Secuplik Potret Dunia Konflik

Monday, May 28, 2007

Di sela-sela kesibukan menghadapi ujian, sesekali aku pun menemui kejenuhan. Di samping itu juga ada lelah dan capek yang tak jarang menghampiri dan serasa menghimpit. Kecapekan raga, juga otak. Namun semoga jiwa dan ruh tetap semangat dalam menjalani semua ini, bersahaja dan lapang dada dalam sikap penerimaan sebagai sebuah proses meniti tangga. Dan seperti yang telah termaktub dalam lembar-lembar sebelumnya, aku telah betul-betul menyadari bahwa kehidupan ini adalah ujian itu sendiri. Ujian dalam “madrasah akbar” bernama DUNIA. Maka, ujian dalam ujian memang sudah sepatutnya menjadi makanan sehari-hari yang mau tidak mau harus dinikmati. Namun tidak semua orang bisa menikmatinya. Atau kalo misalkan mereka menikmatinya, penyikapan bisa jadi berbeda-beda dan beraneka warna.

Perbedaan itu mungkin akan sangat kentara dalam sisi bagaimana mereka melakukan persiapan terhadap materi yang akan dihadapi. Ada yang pake’ model hafalan minded. Ada yang cuman membaca dan memahami. Ada pula yang menggabungkan keduanya. Mungkin masih ada pula yang tidak menghiraukan itu semua, lalu mengandalkan ilmu laduni atau ilham dari Ilahi. Ahh, mungkin itu konyol?. Nahh...ada yang ketinggalan nih, mungkin ada pula lho yang mereka hanya mengandalkan ilmu nyontek. Wah, kalo yang ini mungkin lebih naif!?.

Sebuah perbedaan lagi mungkin akan kita temui dalam bagaimana masing-masing orang membagi porsi antara; bejalar, ibadah, istirahat dan makan. Potret idealnya adalah bagaimana seseorang bisa memberikan porsi antar kesemuanya dengan ‘adil’. Namun ada pula yang hanya mengandalkan ibadah tanpa mau berusaha sekuat daya-upaya. Ada pula yang memberikan porsi lebih kepada belajar namun ibadahnya masih seperti biasa. Fenomena golongan kedua ini sedikitnya ada dua alternatif kemungkinan yang melatarbelakanginya. Pertama, adalah golongan yang gengsi terhadap Tuhan!?. “Ahh, masak aku hanya mau mendekat kepada-Nya ketika masa ujian datang, hanya ketika aku butuh?? Masak aku hanya bersikap seperti para penjual yang akan kulakan (belanja) atau menampung banyak persediaan dagangan ketika melihat pasar sedang ramai pembeli. Namun ketika pasar sepi tak ada aktifitas, mereka hanya akan diam. Berarti ibadah adalah sesuai kebutuhan, berarti usaha adalah menunggu waktu, dan bukan mempersiapkan diri untuk menjemput waktu??”.

Kedua, adalah mereka yang memang sengaja hanya memberikan porsi secukupnya untuk ibadah. Alasannya mungkin simple dan cukup logis; “lebih baik aku banyak belajar daripada hanya banyak ibadah!”. “Lebih baik waktu yang aku habiskan berlama-lama untuk ibadah, baca dzikir, baca al-Qur’an, aku gunakan untuk belajar pelajaran. Karena hanya dengan ibadah toh aku juga tak akan bisa mengerjakan soal tanpa belajar”. Mungkin asumsi sekaligus konklusi di atas terlalu narsis. Tapi kenyataannya itu masih banyak berlaku juga di kalangan pelajar.

Selanjutnya banyak pula yang masih mempertahankan SKS (Sistem Kebut Semalam). Akibatnya, bagi yang masih punya keinginan untuk bisa mengerjakan soal, mereka akan nglembur sampai malam tanpa memperhatikan istirahat, ibadah, dan makan. Ahh…ini lebih capek lagi!. Sebab jika fisik tidak kuat pada hari H ujian justru bisa KO. Pokoknya masih banyak lagilah fenomena-fenomena yang ada di sela-sela musim ujian. Namun yang jelas, apapun perbedaan dan keanekaragaman usaha maupun dinamika itu, mereka mempunyai satu titik kesamaan; yaitu “bahwa ujian sudah ada di depan mata yang mau tidak mau harus dihadapi dengan gantle!”. Ibarat gerderang perang sudah ditabuh, maka sebagai pasukan mau tidak mau harus maju ke medan perang. Adapun jika ada yang membelot atau melarikan diri, sudah pasti ia akan gagal memenangkan perang. Setidaknya perang yang berkecamuk dalam diri sendiri.

Tanggal 17 Mei yang lalu ujian musim panasku telah dimulai. Dan hingga pada detik dimana aku menuliskan catatan ini terhitung sudah 3 dari 8 mata kuliah yang aku lalui. Secarat berurutan adalah Al-Qur’an – Khithabah – Falsahah&Akhlak. Kedepan masih ada 5 materi lagi yang akan ku lalui; Tafsir, Nahwu&Balaghah, Hadits, Ilmu Qur’an, Tauhid. Puutthhhh…rasanya capek. Berat. Namun begitulah hidup. Karena aku telah menjadi bagian darinya, aku pun harus mengikuti tata cara bermainnya. Menuruti skenario Sang Penciptanya.

Meski terkadang suntuk, namun masih ada banyak hal yang bisa aku lakukan. Diantaranya adalah dengan menulis, juga bekunjung dan bermain ke rumah teman. Setidaknya dengan banyaknya kawan, hidup akan lebih nyaman. Banyak tempat untuk berlabuh, banyak tempat untuk berteduh. Jika musim panas datang dengan segenap kekuatannya yang menyengat kulit dan mengeringkan tenggorokan, banyak tempat untuk sekedar mampir minum dan beristirahat.

Bagaimanapun juga kehidupan ini akan selalu dipenuhi konflik. Konflik demi konflik akan selalu dan setia menyapa setiap orang. Baik itu yang berskala kecil maupun besar. Jika kehidupan adalah konflik, ujian juga konflik. Bahkan ia menjadi momok bagi sebagian orang. Hidup ‘berumah tangga’ juga konflik. Bergaul dengan kawan, dengan masyarakat, juga rentan konflik. Apalagi hidup dalam satu atap dengan beraneka ragam kepala lengkap beserta ego masing-masing, juga konflik. Arrkkhh…jika semuanya berbau konflik, rentan konflik, mempunya potensi menjadi konflik, mau tidak mau aku harus pandai-pandai memenej konflik. Lalu dengan segala situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga aku harus bisa menikmatinya sebagai bumbu penyedap rasa dalam perjalanan kehidupan yang tak lama.

Ujian dalam ujian. Di kampus ujian. di jalan ujian (karena lalu lintasnya susah dan semrawut kali..?). Di rumah juga ujian; dapur kotor, kamar berantakan, kran rusak, saluran pipa bocor, dimarahin tetangga lantai bawah. Semuanya memang ujian, penuh tantangan. Tapi semuanya akan menjadi ringan jika dihadapi dengan kebersamaan. Semua akan nyaman jika disikapi dengan rileks, enjoy dan sabar. Bersabar bukan berarti pasrah dan tawakkal dengan berpangku tangan. Namun segera melakukan usaha dan tindakan, bukan hanya dongkol dan pasrah dengan keadaan. Semoga. Semoga dengan banyaknya ujian jiwaku semakin kokoh, bukan semakin lemah. Semoga pula “derajatku” semakin meningkat, bukan justru menurun. Jika dalam alam kesementaraan saja kita gagal melewati ujian, lalu bagaimana kita bisa mengharapkan keselamatan dan kesuksesan di alam keabadian??. Wallahu a’lam! (Pertigaan Kampung Sepuluh, 28 Mei ’07)

0 Komentar: