Syiar Budaya Bangsa Dalam Alunan Rebana

Friday, February 23, 2007

Oleh, M. Luthfi al-Anshori (Tulisan ini pernah dimuat di halamansatu.net)
Mesir - Masisir, yang merupakan sebutan akrab bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir, tentunya terdiri atas berbagai latar belakang budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda dari masing-masing daerah asal. Oleh sebab itu, muncullah berbagai macam organisasi, mulai dari organisasi kekeluargaan (yang mewadahi setiap warga dari konsulat daerah masing-masing), hingga organisasi almamater, marhalah, dan juga afiliatif (termasuh NU dan Muhammadiyah). Jamur di musim hujan, begitulah gambaran cocok mengungkapkan geliat pertumbuhan organisasi yang begitu subur di kalangan Masisir.

Bagi masyarakat Indonesia, kesenian Hadrah atau Rebbana mungkin sudah tidak menjadi barang langka. Terlebih bagi kalangan pesantren, baik salaf maupun modern, yang mempunyai geliat dan ghirah seni lumayan tinggi. Bahkan beberapa tahun terakhir ini, kesenian hadrah nampak begitu menjamur hingga ke pelosok-pelosok desa. Hampir setiap desa mempunyai paling tidak satu group Hadrah. Adalah lantunan sholawat atas nabi dan puji-pujian yang diiringi tabuhan alat musik berbentuk bundar dengan permukaannya yang terbuat dari kulit binatang, merupakan ciri khas kesenian ini.

Berbeda dari Indonesia, di negeri Mesir kesenian semacam ini jarang kita temui. Saking jarangnya, secara sekilas mungkin orang akan mengatakan tidak ada. Kalaupun toh ada, mungin hanya akan kita temukan di pos-pos atau markas-markas besar Jam’iyyah Thariqah, yang memang salah satu ajaran dan amaliyahnya berorientasi seputar memperbanyak sholawat atas Nabi dan puji-pujian.

Masisir, yang merupakan sebutan akrab bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir, tentunya terdiri atas berbagai latar belakang budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda dari masing-masing daerah asal. Oleh sebab itu, muncullah berbagai macam organisasi, mulai dari organisasi kekeluargaan (yang mewadahi setiap warga dari konsulat daerah masing-masing), hingga organisasi almamater, marhalah, dan juga afiliatif (termasuk NU dan Muhammadiyah). Jamur di musim hujan, begitulah gambaran cocok mengungkapkan geliat pertumbuhan organisasi yang begitu subur di kalangan Masisir. Apapun background, yang jelas, sebagai anak bangsa yang belajar di negeri manca, kami (Masisir) pun tak akan lupa mengenalkan keanekaragaman budaya Indonesia kepada para penduduk di bumi Musa. Kami adalah satu dari sekian banyak perkumpulan anak bangsa di negeri seribu menara.

Tepatnya kami tergabung dalam group Hadrah “an-Nahdhah” di bawah asuhan PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama’) Mesir. Dengan fasilitas alat yang seadanya, itupun juga kiriman dari Indonesia, kami, bersama beberapa teman yang dahulu sempat berlatih menabuh ‘terbang’ (sebutan lain dari alat musik Rebbana/Hadrah) di pesantren masing-masing mulai menggabungkan niat untuk melestarikan kesenian ini di kalangan Masisir. Sebetulnya di tubuh PCINU Mesir, kesenian ini sudah ada sejak dulu. Namun karena keterputusan proses kaderisasi, eksistensinya pun kembang kempis. Hingga akhirnya pada tahun 2004, dengan datangnya mahasiswa baru dari indonesia yang berjumlah sekitar 1000-an lebih, berdatanganlah pula kader-kader baru NU yang membawa keterampilan seni ini. Disusul angkatan 2005 yang juga tidak kalah membawa personelnya hingga 1045 orang, group Hadrah an-Nahdhah, dengan mendapatkan personel-personel baru menjadi semakin berkembang.

Awalnya kami hanya mengisi acara-acara intern PCINU Mesir saja. Lalu beranjak menghiasi acara-acara yang berskala umum dan lumayan besar, seperti ‘walimatul arusy’ mahasiswa yang menikah, acara wisuda, seminar, dan lain sebagainya. Sebetulnya secara histori kami hanya bermaksud untuk mengejawantahkan bakat dengan niat syiar. Minimal untuk kalangan warga Nahdhiyyin. Namun lambat laun gaung kesenian itu terdengar juga di telinga orang Mesir. Mulai dari sini kami sempat dipanggil untuk membawakan kesenian ini dalam sebuah siaran radio lokal di Kairo. Yah, masih seperti biasa, dengan alat apa adanya, dan dengan performance yang selugunya. Tapi lumayan, kami mendapatkan pesangon, setidaknya bisa untuk biaya latihan. Kami selalu berusaha mandiri, dengan tanpa membebankan biaya latihan dan transportasi kepada organisasi. Bahkan jika memungkinkan, uang kas yang kita dapat dari manggung bisa untuk menyokong kegiatan yang lain.

Nampaknya beberapa kalangan orang Mesir mulai tertarik dan menyukai kesenian ini. Mungkin tidak lebih karena muatannya adalah sholawat atas nabi dan puji-pujian, siapa sih yang tidak suka membaca sholawat?? Apalagi orang Mesir, yang katanya ketika ada orang bertengkar lalu ada yang teriak “sollu ‘ala an-Nabi” mereka langsung berhenti dan segera menjawabnya. Dan ditambah lagi dengan adanya sebuah jama’ah thariqah Ja’fariyah yang memang menekankan ajarannya untuk memperbanyak sholawat. Walhasil kami jadi sering diundang oleh orang Mesir untuk mengisi dalam halaqah-halaqah “mada’ih ‘ala an-Nabi”, sholawat atas nabi.

Yang paling sering mengundang kami adalah Syeikh Muhammad Kholid Tsabit, salah seorang dermawan dan muhsisin Mesir yang mempunyai Dar al-Muqattam atau percetakan kitab Darul Muqattam. Biasanya bukan hanya kami yang diundang untuk turut membawakan sholawat atas nabi dalam halaqah beliau, namun ada juga mahasiswa dari India dan negara-negara Afrika lainnya. Lambat laun kami mulai akrab. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk turut memberikan bea siswa kepada beberapa teman personil group yang belum mendapatkan bea siswa dari al-Azhar atau instansi-instansi yang lain. Alhamdulillah. Setidaknya beberapa teman bisa mendapat sedikit tunjangan bea siswa dari beliau, ketimbang tidak sama-sekali. Sebab, dengan naiknya prosentase kedatangan mahasiswa Indonesia ke Mesir dari tahun ke tahun, terutama yang lewat jalur mandiri atau terjun bebas (bukan lewat jalur Depag), hal ini memperkecil peluang mereka untuk bisa mendapatkan beasiswa.

Dari Syeikh Kholid kami pun diperkenalkan dan di bawa ‘konser’ ke mana-mana. Dari rumah ke rumah, hingga ke masjid-masjid. Daya tarik tersendiri bagi mereka mungkin karena kami membawa ‘alat Rebbana’, di samping lantunan sholawat yang senantiasa kami dendangkan. Kami seperti seniman jalanan, namun agak necis. Kalo ada undangan dari orang Mesir, kami sengaja membawa perlengkapan kami sendiri, termasuk sound-system. Sebab suara telanjang kami tentu tidak akan terdengar kalah dengan suara alat musiknya. Kami biasa mengangkat perlengkapan ‘konser’ dari markas besar PCINU yang berlokasi agak di dalam ke jalan raya dengan jalan kaki. Tidak ada rasa bosan bagi kami walau harus angkat-angkat alat&sound hingga ke tempat tujuan. Bagi kami, bisa mensyi’arkan budaya bangsa dalam alunan nada sholawat atas nabi adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami. Dan selanjutnya, kami, sebagaimana kaum muslimin yang lain tentu juga mengharapkan syafa’at dari Nabi besok di padang mahsyar.

Baca Selanjutnya...!...

Kala Cinta Menarik Jarak!!??

Sunday, February 11, 2007

Dahulu, ketika kita masih bersama, saling berdekatan ruang satu dengan yang lainnya, aku pernah menulis sepucuk puisi. Saat itu memang belum saatnya aku labuhkan. karena isinya hanyalah luapan hati yang saat itu sebenarnya telah aku rasakan, namun sengaja masih aku sembunyikan. Puisi itu berjudul;
"Cinta Menarik Jarak"...


-
Tiada satir penghalang
Tiada halilintar menyambar awan, hujan, lalu membanjiri daratan
Bumi masih tetap utuh, walau beberapa bagian telah goncang
Langitpun belum runtuh,
tapi mata begitu saja lumpuh,
kala bayangmu semakin dekat.
Sementara hati tak mampu menolak rindu,
kala ragamu mulai menjauh dariku.
Jarak terhampar,
antara aku dan kamu...
Tapi sudahlah, ..tak apa-apa!!
Itu adalah bias cinta. adapun dermaga..?
aku hanya butuh waktu
untuk dapat berlabuh
cukup satu yang ku pinta
bersabarlah!!
itu saja...!(03/4/2004)
-
Puisi itu aku tulis ketika perasaanku berkata; tatkala cinta jutru menarik jarak. Waktu itu, tafsiranku tentang "Cinta Menarik Jarak "; adalah bukan menarik jarak yang jauh menjadi semakin dekat. Namun justru sebaliknya. yang sebenarnya dekat, karena cinta yang membuncah, sementara tak ada kekuatan lidah untuk berbicara, hanya diam, terpendam, maka pada waktu itulah aku merasakan; bahwa jarakku yang dekat dengannya justru terasa jauh. Pertemuan adalah hal terindah yang aku inginkan kala itu.Tapi justru ketika telah dekat, hanya malu dan membisu seribu bahasa. Entahlah...apakah aku memang pemalu, atau penakut, atau pengecut, atau apalah yang lebih tepat...???

Sementara saat ini, judul itu, kandungan puisi itu, aku rasakan justru berbalik arah. "Cinta Menarik Jarak" telah benar-benar menarik jarak, yang sesungguhnya jauh, seakan tetap dekat. Walaupun perpisahan raga dalam jarak ruang dan waktu sudah tak terelakkan, namun keterikatan batin dan jiwa tetap mendekatkan. Hal itu ternyata diilhami dari sebuah kejujuran, pengertian, dan kesepahaman. Tatkala dua hati bertemu dan saling mengeja makna dalam untaian kata-kata pengakuan. akhirnya tumbuh sebuah kebenaran atas kesatuan cinta di antara kita. Waktu telah menjawab semuanya. Bahwa kita telah tertakdir untuk mempunyai satu rasa, 'cinta'.

Baca Selanjutnya...!...

A Poetry for You...

Tak tau juga nih...di sela-sela padatnya kegiatan, juga terkurasnya tenaga untuk selalu terjun ke lapangan, capek, justru aku ingin sedikit berbagi cerita tentang cinta.
Ini bukan sebuah penyesalan. Bukan pula sebuah gugatan atas takdir yang telah digariskan. Justru ini, adalah sebuah kesyukuran. Betapa cinta yang begitu memberikan kekuatan. selama ini, cinta yang aku rasakan belum pernah merugikan (seperti yang kebanyakan orang bilang), justru yang aku rasakan adalah kekuatannya yang membangkitkan. Di sini, aku tulis sebuah puisi, yang aku persembahkan untuk seseorang . Sang supporter setia yang senantiasa memberikan teriakan semangatnya. Untukmu, dari 'gembala pena' yang mengucap hotmat...

Dalam Naungan Cinta

Memang jarak itu teramat jauh!
Dan aku tak mungkin mampu menjangkaumu,
dalam kejap mata yang tak lama.
Takdir telah memisahkan kita,
dalam sebuah dimensi ruang yang berbeda.
Tak ada sayap untuk terbang
Tak ada tenaga untuk berenang
Sesekali sedih, memang..
Namun aku tetap lebih banyak memperoleh senang.
Hanya cinta yang ku punya,
hanya do'a senjata utama,
yang bisa mendekatkan kita;
hati kita,
perasaan kita,
untuk saling mengerti, memahami,
dan menemani.
Dalam jauh,
dalam sendiri,
hanya berteman hati yang saling memiliki.
Hanya dengan cinta, yang cukup memberi nyawa.
Aku tetap bisa hidup
walaupun terhampar jauh
dalam lama
dengan cinta...!

Baca Selanjutnya...!...

Gemerlap Khan el Khalily di Malam Sabtu

Thursday, February 08, 2007

Catatan Satu Pekan Yang Mengesankan, Melelahkan dan Mengharukan [2]
*)Jum'at, 2 Februari 2007

Pada Jum’at kali ini, kami -dept. Kaderisasi KSW- telah berencana untuk mengadakan rapat intern dengan pengurus “Izdihar” (marhalah terbaru Kelompok Studi Walisongo, organisasi kekeluargaan mahasiswa asal Jawa Tengah di Mesir) pada pukul 15.00 WK. Rapat ini kami tujukan untuk mengadakan konsolidasi internal dengan para pengurus Izdihar guna memulai sosialisasi beberapa program KSW pada termin kedua tahun pelajaran 2006/2007 ini.

Pagi hari aku mendapat telpon dari teman satu angkatanku di MAKN-MAPK Surakarta dulu yang sedang melakukan Observasinya di Mesir atas praka
rsa Departemen Agama RI. Namanya Fitria Sari Yunianti, Mahasiswa semester 6 Fakultas Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Dia bilang hari Jum’at ini dia tidak ada jadwal wawancara atau penelitian. Maka aku dimintanya untuk main kerumahnya, sekalian mengantarkannya berobat karena sakit. Cuaca Mesir saat ini nampaknya tidak bersahabat dengannya. Dingin. Tak ayal lagi kalo ia sampai flu.

Sebelum sholat Jum’at aku sudah meluncur ke penginapannya yang berlokasi di Abbas el Akkad, Nasr City, bersama Fuad, temen seangkatanku juga. Nyampe sana lalu kita ngobrol-ngobrol. Aku tidak mengiyakan keinginannya untuk berobat ke dokter. Aku hanya menyarankannya untuk beli obat saja dengan berbagai pertimbangan. Diantaranya takut kalo dia dikasih obat dosis tinggi. Sebab ukuran orang mesir dan orang Indonesia tentu berbeda karena berbagai perbedaan ketahanan tubuh dan lain sebagainya.

Karena adzan sudah berkumandang, beberapa saat kemudian aku dan fuad pun beranjak ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at.
Usai sholat, kami bertolak ke Bawwabah Tiga, Hay ‘Asyir, Nast City. Kali ini tujuannya adalah ke flat tempat tinggalku, dengan harapan temen-temen satu angkatan kami bisa silaturrahmi dan menemuinya di sana. Di setiap gerak aku teringat, bahwa usai sholat Ashar nanti aku ada jadwal rapat. Ahh…sambil menunggu waktu Ashar, aku memasak beberapa bungkus indomie untuk kawan-kawan. Si Fitri telah minum obat yang baru saja dibeli dari apotik.


Rasanya gak enak meninggalkan tamu di rumah. Namun jadwal rapat telah ditetapkan. Aku tetap harus berangkat. Walhasil, setelah beberapa kali lobi dan kroscek ke lokasi rapat kami –sekretariat KSW-, rapat bisa diundur beberapa saat karena para pengurus belum sampi di tempat. Setidaknya aku masih punya waktu untuk menjamu para tamu dahulu.

Pukul 17.00 WK aku menuju KSW. Di sana aku sudah ditunggu Zaenal dan Arfan, ketua dan sekretaris Izdihar. Sembari menunggu pengurus yang lain, kami langsung bercakap-cakap mengenai latar belakangnya diadakannya rapat ini. Tiada lain adalah untuk memulai konsolidasi antara Dewan Pengurus Pusat KSW dan anggota marhalah Izdihar. Beberapa pengurus lain datang, dan rapat segera kami buka.

Adzan maghrib berkumandang beberapa menit kemudian. Kami break sejenak untuk sholat, lalu melanjutkan rapat lagi. Ditengah-tengah rapat aku mendapat telpon dari Ari, temenku yang waktu itu menemani Fitri di rumahku. Dia bilang Fitri ingin ke Husein atau Kha
n Khalily, salah satu pusat penjualan souvenir di daerah Darrasah-Kairo, deket Masjid Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Alasannya simple; kalo tidak sekarang kapan lagi. Sebab dia takut kalau besok-besok dia sibuk dengan wawancara dan penelitiannya, dia akan tak sempat belanja-belanja lagi. Aku jawab OK! Tapi aku jelaskan rapatku mungkin baru akan selesai jam 19.00, waktu ‘Isya. Ia mengamininya.

Alhamdulillah, rapat telah usai sebelum Isya. Hasilnya adalah; bahwa marhalah Izdihar akan lebih berkonsentrasi pada pengembangan program penguasaan bahasa arab. Sementara program-program lain dari masing-masing departemen akan di bicarakan selanjutnya.

Aku segera kembali ke rumah. 5 menit kemudian aku sampai. Mengingat waktu yang semakin malam, aku dan Ari segera
sholat Isya’ sebelum berangkat. Si Fitri telah siap-siap. Lalu kami keluar rumah pukul19.30 dan nyari taksi untuk bisa mengantarkan kami ke Husein. Nyetop taksi, tawar menawan dulu, 10 LE. Akhirnya kami mendapat taksi dengan biaya cukup murah dilihat dari jarak yang akan kita tempuh.

Bismillah, kami berangkat. 30 menit kemudian kami telah sampai di Darrasah, yang telah dekat dengan lokasi tujuan. Namun macet. Jalanan malam ini sangat macet. Tak tau entah kenapa. Sedikit demi sedikit taksi yan
g kami naiki berjalan hingga akhirnya kami melihat kerumunan manusia yang sangat banyak. “hari ini kan hari Jum’at”, jawab salah seorang pejalan kaki setelah ditanya penyebab macetnya jalan oleh sopir taksi kami. Ohh…memang, hari Jum’at dan Sabtu adalah hari liburnya orang Mesir. Pantes saja kalau di Daerah Husein juga sangat ramai.



Akhirnya sampai juga. Di trotoar sepanjang jalan Darrasah dan Husein bagaikan ada aliran sungai manusia. Penuh sesak. Warga Mesir dari berbagai daerah nampaknya sedang beramai-ramai week-end di Husein; entah di masjid dan makam imam Husein atau Khan el-Khalily. Aku mulai memasuki pusat pertokoan souvenir itu bersama Ari dan Fitri. Fitri bilang ia ingin membeli beberapa kaos dan boneka Onta untuk saudara dan keponakannya. Beberapa kaos pun terbeli dengan gambar-gambar khas Mesir. Di samping itu ia juga sempat membeli Papyrus, lukisan khas Mesir. Satu boneka Onta besar dan lima yang kecil ia beli juga sebagai oleholeh untuk adik dan ponakannya. Waaah…mumpung ada di Mesir, nampaknya ia takkan melewatkan kesempatan ini untuk membelikan souvenir buat keluarga dan saudaranya.

Setelah kurang lebih satu setengah tahun di Mesir, baru kali ini aku menikmati suasana seramai ini, di malam hari, di kawasan Khan el Kholili. Sungguh ramai. Para turis pun hilir mudik dengan bus-bus travel yang mereka naiki. Kawasan ini memang salah satu aset Mesir yang cukup menarik perhatian wisatawan asing.

Wusssyyy…ditemani hujan rintik-rintik yang menambah dinginnya udara Mesir, kami terus menyusuri daerah tersebut. Beberapa jebretan foto pun telah kita ambil untuk mengabadikan suasana. Usai sudah belanja-belanja hari ini. Waktu sudah menunjukkan jam 22.30. Kami segera pulang ke Abbas el Akkad, penginapan Fitri. Dengan naik taksi, kami berharap akan segera sampai ke penginapan, karena si Ari sudah kebelet pipis, dan susah plus repot mencari toilet di Husein. Maka ia tahan hingga sampai di penginapan.

Sampai di penginapan kita duduk-duduk sejenak sebelum akhirnya aku dan Ari kembali ke Hay “Asyir untuk segera beristirahat. Hari ini sungguh cape dan berat. Tapi kepuasan tersendiri rasanya memenuhi dada. Seakan waktu benar-benar sangat berharga dalam sebuah kesibukan dan kegiatan-kegiatan. Kali ini aku tidur larut malam lagi. Melepaskan segala cape’ dan penat, berharap esok akan segar kembali.

Baca Selanjutnya...!...

Bedah Novel "Ayat-ayat Cinta"??

Catatan Satu Pekan Yang Mengesankan, Melelahkan dan Mengharukan [1]
[1 Februari 2007 ]


Hari pertama di bulan ke dua tahun ini nampaknya cukup bermakna bagi sebagian Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir). Pasalnya, pada sore hari ini, bertempat di Auditorium Kulliyah Thib, Universitas al-Azhar Kairo, oleh PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Mesir) digelar Bedah Novel “Ayat-Ayat Cinta” yang dihadir langsung oleh penulisnya, Habiburrahman el Saerozy, di sela-sela kunjungannya ke Kairo bersama rombongan IKAPI dalam rangka International Book Fair ke-39. Bagi para penikmat dan pecinta “Ayat-ayat Cinta”, tentunya acara ini cukup menarik dan mengesankan.

Kang Abik, dalam “Ayat-ayat Cinta”-nya memang cukup fashih dalam mengeksplorasi setting cerita yang berlokasi di Mesir itu. Sedikit atau banyak, para pelajar Indonesia yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi mesir ini mengaku bahwa, ketertarikan dan kebulatan tekadnya untuk hijrah ke Mesir terbentuk setelah membaca AAC. Terlebih bagi para mahasiswa yang memang sebelumnya sudah ada niatan untuk ke Mesir, AAC cukup memberikan kesan penasaran dan dorongan rasa ingin membuktikan, bagaimanakah keadaan yang sejatinya di Mesir.

Tentu saja tendensi dan ketertarikan itu berbeda-beda antara yang satu dan lainnya. Mungkin ada yang ingin membuktikan betapa menarik hubungan asmara yang digambarkan dalam AAC. Mungkin ada juga yang penasaran dengan al Azhar, tahfidz qur’an, dan para guru serta masyayikh yang keren-keren, sebagai salah satu bagian isi AAC. Atau bahkan mungkin ada yang juga yang terobsesi untuk meneliti seputar pemerintahan mesir, khususnya militer yang begitu ganas, (hii…mungkin gak ya??takuut dehh!!).

Sebenarnya aku punya rencana untuk menghadiri acara ini. Namun sayang, akibat ada urusan lain yang lebih mendesak, akupun tak jadi menyaksikannya. Aku masih harus menyelesaikan tugas reportase dari acara hari sebelumnya, peringatan Harlah NU ke 81 dan juga bersilaturrahmi ke penginapan temen dari Indonesia yang sedang melakukan observasi di Kairo. Aku, bersama beberapa teman satu almamater bincangbincang dan ngorol santai di penginapan tersebut sampai agak larut malam, lalu pulang. Ngantyuk dech..!!!Bobo’ dulu!

Baca Selanjutnya...!...