan rasaku. Jiwamu adalah hakmu, maka aku hanya bisa mewakilimu lewat beberapa ungkapan yang memang sudah pernah aku dengarkan, selain itu tidak.

Baiklah! Kali ini, menuju obyek selanjutnya, langsung aku pacu kudaku lebih kencang, karena perjalanan masih panjang. Tolong pegangan yang lebih erat, sebab kalo tidak aku takut kamu akan jatuh terpelanting. Untuk sementara waktu, biarlah setiap jalan yang telah kita lewati tadi menyimpan setiap kesan dan kanangannya masing-masing, siapa tahu di lain waktu kita bisa kembali melewati dan menghampiri, sekaligus membuka-buka catatan lamanya, tentang aku, kamu dan kita.
♦♦♦ ♦♦♦

Agaknya senja hampir tenggelam digantikan malam. Sebentar lagi kita akan menaiki bukit bintang. Bukit dimana banyak orang biasa mencurahkan pengharapan, curhat kepada alam dan juga Pencipta bintang itu sendiri. Di bukit ini, sejenak kita akan istirahat melepas lelah. Sambil menikmati udara segar yang berhembus sepoi-sepoi basah, kita segarkan sel dan syaraf tubuh yang agak kacau digoncang loncatan demi loncatan kuda. Seraya turun dari punggung kuda, sambil mengendorkan otot-otot dengan menggerak-gerakkan tangan, kaki dan kepala, kita berjalan menepi melihat pemandangan lembah.

Waah...bukit ini sungguh indah! Formasi barisan gugusan bintang yang bersinar terang, remang, bahkan ada yang hanya berkedip-kedip pelit seakan malu menunjukkan wujud aslinya, spontan mampu menghipnotis setiap mata yang melihatnya, tak terkecuali kita. Bintang-bintang itu, rasanya hampir serupa dengan kunang-kunang yang sedang hinggap di dedaunan malam. Pemandangan dari bukit sungguh menakjubkan. Apalagi setelah lampu-lampu pedesaan dinyalakan, tampak terlihat ia berpadu mesra dengan bintang-bintang. Saling melengkapi, warna-warninya tampak bervariasi, lebih hidup, semakin takjub.

"Mari kita mencari tempat duduk, walau tak ada kursi yang melengkapi, cukuplah kita bisa duduk berdampingan beralaskan rumput yang tebal menutupi permukaan tanah". Sambil menikmati pemandangan bukit dan sesekali saling melirik, kita sama-sama menyiapkan kata untuk mewakili rasa mengungkapkan apa saja yang ada di dalam dada, tentang hati, cinta, bahkan keindahan alam sekitar kita. Tempat ini memang sudah biasa menjadi saksi terkuaknya misteri hati, bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di bukit ini.


Tak beda jauh dengan kebanyakan mereka yang pernah singgah di tempat ini, kita pun nampaknya akan membeberkan fakta dan saling bersuara. Bahwa kita, adalah dua insan yang memang berbeda, namun banyak sama. Perasaan rindu adalah wujud sayang, aku merindumu, kamu merinduku. Takut akan kehilangan juga bentuk lain dari kasih, dan kita sama-sama tidak mau itu. Hatiku mengatakan aku mencintaimu, dan kau berucap mesra kata yang sama. Berarti kita sama dalam cinta.


Di bukit ini, kita telah menyatakan cinta, kecintaan kita terhadap alam, kecintaan akan keindahan, cintamu cintaku telah bertemu, namun cinta kita adalah cinta awam. Karena pancarannya justru mampu menjerumuskan, walau secercah cahaya pencerahan masih ada, namun kita harus tetap waspada. Maka aku setuju denganmu; bahwa dalam kita saling mencinta memang harus seadanya saja, tidak boleh terlalu, bahkan sangat. Karena itu berbahaya, bisa berujung pada kebencian dan permusuhan.

Setelah kita sama-sama terbuka, dari hati ke hati, ungkapan yang terbungkus kejujuran tadi akan kita bawa sebagai bekal perjalanan selanjutnya. "kelihatannya saat ini cuaca tidak mengijinkan kita untuk langsung turun bukit. Kita cari saja penginapan di sekitar sini. Atau jika kau tak keberatan, malam ini aku ingin tidur di sini saja, tertelentang sambil menatap bintang yang bertebaran di langit luas, bebas di alam tak terbatas". Dan aku belum tahu jawabanmu, karena kamu masih terdiam, hanyut dalam simphoni alam yang mendendangkan harmoni keindahan malam bersama bintang dan kunang-kunang.
♦♦♦ ♦♦♦

Tak terasa pagi telah menjelang. Kokokan jago pun menggaung bersahutan. "hei,...bangun sayang! Sang surya telah kembali menampakkan semburat sinarnya yang benderang. Perjalanan kita masih panjang, ayo segera kita lanjutkan!". Peta perjalanan kita selanjutnya mengarah pada lembah 'kesejiwaan & kesepahaman'. "syukurlah...! ternyata kuda kita masih setia menemani kita. Memang, kesabaran dan pengertian yang ia bawa ikut serta sangat bermanfaat untuk melewati setiap halang rintang yang terjal dan curam sepanjang perjalanan". Kali ini kita tidak perlu tergesa-gesa. Kerena untuk dapat sampai kesana tentu kita akan menjumpai lebih banyak lagi gangguan dan godaan. Semoga kita mampu melewatinya dengan selamat.

Dengan langkah perlahan, kita akan mulai turun ke lembah menaiki kuda putih berjubah bismillah. Dengan penuh pasrah kita berserah untuk dapat sampai ke bawah. Pelan...pelan namun pasti dan hati-hati, sedikit lagi kita akan sampai di lembah. Ooh...dari bebalik batu besar itu nampaknya ada sebuah gubuk bambu beratapkan anyaman daun ilalang. Bolehlah nanti kita numpang singgah sebentar di sana. Bagaimana dinda?? Apakah dikau masih sanggup melanjutkan perjalanan? Hemm...kamu sudah terlihat capai. Mungkin itu yang memaksa mulutmu untuk tetap bungkam. Tapi, pancaran matamu itu, di situ aku masih bisa melihat selaksa semangat yang membuncah. Istirahatlah sejenak kekasihku,...untuk bekal melanjutkan perjalanan nanti, supaya badan kembali segar, mata menjadi bersinar, dan hati mulai menata diri.

Istirahat sejenak aku rasa sudah cukup memulihkan tenaga, kita akan segera melanjutkan perjalanan. Di depan kita, dari kejauhan remang-remang mata mulai melihat sebuah gerbang. Saat ini nampaknya kabut dari bukit sedang turun menyapa lembah, masih agak gelap memang, tapi sedikit demi sedikit cahaya surya telah menerang. Sebentar lagi kita akan memasuki sebuah desa. Setelah berada dekat dengan gerbang, ternyata ia adalah pintu kesejiwaan. Maka di desa ini nanti, kita akan mencoba memelihara cinta yang kita bawa, mencoba menyatukan dua rasa dari hati yang berbeda. Desa ini nampaknya sedang bersuka ria, tampak dari wajahnya yang hijau ceria dengan dedauan dan tumbuhan yang menyejukkan. Semoga hati kita bisa terbawa oleh kesejukan alam, menjadi teduh dan rindang. Tentram tinggalkan segala kebimbangan, keresahan, dan keputusasaan.

Melawati perjalanan tadi adalah bukan hal yang mudah. Di sana tentu banyak sekali aral godaan dan gangguan, namun atas kekokohan hati dan semangat yang tinggi berbekal ketabahan dan kesabaran, kita pun kini telah mulai menginjakkan kaki di pintu gerbang desa ini. Ini adalah permulaan dari usaha penyepahaman.

Dua jiwa, dua raga, dengan sifat dan karakter masing-masing yang berbeda kini mencoba untuk bersama menata cita dalam cinta. Langkah menuju kesepahaman dan kesejiwaan memang tak gampang. Prosesnya juga panjang. maka untuk memasukinya harus berbekal sebuah pengertian yang direndam dalam air kasih sayang, lalu direbus dalam tungku kepercayaan. Beberapa saat proses pematangan dinantikan dengan penuh kepasrahan, harapkan hasil sebuah kesatuan, perpaduan harmonis antara dua jiwa, dua cita, dan dua cinta, menjadi sejiwa, secita, dan secinta.

Tiada yang seindah sebuah kasih fithrah. Antara dua insan yang saling menyayang, dengan adanya kesepahaman. Cinta adalah anugrah terindah dari Sang Maha Pemurah, ia adalah fitrah yang datangnya tiada pernah dikira dan disangka, ia akan tumbuh di hati siapa saja yang Ia kehendaki. Tanpa cinta dunia akan hampa, tanpanya perdamaian akan segera padam. Yang ada hanya kebencian, hanya permusuhan.
♦♦♦ ♦♦♦

Setelah adanya kesejiwaan, pengertian, dan kesepahaman, tentu saja perjalanan kita selanjutnya akan lebih mudah dan indah. Memang, tiada kehidupan yang tanpa cobaan, tiada cinta yang penuh goda, dan tiada hati yang tak ternodai. Itu adalah sunnah Ilahi, dan manusia harus menjalani tanpa harus menghindari.

Perjalanan selanjutnya kita akan ke bengawan. Tidak jauh dari desa kita akan menjumpainya. Setiap kenangan, pelajaran, hingga cobaan, godaan, dan segala halang ringtang yang mewarnai sepanjang perjalanan. Cita, cinta dan kasih sayang yang telah kita ungkapkan, satukan, dan padukan dalam tungku kepercayaan akan kita bawa ke muara. Cepat-cepat kuda putih teman setia kita kita pacu melaju ke arah bengawan. Dengan segenap kemantapan dan kebesaran jiwa kita akan menuju muara.

Sesampai di sana, Segala apa yang telah kita bawa dan dapatkan dari setiap tempat yang kita kunjungi tadi kita bungkus dalam peti pengharapan, kemudian kita titipkan dalam aliran sungai keridhoan. Ia adalah tempat dimana kita bisa mengembalikan semua urusan dalam rangka kepasrahan. Setelah kita berjuang dan berusaha, yang dapat kita lakukan selanjutnya hanya berdo'a. Kita kembalikan segala urusan kepada-Nya. Karena semua yang datang dari-Nya, maka ia akan kembali kepada-Nya. Begitu juga cinta dan manusia. Semua datang dan diadakan oleh-Nya, dan pada gilirannya Ia akan kembali mengambilnya. Semua yang ada di dunia hanyalah amanat, yang di hari kelak nanti akan dimintakan pertanggungjawabannya. Sumua sudah diatur oleh-Nya, Sang Pencipta. Jika takdir telah digariskannya, maka kita tetap akan menerimanya. Itulah qadha'Nya. Jika kita ikhlas dan ridha, Ia akan mengganjarnya dan jika tidak maka sebaliknya.☺

M. Luthfi al-Anshori,17 april 'o6_07.40 WK

Baca Selanjutnya...!...

Tangis Sunyi Di Hari Kelahiran Nabi

Friday, June 08, 2007


Selama satu bulan kemarin kami terhitung sering diundang orang-orang pribumi Mesir untuk mengisi halaqah-halaqah Maulid Nabi. Ya. Minimal satu minggu sekali selama bulan Rabi’ul Awal kami selalu datang ke sebuah rumah di kawasan Muqattam untuk melantunkan puji-pujian atas Nabi diiringi tabuhan alat musik Rebbana. Tepatnya kami tergabung dalam sebuah Group Hadrah “an-Nahdlah”, salah satu asuhan Lembaga Seni dan Budaya Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir.

Pada bulan-bulan tertentu, suasana Kota Seribu Menara seringkali dihiasi warna-warni tenda dengan dekorasi kain khas bernama “saradiq”(1) yang dipasang mengeliling di beberapa tokonya. Selain bulan Ramadhan, pemandangan semacam itu juga terlihat pada bulan Rabi’ul Awal. Bagi kebanyakan mahasiswa baru, suasana seperti itu terkadang menjadi sebuah keunikan tersendiri yang tak jarang menghadirkan semburat citra kekayaan budaya “Negeri Tua”.

(“eh, emang ada apaan sih, kok di setiap sudut kota pasti toko-tokonya memasang kain-kain seperti itu?”. “emang sedang ada munasabah apa nih, kok kayae ada hari istimewaaa… gitu!?. Hingga masyarakat Mesir menyambutnya dengan gegap gempita seperti ini?”).
Dan pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang spontan muncul dari benakku juga mungkin benak para mahasiswa Indonesia lainnya tatkala melihat fenomena yang sedang hangat di kalangan masyarakat Mesir.

(“Hemm…gimana ya jika seandainya ketika pulang nanti kita membawa kain-kain “saradiq” khas Mesir itu?. Lalu kita gunakan dalam acara-acara ritual kemasyarakatan ataupun keagamaan di daerah kelahiran kita. Kayae menarik tuh!??”).
Ungkapan semacam itu pun sesekali muncul dari kawan-kawan yang respect terhadap nilai seni dan budaya. Bahkan mungkin mereka juga kepikiran untuk mengasimilasikan budaya Mesir dengan budaya Indonesia dalam bidang tertentu. Dan begitulah celoteh anak bangsa yang sedang mencoba menempa diri di negeri Musa.

Bulan ini adalah bulan Maulud . Bulan dimana seorang manusia mulia dilahirkan di muka bumi sebagai pamungkas para Nabi. Manusia yang tidak serupa dengan manusia lainnya. Karena diutusnya ia adalah sebagai rahmat bagi alam semesta. Maka tak ayal jika para manusia menyambut gembira hari kelahirannya. Namun tak jarang pula yang membenci bahkan mengutuknya. Dan hingga kini, di zaman yang sudah serba canggih ini, kedua golongan itupun masih tetap ada. Entah apa maksud dari keberpasangan yang selalu ada mewarnai dunia? Apakah memang untuk sebuah keseimbangan. Tapi bukankah kosmos akan lebih seimbang justru ketika dunia hanya dipenuhi cinta dan kasih sayang? Atau apakah yang dimaksud keseimbangan adalah dalam dimensi alam ketiga, Akherat!? Sebab kalo seluruh manusia baik, maka siapa yang akan mengisi neraka!? Aahhh…Ngaco’!

Dalam kenyataannya, hingga zaman edan seperti ini masih banyak pula orang-orang yang peduli dengan Nabi. Hari kelahiran Nabi. Bahkan perayaan ulang tahunnya digelar dimana-mana. Mulai penjuru Nusantara hingga tanah kekuasaan Kleopatra. Dan tak sedikit pula yang karena saking cinta dan tergila-gilanya pada sosok Nabi, orang-orang memekikkan selamat dengan suara lantang: “Happy Birthday to You, Our Beloved Prophet!!”.

Di sisi lain, ketika kita mencoba untuk sedikit membalikkan muka, di sana masih akan banyak kita temukan mahluk-mahluk pembenci Nabi. Tak berkesempatan menghujatnya secara langsung karena sosoknya telah mati, pusaka warisannya pun ia lecehkan seenak perutnya. Layaknya seorang pinter yang keblinger, ia gunakan segala cara untuk merendahkan dua pusaka penting warisannya; al-Qur’an dan as-Sunnah.

Begitulah wajah dunia saat ini. Diantara keberpasangannya, ada yang berimbas pada kebaikan. Namun di bagian lain juga banyak yang menjadikan kesimpangsiuran, bahkan kegaduhan alam. Tapi entah, bukankah aku masih beriman!?. Sehingga apa yang mungkin aku duga salah, bisa jadi justru benar. Dan apa yang aku sangka buruk, justru dicipta baik secara substansi-hakekatnya. Iya. Tuhan lebih mengetahui apa yang tidak aku ketahui.
◊◊◊ ◊◊◊

Perayaan Maulid Nabi diadakan dimana-mana. Saat ini, mungkin aku sudah tak bisa lagi menikmati kemeriahan acara itu sebagaimana aku merasakannya dulu. Di sebuah dusun tanah kelahiranku. Yang mana setiap desa berlomba-lomba menyelenggarakan perayaan besar semeriah-meriahnya. Mulai dari mendatangkan Qari’ terkenal, Da’i kondang, maupun Group-group Rebbana favorit sebagai pelengkap acara. Arkhhh…suara-suara merdu para Vocalis itu, kembali terniang di telingaku. Lalu pemandangan rebutan makanan, tak ketinggalan menghiasi setiap penghujung pengajian.

Aku sekarang adalah “sabilillah”. Atau kalo belum pantas ya,...pengelana biasa!. Aku hidup di tengah hamparan gurun yang sesekali memaksaku mengusap keringat akibat kepanasan. Namun pada waktu tertentu, aku juga dihadapkan dingin yang membekukan sendi-sendi. Dan bahkan aku hanya bisa menikmati keteduhan musim semi yang hanya sekejap saja, sebelum akhirnya musim panas kembali menggilasnya.

Kini, bukan suara merdu mereka lagi yang aku dengar dalam perayaan itu. Namun justru suara pas-pasanku sendiri yang terpaksa aku nikmati dalam alunan syair sholawat atas Nabi. Setidaknya ada suara merdu dari teman se-tim-ku yang memberikan keselarasan nada dalam iringan Rebbana. Mubarak, namanya. Entah orang-orang Mesir itu suka mendengarkan suaraku atau tidak. Yang jelas saat ini mereka sering mengundang kami. Laksana sebuah Group Band terkenal, kami juga melaksanakan “Road-Show” keliling Kairo. memang bukan dari panggung ke panggung atau stadion ke stadion. Namun dari rumah ke rumah dan dari masjid satu, ke masjid yang lain. Dari satu palungguhan ke palungguhan selanjutnya.

Suguhan musik Hard-Rock (bahasa keren dari “Hadrah”) yang kami bawakan nampaknya cukup memberikan daya tarik tersendiri bagi mereka. Hingga di penghujung bulan Rabi’ul Awal pun tawaran untuk mengisi halaqah-halaqah Maulid Nabi masih terus mengalir kepada kami. Menurut analisa singkatku, dahulu orang-orang itu tau keberadaan kami dari mulut ke telinga. Lalu melalui mata kepala mereka menyaksikan kami secara live. Dan pancaran aura yang kami tawarkan seadanya cukup menarik hati mereka.

Kasak-kusuk ujian musim panas sudah gencar dibicarakan kawan-kawan mahasiswa di berbagai kesempatan. “UHF… sudah ah, capek. Kita istirahat saja sekarang. Kita harus segera konsen ke pelajaran. Ujian sudah dekat. Jika kita turuti terus permintaan mereka, kita sendiri yang kacau!”. Ungkapan itulah yang muncul mengiring kepuasan sekaligus keletihan kami ketika untuk terakhir kalinya kami menutup “Road-Show” Maulid Nabi tahun ini di sebuah rumah di kawasan Madinah Mohandisin.

“Usbu’ al-Qâdim Nad’ûkum fî baiti!”(2) salah seorang hadirin malam itu menawarkan kami untuk datang ke kediamannya minggu depan.

“Eemm…Ma’leys yâ Ustadzna, el-imtihân hayegi ba’da Syuwayya. Wehna ‘ayiz tarkîz lil mudzâkarah, ‘asyan ed-durûs kitir fashl dhi!”(3) dengan sedikit basa-basi namun tegas kami terpaksa menolak undangan itu.

“Ohh…mafisy musykilah. Insya Allah tugeebu da’wâya ba’dal imtihân, Mesyi!?”(4) balasnya cukup pengertian.

“Khâdhir ya Syeikh. Ba’dal imtihan ehna musta’iddin kulle youm bi’idznillâh! ”(5). Dan usailah tawar-menawar itu dengan saling memahami antara kami dan mereka.
◊◊◊ ◊◊◊

Malam ini udara Kairo masih cukup dingin. Diiringi tiupan angin kencang yang sesekali menggedor-gedor jendela tua kamarku, kami, aku dan teman-teman sekontrakanku, saling bertukar cerita sesuai pengalaman masing-masing. Sebenarnya tubuhku sudah sangat capek dan mataku terasa berat untuk tetap mempertahankannya terjaga. Namun topik pembicaraan itulah yang membuatku bisa bertahan dan ikut nimbrung berbagi cerita tentang cinta.

Pada awalnya kami membincang seputar cinta dan asmara. Kebetulan beberapa teman yang ada kala itu sedang menjalani proses Long Distance Relationship (LDR). “Ahh…kaya’ apa aja ya istilahnya, LDR, hehe..!?” celotehku dalam hati. Tak terasa pembicaraan yang cukup hangat itu menjurus ke pembahasan kelebihan dan kekurangan LDR itu sendiri dilihat dari berbagai perspektifnya. Ya, walaupun banyak juga orang yang menyatakan bahwa LDR tidak ada baik dan untungnya sama sekali, namun bagi orang-orang yang sedang menjalaninya persoalan akan menjadi beda. Entah itu yang berkata bahwa dengan LDR akan lebih terjaga dari fitnah, hingga pada pernyataan nakal; LDR lebih ngirit biaya.

Begitulah manusia. Kenyataannya, secara fitrah kita masih banyak mengedepankan subyektifitas ketimbang obyektifitas. Wah, pokoknya banyaklah argumen-argumen yang muncul baik dari pihak pro LDR maupun yang kontra. Dan kesemuanya memang lebih banyak mengungkap pengalaman individu masing-masing.

Bermula dari pembicaraan cinta, secara mengalir topik malam itu bergulir menuju curhat dan pembahasan ahlak. Tak tau entah bertolak dari mana dan apa, tiba-tiba seorang teman bercerita tentang asal-usul sejarah keberangkatannya ke Mesir. Usut punya usut, ternyata unsur pendorong keberangkatannya ke negeri Fir’aun ini adalah hanya sebagai alternatif terakhir, ketimbang ia tidak kuliah sama sekali.

(“ya sudahlah nak, sebenere Abah masih tetap khawatir jika kamu kuliah di Mesir. Tapi daripada kamu tidak sekolah sama sekali, mending kamu tetep berangkat ke Mesir saja tak jadi apalah!”). Begitulah ungkapan Abah si Slamet ketika akhirnya beliau menyetujui keinginannya untuk kuliah ke Mesir.

“Memang kenapa kok Abahmu sampe’ bicara seperti itu, Met?” penjelasan Slamet di atas tiba-tiba menuntunku untuk menelisik lebih jauh lagi.

“Ya karena beliau sudah tau, walau entah dari mana, bahwa iklim perkuliahan di Mesir sudah tidak kondusif. Dan hal itu diperparah lagi dengan dekadensi moral serta ahlak para mahasiswanya, khususnya mahasiswa Indonesia sendiri, mungkin!” Slamet mencoba berargumen setengah yakin setengah tidak.

“Ooo…jadi begitu tho!” jawabku heran setengah mengiyakan pernyataan itu.

“Pada awalnya Abahku menghendaki agar aku bisa kuliah di Saudi, yang konon katanya relatif masih terkontrol dalam hal ‘ubudiyyah dan pergaulannya. Namun, kenyataan berkehendak lain. Kebijakan yang diambil pemerintah tentang proses pemberangkatan mahasiswa ke Mesir malah menjepitku pada satu pilihan. Yaitu aku harus ikut ujian seleksi. Akhirnya aku terdampar juga di Mesir!” tambah si Slamet dengan nada agak pasrah.

“Iya sih. Sebenere aku juga menyayangkan kondisi yang sudah seperti ini. Lingkungan dan gaya pergaulan yang sudah semakin semrawut. Tapi ya gimana lagi tho, wong ibaratnya kita ini sekarang kan sudah masuk ke wilayah “konflik”. Maka ya tergantung kitanya aja bagaimana pandai-pandai membawa diri. Toh penyesalan yang berlarut dalam kepasrahan terhadap lingkungan juga telah ditakdirkan tak akan menyelesaikan persoalan, kan!. Maka yang bisa kita lakukan adalah bagaimana menjadi seorang pembeda. Bergerak dan terus bergerak untuk meneguhkan diri!”. Rasanya capek juga berusaha berceloteh kesana kemari sok bijaksana, berharap dapat mengembalikan optimisme Slamet sekaligus diri sendiri.

“Trus sekarang gimana coba dengan pergaulan para mahasiswa kita yang sudah semakin membarat?. Terutama pacaran, TTM (Temen Tapi Mesra), nge-Date, liqa’ dan sebutan lainnya seakan telah mendarah daging dan menjadi biasa. Gagal ujian pun telah menjadi lumrah di kalangan Masisir.(6) Bahkan untuk berbicara jorokpun kita sudah semakin fashih, sefashif para da’i dalam menyampaikan ceramahnya!”.

“Ada semacam pembiasaan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa!” aku menyela alur pembicaraan Slamet.

“Ya. Jika mahasiswa al-Azhar saja seperti itu, lalu bagaimana dengan para mahasiswa di Indonesia ya? Mungkin ciuman bibir, bahkan petting mereka sering!. Nah tho, akupun ikut-ikutan fashih menggunakan istilah-istilah itu!??” Slamet semakin mendesakku dengan beberapa contoh fakta yang ia ungkapkan.

“Wah..wah..wah, kok ternyata analisamu sudah sejauh itu?. Kalo bagiku sendiri mungkin mahasiswa kita di sini masih “belom separah itu”. Ato sekalian untuk do’a aku memilih ungkapan “tidak separah itu” saja deh!. Paling kalo masalah disorientasi belajar itu betul. Atau…hemm…mungkin lebih tepatnya ya itu tadi, banyak mahasiswa kita yang justru menjadikan Mesir sebagai gelanggang pelarian, bukan sebagai kiblat ilmu pengetahuan yang ia akan bebas mengarungi samudranya sesuka hati dan sekuat daya IQ-nya. Lalu, hasilnya ya kaya gitu. Banyak dari mereka yang ketika sudah sampai di sini merasa kecewa dan akhirnya putus asa, putus cita-cita, bahkan hingga putus cinta. Hehehe!. Lalu gimana sikap kamu sekarang, Met??” tanyaku pada Slamet dengan harapan bisa mengetahui sedikit idealisme dan kepribadiannya.

“Ya begitulah. Aku memang mengakui aku apa adanya seperti ini. Dahulu, ketika Aku masih di rumah memang sudah rada-rada bejat. Entahlah. Nampaknya kondisi di tanah air memang sudah sangat terkontaminasi dengan arus globalisasi. Maka ketika aku berangkat ke Mesir, aku berharap sedikitnya aku akan bisa berubah!. Model pacaran remaja di Indonesia juga sudah semakin bebas. Tanpa adanya kepuasan fisik, pacaran seakan hambar. Maka jika kita kembali ke pembahasan awal kita tadi mengenai LDR, setidaknya aku akan lebih selamat dengan posisiku saat ini dari kemungkinan-kemungkinan lembah hitam itu. Titik. Capek deeghh!”.

Jarum jam di dinding sudah menunjuk angka satu. “Oughh…ternyata sudah larut malam, Met. Bukankah besok kita masih harus kuliah. Sudahlah. Nampaknya kita cukup capek membincang persoalan yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum ini. Lebih baik kita tidur saja!” pintaku pada Slamet menutup obrolan panjang kami.

Tak terasa secara perlahan beberapa teman yang ada di kamar saat itu terlihat mulai terlelap. Akupun sebenarnya sudah sangat ngantuk. Namun lagi-lagi percakapan tadi membuatku tak tega memejamkan mata. Dan pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan di dinding-dinding ingatan. Apakah benar generasi muda Indonesia sudah separah itu?. Prosentase yang sudah “tergelincir” lebih banyak dari yang masih “selamat”. Bahkan para duta bangsa, sudah seburuk itukah citra yang mereka torehkan. Hanya berkeliaran di negeri orang tanpa arah tujuan?? Lalu apa yang mau mereka bawa pulang untuk membangun negeri!?.

Ingatanku berkejaran menelusuri ruang demi ruang dimana aku sering menghadiri perayaan Maulid Nabi. Sebuah tempat dimana aku dan mereka mendendangkan syair puja-puji atas Nabi. Dan hampir tidak pernah ketinggalan para Syeikh yang sengaja diundang, pun melantunkan syair penghormatan kepada sang baginda: “Thala’al badru ‘alaina. Min tsaniyyatil wadâ’…”(7), dan juga membacakan sebuah Sabda: “innamâ bu’itstu li utammima makârimal ahlâk”(8), lalu ditutup dengan Firman Tuhan: “Laqad kâna lakum fî rasûlillahi uswatun hasanah”(9).

Bait demi bait syair itu menggema diiringi taluan Rebbana yang lalu disahut secara beriringan oleh para jamaah. Menggema dan menggelora. Mungkin hingga kini di desaku ritual semacam itu juga masih lestari pada setiap malam selasa dan jum’at. Iya. Malam Dziba’iyyah, yaitu malam pembacaan Sirah Nabawiyyah. Dan perayaan Maulid Nabi mungkin juga masih digelar dimana-mana, di setiap penjuru Nusantara, hingga di masjid Istiqlal Jakarta, Masjid kebanggaan Indonesia. Namun apa arti semua itu, jika penghayatan tak kunjung mendalam. Perayaan hanya sebatas simbol. Pengajian hanya menjadi trend orang perkotaan.

…“innamâ bu’itstu li utammima makârimal ahlâk”… dan bunyi sabda Nabi itu lebih menghujam tajam dalam lubuk keprihatinan. Keprihatinan terhadap keadaan generasi seperjuangan, terlebih tirani diri sendiri yang masih membelenggu erat di pintu hati. Apakah belum cukup Nabi menggunakan huruf “Qashr”(10) [innama] di awal sabdanya. Yang itu menandakan bahwa ia tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan ahlak!?. Lalu melihat fakta saat ini, apakah tujuan pengutusan itu sudah berhasil? Atau mungkin dengan jawaban yang cukup diplomatis, bahwa titah itu telah dilaksanakan Nabi dan pernah berhasil!?? Lalu sekarang kembali memudar lagi!. Ahh jangan. Kenapa fikiranku menjadi nakal. Yang jelas Nabi telah berhasil mematrikan pondasi awal itu di benak para Sahabat. Buktinya cahaya islam dan pencerahan alam dari kegelapan moral dan budi kala itu sudah sangat menyemburat. Bahkan percikan cahayanya hingga ke pelosok Konstantinopel, Andalusia, Syam, Maghrib dan lain sebagainya. Bahkan mungkin sampai ke Asia.

Huruf “Qashr” berfaidah “hasr”. Pembatasan, pengkhususan. Berarti Nabi Memang lebih konsentrasi ke perbaikan Moral, setelah meletakkan pondasi dasar keyakinan dan keimanan. Mungkin Sabda itu memang sungguh benar. Bahwa muara keberagamaan seseorang, dengan menjalankan syari’at dan ritual-ritual keagamaan dengan berbagai variannya adalah untuk menuju kelembutan hati dan kebaikan budi. Ohh…benarkan begitu!?.

Pertanyaan. Jawaban. Secara tiba-tiba mulai menduduki relung-relung hati. Semoga sang Nabi tidak sakit hati melihat wujud sebuah
generasi yang sudah termakan globalisasi. Adapun musibah yang terus membuat Pertiwi menangis, semoga itu juga bukan karena kebencian Nabi melihat kebejatan umatnya yang lebih suka menindas sesama, mengubur hati nurani, juga memakan bangkai saudara sendiri. Rintihan tangis para bayi yang masih suci, sujud panjang di sepertiga malam para Wali, juga munajat para binatang di setiap peraduan sunyi, semoga mampu membendung murka Ilahi. Walaupun negeri yang katanya “gemah ripah loh jinawe”(11) kini hanya menjadi isapan jari. Namun bukan berarti sejarah berhenti sampai di sini. Biarlah masa lalu dilindas waktu, namun perjuangan adalah abadi.

“Assalamu’alaik zainal anbiya’…
Assalamu’alaik ashfal ashfiya’…!”(12)

Dan hanya syair itulah yang masih tersisa di ujung bibir.
Yang mengalir mendampingi laju malam, menemani sepi, untuk kematian sementara dalam peristirahatan dunia. Jemariku melenusuri wajahku. Ada selaksa air mata yang membasahinya. Ohh..aku kembali mendapati tangis sunyi, yang kini ada mengiring hari kelahiran Nabi.[]

M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, Mei 2007.


Catatan:
(1)Saradiq : nama sebuah kain khusus yang biasa digunakan orang Mesir untuk membuat semacam tenda yang mengelilingi toko atau acara-acara khusus mereka.
(2)Artinya: “minggu depan aku undang kalian di rumahku”.
(3)Artinya: “Maaf Ustadz, ujian akan datang sebentar lagi, dan kami ingin konsentrasi belajar. Sebab pelajaran semester ini cukup banyak”.
(4)Artinya: “Ohh…tak apa-apa. Insya Allah nanti kalian penuhi undangan saya setelah imtihan. OK!?”.
(5)Artinya: “Siap Pak, insya Allah setelah ujian usai nanti kita siap setiap saat”.
(6)Sebutan akrab untuk “Mahasiswa Indonesia Mesir”.
(7)Artinya: “Sang purnama telah muncul menyinari kita. Dari tempat pelepasannya”. sebuah Qasidah terkenal yang dinyanyikan kaum Anshor menyambut hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah.
(8)Artinya: “tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan ahlak”. [al-Hadits].
(9)Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rassulullah itu suri tauladan yang baik bagimu…”. [QS. Al-Ahzab: 21].
(10)Dalam disiplin ilmu Nahwu “Harf Qashr” berfungsi untuk menunjukkan ungkapan “pembatasan atau pengecualian”, (li ifâdati al-hashr).
(11)Artinya :”Rakyat makmur tanah subur...”. Ungkapan ini sesungguhnya digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menerjemahkan ungkapan dalam al-Qur’an:..”Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”...
(12)Salah satu syair pujian atas nabi yang berarti: “semoga keselamatan tetap ada padamu wahai Nabi yang paling rupawan ■ semoga keselamatan tetap ada padamu wahai yang paling suci dari orang-orang suci…”

Baca Selanjutnya...!...