“Mengadili” Sense of Politic??*

Thursday, March 22, 2007


Oleh: M. Luthfie al-Anshori**

Manusia, dalam satu waktu dan keadaan yang sama, adalah seorang mahluk penyendiri/individu dan mahluk sosial. Sebagai mahluk individu, ia senantiasa melindungi keberadaannya, mempertahankan eksistensinya, dan yang terpenting untuknya adalah memuaskan keinginan pribadinya, dan mengembangkan bakat serta minatnya. Sebagai mahluk sosial, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, dicintai oleh sesama manusia, untuk saling berbagi kebahagiaan, membuat mereka nyaman dikala tumbuh kesedihan, menjadi penyemangat dalam lemahnya keputus-asa-an, dan juga untuk meningkatkan taraf hidup.

Namun demikian, eksistensi dari hal-hal tersebut sangat berkaitan, bahkan bertentangan, tergantung pada karakter pribadi manusia. Kombinasi khusus tersebut menentukan sampai sejauh mana seseorang dapat mencapai keseimbangan individu dan tetap memberikan sumbangsihnya bagi kehidupan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa, kedua kekuatan ini, terutama dapat digabungkan karena memang telah melekat pada dirinya. Akan tetapi, kepribadian yang pada gilirannya muncul sebagian besar karena terbentuk; oleh pengaruh lingkungan dimana manusia tersebut tumbuh dan berkembang, struktur masyarakat dimana ia dibesarkan, budaya dari masyarakat, dan oleh penghargaan yang diperolehnya atas tingkah laku serta perbuatan tertentunya.

Konsepsi abstrak “masyarakat” bagi manusia perseorangan adalah keseluruhan hubungan langsung maupun tidak langsung atas masyarakat yang hidup pada masa yang sama atau sebelumnya. Individu tertentu dapat berpikir, berkreasi, merasakan, berjuang dan bekerja oleh dan untuk dirinnya sendiri. Akan tetapi, sebenarnya ia juga tergantung pada masyarakat, -baik secara fisik, intelektual, emosional- sehingga sangat sulit memahami dan memikirkannya di luar kerangka masyarakat. Adalah masyarakat yang menyediakan manusia dengan makanan, pakaian, rumah, perkakas, bahasa, pola pikir, dan hampir semua isi pemikirannya. Hidupnya menjadi nyata setelah bekerja dan berhasil sukses sejak jutaan tahun lampau, dan hingga kini dimana semua hal tersebut tersembunyi di balik sebuah kata, “masyarakat”.

Hal-hal itu adalah bukti, karenanya, ketergantungan seseorang terhadap masyarakat adalah fakta alamiah yang tidak dapat dihilangkan. Senada dengan pernyataan di atas, Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani, lebih jauh ia juga menyatakan bahwa; manusia, selain sebagai mahluk pribadi, juga sebagai mahluk sosial dan mahluk politik (zoon politicon). Manusia tidak dapat hidup sendiri, namun senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain. Aristoteles tentu saja mendasari pemikirannya dari analisisnya terhadap realitas manusia pada zamannya. Bahwa, memang manusia secara fitrahnya membutuhkan keberadaan manusia lain.

Lalu, mengapa akhirnya harus menjadi politisi (mahluk politik, red) juga? Karena kita adalah manusia, dan menurut Aristoteles dalam definisi klasiknya tentang politik menyebutkan bahwa, politik adalah master of science, karena manusia hidup tidak pernah lepas dari politik. Manusia adalah mahluk politik (sama dengan “natural born” politisi?), sehingga ilmu pilitik adalah sebuah kunci untuk memahami lingkungan.

Selain Aristoteles, tentunya telah ada dan berkembang banyak sekali definisi tentang politik. Harold Laswell dengan definisi politik itu adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Ada juga yang mendefinisikan politik sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang negara menyangkut institusi, hukum dan prosesnya. Selanjutnya politik sebagai the art of possible, lalu politik sebagai kepentingan atau konflik, kemudian politik sebagai sebuah kekuatan (power)/kekuasaan dan karenanya harus dipertahankan (sampai titik darah penghabisan??) . Nampaknya definisi terakhir tentang politik di atas (sebagai kekuasaan), lebih mudah dipahami dan dimengerti secara riil ketimbang yang lainnya.

Manusia, dalam perjalanan hidupnya, sejak kecil hingga dewasa, sesungguhnya senantiasa melakukan praktek “berpolitik”, entah disadarinya maupun tidak. Pada masa kanak-kanak; seorang ‘bocah’ sering menangis untuk mendapatkan pembelaan Mama dan Papa ketika sedang berkelahi dengan saudaranya. Ngambek dan mogok makan supaya dibelikan mainan atau diperbolehkan untuk melakukan sesuatu. Pada masa puber; seorang remaja mulai melakukan serangannya untuk menjalin hubungan dengan orang-orang signifikan di sekolah seperti satpam, tukang parkir, tukang foto copy, ibu kantin untuk mempermudah banyak hal. Pada masa kuliah; para mahasiswa berbondong membina pertemanan baik dengan para pegawai TU supaya di saat-saat genting pengumpulan tugas bisa mendapatkan tambahan sedikit waktu. Dengan dosen-dosen yang tentunya untuk transfer ilmu mereka dan transfer proyek untuk menambah pengalaman, atau supaya bisa menggolkan lebih dari 20 SKS dalam satu semester supaya cepat kuliah. Demikian beberapa contoh “fitrah berpolitik” manusia, dan seterusnya, dalam setiap fase kehidupan seseorang, ia akan senantiasa melakukan praktek-praktek politik untuk memudahkan urusannya.

Sedemikian mengakar ternyata potensi manusia untuk “berpolitik”. Maka tak ayal jika pada zaman sekarang ini, berbagaimacam bentuk dan fariasi politik dapat kita jumpai dengan mudah di mana-mana. Terma “politik” sendiri, bagi beberapa kalangan masyarakat awam, masih dianggap sebagai sebuah momok, yang senantiasa memberikan sense negative dalam pandangan mereka. Politik sering diasosiasikan dengan kata kotor, kejam dan culas, yang membuat mereka yang mendengarnya menjadi jijik. Hal itu nampaknya dipengaruhi oleh ketidaktahuan mereka akan arti politik secara luas.

Hingga saat ini, tingkat kesadaran dan atau pengetahuan masyarakat Indonesia dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak politik masih sangat rendah. Survei yang dilakukan The Asia Foundation pada tahun 2003, sebelum pemilu 2004 yang menghasilkan SBY sebagai presiden menemukan bahwa; 55% dari 1.056 random representative sample di 32 propinsi Indonesia menyatakan tidak mengetahui arti negara demokrasi yang sebenarnya. Mereka belum memahami signifikansi negara demokrasi bagi pemenuhan hak-hak politik, sebagaimana pula mereka tidak mengetahui cara mengartikulasikannya dalam kehidupan politik yang demokratis.

Terkait dengan hasil survei tersebut, kenyataan yang ada menjadi tidak aneh jika mereka memilih partai politik bukan karena program serta visi dan misi yang jelas, atau sebab hal itu akan dapat membawa keadaan menjadi lebih baik. Namun mereka memilihnya karena sekedar partai itu adalah partainya (19%), faktor pemimpinnya –bukan kepemimpinannya- (14%), atau sekedar partai islam (10%), dimana sebagian besar mereka ini (55%) tidak memahami apa yang mereka harapkan untuk dapat dilakukan oleh partai islam tersebut. Yang lebih ironis lagi, sebanyak (14%) mereka tidak tahu alasan memilih partai, dan (14%) sisanya sudah lupa.

Data penelitian itu, serta didukung fenomena yang berkembang saat ini menorehkan secara jelas tentang minimnya pengetahuan mereka tentang hak-hak politik. Pilihan dan dukungan mereka terhadap partai politik bukan didasarkan pada alasan-alasan rasional untuk penggunaan hak-hak politik, tapi merujuk pada alasan yang sangat kental dengan watak sektarianisme, taqlid buta dan sejenisnya. Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, negara dan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat tentunya sulit untuk diwujudkan dalam dunia konkrit.

Hingga saat ini, dengan semakin maraknya partai-partai politik yang bermunculan, baik dalam ranah ke-indonesia-an maupun dunia global pada umumnya, dengan tanpa diiringi pengetahuan dan pemahaman yang seimbang oleh masyarakat, tentunya akan lebih mempersulit perwujudan dan pemulihan stabilitas keamanan serta perbaikan sebuah tatanan pemerintahan. Setiap orang maupun golongan, kini bebas mendirikan partainya masing-masing (walaupun dengan syarat-syarat tertentu pastinya), entah itu yang praktis maupun pragmatis dan sejenisnya. Yang jelas setiap komponen tersebut akan selalu meng-klaim bahwa dirinyalah yang paling benar dan akan senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya.

Hal ini tentu saja telah jauh bergeser dari asas serta nilai yang terkandung dalam fungsi sebuah organisasi tertentu. Pencapaian kehidupan yang mencerminkan nilai rahmatan lil ‘alamin serta perwujudan civil sosiety yang harusnya dikembangkan dan dilabuhkan secara konkrit di bumi pertiwi seakan hanya menjadi utopia yang nyaris sulit diraih dalam realitas kehidupan.

Di atas semua itu, yang harus segera dilakukan untuk dapat memakmurkan dunia dan menyejahterakan masyarakat adalah mensterilkan agama dari tarikan-tarikan politik paktis dan pragmatis. Para agamawan bersama para elite politik memiliki kewajiban untuk mengembalikan agama ke ranahnya yang asal dan genuine sebagai sumber nilai dan etika-moral universal. Dalam posisi semacam itu, agama diharapkan dapat membumikan misi pencerahan atas umat manusia. Potret manusia dalam bingkai politik, untuk dapat mewujdkan keseimbangan kosmos, yang telah menjadi fitrahnya sejak bayi senantiasa harus dibangun dan dipupuk di atas asas maslahah ‘ammah dan rahmatan lil alamin, bukan pemenuhan atas nafsu dan kepentingan pribadi. Wallahu a’lam!


*) Tulisan ini di-publish-kan untuk Diskusi Cyber Perdana Glafeesa , dan pernah dimuat dalam buletin “Afkar”, PCINU Mesir, edisi XXXVII, 15-30 Februari 2007.
**) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin tingkat II Universitas al-Azhar Kairo-Mesir.
=>Picture taken from : doci.nnm.ru/synthpop/28.06.2006/

0 Komentar: