Dakwah dan Kapsul

Tuesday, June 19, 2007


Seringkali orang masih getol menerjemahkan teks secara leterlijk-tekstual. Hasilnya, apa yang diinginkan terkadang justru kontraproduktif. Ironisnya lagi hal ini masih berlaku juga dalam lingkup dunia dakwah. Sebuah sabda Nabi yang sudah sangat masyhur; “qul al-haqqa walau kâna murran”, pun diartikulasikan sebagai dalil untuk berbicara lantang dan bertindak tegas dalam menyerukan kebenaran. Jika itu salah, maka dengan tegas dan terus terang harus dikatakan salah. Dan jika ini benar, maka juga harus dikatakan benar.

Secara sekilas statemen di atas memang benar. Bahwa sebuah kebenaran memang harus dibenarkan dan kebathilan harus dihapuskan. Namun dalam tataran praksis hal itu tidak serta-merta bisa diterapkan secara saklek. Banyak contoh kasus yang secara eksplisit menyatakan bahwa praktek dakwah yang kaku semacam itu justru menimbulkan penentangan (minimal perasaan dongkol) dari pihak audience. Bahkan bisa jadi seorang audience akan sampai pada tindakan mencegat bahkan mengancam sang da’i jika dirasa apa yang disampaikannya terlalu kaku dan keras merobek-robek adat atau tatanan masyarakat yang sudah ada sebelumnya.

Seorang da’i, dalam disiplin ilmu dakwah disebutkan minimal harus memiliki beberapa kecakapan dan kemampuan keilmuan yang cukup untuk menjalankan proses dakwah. Diantaranya adalah ilmu bahasa, sosial dan psikologi. Di samping itu ia juga harus mempunyai kesiapan mental serta material yang cukup untuk menopang aktifitas dakwahnya. Dan jika beberapa hal di atas tidak dimiliki seorang da’i, proses dakwah yang diembannya bisa jadi akan sia-sia dan tidak tepat sasaran.

Melalui kecakapan bahasa, seorang da’i dengan elok dan menawan akan mampu menyampaikan materi dakwahnya secara optimal dan lugas. Dengan ilmu sosial, seorang da’i setidaknya bisa membaca dan menganalisa secara cepat bagaimana kondisi sosial masyarakat setempat yang akan dijadian sebagai obyek dakwah. Dan dari situ ia akan mampu menyesuaikan gaya serta materi penyampaian sesuai dengan latar belakang dan karakter masyarakat tersebut. Masyarakat desa tentu tidak akan nyambung dengan urusan politik, perekonomian maupun materi-materi lain yang sekiranya berat dan di luar jangkauan keseharian mereka. Berdakwah untuk mereka juga tak mungkin menggunakan gaya bahasa intelektual yang banyak diserap dari berbagai bahasa asing. Begitu juga sebaliknya, model dakwah untuk masyarakat desa belum tentu cocok untuk diterapkan di kota. Maka intinya adalah bagaimana seorang da'I bisa bersikap proporsional dalam “mengukur kedalaman sungai yang akan disebrangi”.

“Khâtibu an-Nâsa ‘ala Qadri ‘Uqûlihim” begitulah sabda Nabi yang mengajarkan sebuah metode dakwah yang juga telah diterapkan oleh Nabi-nabi sebelumnya. “Sampaikanlah dakwah, risalah, maupun nilai-nilai lainnya kepada manusia sesuai kadar kemampuan otak mereka”. Betapa bijak memang kandungan Hadits di atas. Bahwa setiap masyarakat memang diciptakan berbeda-beda dan beraneka ragam corak budaya dan adat istiadatnya. Dan pada gilirannya hal itu juga mempengaruhi tingkat kecerdasan berpikir dan daya tangkap mereka terhadap sesuatu yang baru. Maka bagi setiap da’i seyogyanya bisa arif menangkap setiap perbedaan-perbedaan tersebut, lalu mempersiapkan materi beserta bumbu-bumbunya yang sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat.

Sabda “Qul al haqqa walau kâna murran” lagi-lagi tidak harus diterapkan secara saklek dan kaku. “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu rasanya pahit”. Menggenggam amanat dakwah adalah bukan hal yang remeh. Apalagi jika kita menilik konteks kekinian, maka kita akan menjumpai berbagai aral dan tantangan yang setiap saat siap menghadang. Iya. Mengemban amanat dakwah pada masa sekarang adalah laksana menggenggam bara api yang setiap saat siap membakar diri sendiri.

Maka sejenak mari kita mengamati falsafah "kapsul". Bahwa kandungan obat yang terbungkus di dalamnya sejatinya adalah pahit. Pahit bahkan getir jika ia ditelan secara langsung tanpa ada pembungkus berupa “kapsul”. Maka dari sini kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa sesuatu yang hakikatnya pahit tidak harus ditelan secara pahit pula. Namun kepahitan itu bisa dihindari dengan memberikan pembungkus yang rapi dan nyaman.

Mari kita analogikan dan kita singkronkan dengan sabda Nabi di atas; “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu rasanya pahit”. Seorang da’i, dalam kaca mata syar’i adalah ibarat dokter yang secara komprehensif mendata dan mendiagnosa gejala-gejala penyakit yang ada dalam masyarakat. Maka dari situ ia akan memilih dan memilah obat apa yang kira-kira cocok untuk masyarakat tertentu. Dan selanjutnya adalah proses pengobatan yang tiada lain adalah praktek dakwah itu sendiri. Maka muatan dakwah atau materi pengobatan maupun penyuluhan yang hakikatnya mungkin terasa pahit sepahit obat atau pil, bisa jadi disiasati supaya tidak diterima pahit pula oleh masyarakat. Untuk itulah kecakapan seseorang dalam mengolah kata itu diperlukan. Dan hal itu terkembali pada sejauh mana seorang da’i mempunyai kemampuan berbahasa yang maksimal.

Iya. Sebuah materi yang substansinya pahit karena itu akan memperbarui bahkan merombak tatanan-tatanan yang sudah ada sebelumnya dalam sebuah sistem masyarakat tidak harus disampaikan untuk dikomsumsi secara pahit pula. Namun ibarat obat pahit yang berada dalam kapsul ia menjadi tidak pahit ketika dikonsumsi, karena telah dibungkus dengan sesuatu yang baik yang sudah diramu dan diolah oleh tangan-tangan profesional. Maka, “sampaikanlah kebenaran yang substansinya terasa pahit namun bisa diterima dengan tanpa rasa, tanpa disadari dan hal itu secara alami akan merasuk ke berbagai jaringan syaraf dan sel, namun memberikan efek perubahan signifikan menuju arah perbaikan dan penyembuhan”. Wallahu a’lam!

M. Luthfi al-Anshori
Mutsallas-Hay Asyir-Nashr City, 18 Juni 2007, 10.02 WK.

Baca Selanjutnya...!...

Dimensi Ujian

Friday, June 15, 2007


Musim ujian bagiku adalah rahmat. Terserah apakah di beberapa ruasnya aku masih merasakan penat, capek dan terkadang juga suntuk menghadapi ribuan halaman buku diktat. Namun kesemuanya itu tak membuatku kalah dan menyerah untuk terus berjibaku mengalahkan malas memerangi nafsu. Bagiku ujian adalah peluang. Peluang untuk mendapatkan sebuah kemenangan bernama “Kelulusan”. Ya. Lulus dari ujian maupun cobaan dengan berbekal bulatan tekad, kesabaran dan kepasrahan sepenuhnya kepada Tuhan. Maka, di sebuah ruang yang berlabel “kelulusan” itulah aku menemukan rahmat.

Ujian adalah karunia. Di dalamnya ia menyimpan sebuah kekayaan. Yaitu kekayaan kesempatan yang terlalu sayang untuk disia-siakan. Tanpa melewati ujian, bagaimana mungkin seorang siswa akan bisa naik kelas atau naik tingkat!? Bahkan anak seorang presiden, gubernur, bupati, pun harus melalui ujian untuk bisa naik kelas. Atau jika ‘hal itu’ memang sempat terjadi, bisa saja kenaikan itu disebabkan oleh unsur di luar kenormalan, atau kejujuran.

Falsafah ujian sekolah, madrasah, perguruan tinggi atau apapun nama dan tingkatannya adalah secuplik pelajaran dari sekolah kehidupan bernama DUNIA. Yang di dalamnya juga menuntut adanya ujian bagi setiap manusia untuk dapat membuktikan eksistensinya, untuk dapat menunjukkan kepada dunia bahwa ia ada dan mampu melewati setiap ujian dengan “selamat”. Bertindak sebagai juri dalam setiap ujian kehidupan adalah Sang Pencipta dari segala yang bernyawa maupun yang tidak. Jika lulus ia akan naik tingkat di sisi-Nya. Dan jika gagal atau putus asa ia akan tetap pada posisinya yang semula dan bahkan mungkin turun ke lembah nista.

Aahhh… ingin rasanya sekali lagi aku menegaskan pada diri sendiri bahwa setiap ujian, siapapun penyelenggaranya dan dimanapun ia diadakan adalah sebuah peluang, adalah kesempatan, adalah kasih sayang.

Menyebut istilah kasih sayang ingatanku seakan terseret kembali ke masa lalu, ke masa kecilku. Sejak kecil, ketika aku masih merasakan kehangatan kasih sayang dalam dekapan keluarga yang membesarkanku; berbagai ungkapan dorongan semangat, ajaran untuk belajar pada alam, berguru pada kehidupan, begitu sering aku dengar dari lisan Abahku. Beliau adalah seorang edukator. Beliau selalu bermurah hati untuk menularkan berbagai ilmunya kepada siapapun yang meminta.

“Cung,… yang namanya kita hidup ini kan juga penuh dengan ujian dan cobaan. Namun bukankah Tuhan justru suka memberikan berbagai ujian kepada para hamba yang dicintai-Nya! Tentu. Karena hakekat ujian itu adalah peluang baginya untuk melakukan percepatan dalam meraih tempat yang tinggi di sisi-Nya. Maka bersabar dan berjuanglah!” pesan Abah kepada kami yang kala itu hendak merantau menuntut ilmu.

*** ***
Ujian musim panas Universitas al-Azhar Kairo sudah dimulai sejak pertengahan Mei yang lalu. Pada awal-awal persiapan menjelang ujian aku pun merasakan berat dan beban. Materi yang cukup banyak dengan persiapan yang tak seberapa. Ahh…rasanya sudah capek duluan sebelum ujian benar-benar digelar. Namun satu yang tak pernah aku lupakan, selama masih ada waktu, selama itu pula aku masih bisa berusaha dan berjuang. Ujian bagi sebagian orang bisa jadi adalah jeruji yang begitu memenjara dan mengekang. Namun bagiku aku mencoba menerimanya lain. “Namanya juga sekolah, masak tak mau melewati fase demi fase ujian!”. Dan dari sebuah awal keterpaksaan dan tuntutan itulah akhirnya aku bisa menerimanya lega. Karena mau tidak mau harus menjalaninya; “kenapa harus dengan begitu tegang dan ngoyo? Kenapa tidak aku hadapi saja dengan enjoy dan rileks? Toh segala pekerjaan maupun tugas jika dinikmati kan bisa menjadi ringan. Walaupun hal itu bukan bermaksud meremehkan lho…!”.

“wah,…lagi musim ujian tapi masih sempat juga ya kamu nulis. Kok aku lihat blog-mu update terus!?” tanya seorang teman kepadaku.

“iya nih. Ya habisnya gimana lagi. Aku memang lebih suka memilih menulis untuk menumpahkan segala rasa yang sedang menghampiri di saat-saat tertentu. Ketimbang suntuk belajar lalu tidak melakukan apa-apa, aku lebih memilih menulis!” jawabku sok arif.

Musim ujian oh musim ujian! Selain menjadi rahmat dan karunia ia juga menjadi musim semi ide bagiku. Suatu ketika aku pernah menulis di buku catatan harian-ku;

“kali ini ujian sudah dekat. Nampaknya aku berniat pamit sementara pada kata-kata. Ke depan waktuku akan habis tersita untuk ujian, hingga tak ada lagi waktu untuk mengumpulkan kata-kata. Menyemainya indah seperti hari-hariku yang dipenuhi cinta. Maka bersabarlah wahai kata. Selanjutnya aku akan membiarkanmu bebas berceceran dalam alam penantian. Hingga pada saatnya nanti, aku akan kembali memungutmu sebagai mutiara rasa yang akan aku rangkaikan mesra penuh kelembutan. Sebagai cindera mata bagi siapapun yang membacamu”.(02-12-05)

Dan ternyata aku tak bisa! Musim ujian justru menjadi musim semi yang mengaktifkan berbagai sel maupun syaraf tubuh lengkap dengan fungsinya. Bahkan kelima indra pun secara alami mempunyai peran dinamis dalam menangkap setiap fenomena yang ada. Maka yang terjadi adalah; bahwa setiap gerakku adalah ide, setiap penglihatanku adalah pembacaan yang mendalam, dan setiap kejadian adalah data. Ya. Karena masih ujian, dan aku tidak punya cukup waktu untuk segera menuliskan, maka yang aku lakukan adalah hanya mengumpulkan data-data. Menuliskan setiap ide yang muncul dalam berbagai lembaran kertas berceceran. Lalu baru mencoba menyusun dan merapikannya di saat ada sedikit waktu senggang sembari istirahat merenggangkan syaraf-syaraf otak yang kaku.

Rasa syukurku pada Sang Pemilik malam. Yang menyediakan Bintang dan Rembulan sebagai ayat-ayat langit untuk obyek pembacaan dan bahan renungan. Dan Sang Pengatur siang yang menjadikan matahari sebagai sumber kekuatan. Segala apa yang dicipta-Nya adalah ayat. Yang dibaliknya selalu ada hikmah. Maka kini aku mencoba sedikit meminta hikmah-Nya di balik penciptaanku. Untuk dapat melihat sisi terang hikmah-hikmah dari setiap benda lain di sekelilingku. Untuk dapat memaknainya tepat sesuai kodrat penciptaannya.

Potret dunia ide yang ada memenuhi alam. Ingin rasanya suatu saat nanti aku bisa melukiskan setiap pesan alam yang beraneka ragam. Untuk dapat dicamkan seluruh penduduk bumi bahwa ia ada untuk dibaca dan dijaga. Walaupun takdir telah menggariskan fana, namun sekali lagi masih tersisa waktu untuk menebus lalai dan menghapus dosa.

Dengan semangat. Betul. Dengan semangat usaha dan do’a yang berdetak kencang dalam nadi pengharapan. Bahwa suatu saat nanti akan ada sebuah ‘pembukaan’. Pembukaan terhadap satir-satir misteri Tuhan yang ia titipkan pada alam dan kehidupan. Setiap ujian adalah peluang? Setiap coba’an adalah kasih sayang? Setiap gerak langkah adalah ide? Dan setiap ayat bumi maupun langit adalah data?

Maha suci Allah Sang Sutradara kehidupan. Hanya di tangan-Nya-lah ujian akan diselenggarakan. Dan hanya di mahkamah-Nya-lah hasilnya akan dibagikan. Lulus, atau Gagal? Dan Maha Besar Allah yang menjadikan setiap ciptaan sebagai bahan pembelajaran. Lalu dari-Nya-lah manusia mengais setiap ide. Maka tak salah jika ada yang berkata; “kita harus menerima bahwa detak kreatifitas dalam diri kita adalah detak kreatifitas Tuhan”. Dan juga; “potensi kreatif dalam diri manusia itulah citra Tuhan”.

Untuk saat ini aku hanya ingin mengumpukan semangat. Karena dengan semangat manusia bisa bertahan hidup. Dan dengan semangat pula setiap ujian akan terlampaui. “kreatifitas, potensi, maupun ide adalah anugrah Tuhan kepada kita. Maka menggunakan kreatifitas, mengembangkan potensi dan menghasilkan ide adalah balasan kita atas anugrah-Nya”. Semoga!.

M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, 10 Juni ’07, 14.30

Baca Selanjutnya...!...

"Perjalanan Kita"

Thursday, June 14, 2007


Beberapa waktu yang lalu aku pernah janji padamu, untuk mengajakmu bertamasya, jalan-jalan bersama menikmati keindahan alam raya. Maaf kalo ungkapanku ini terkesan ngaco' dan mengada-ada! Mungkin itu adalah atas pengaruh suasana hatiku yang memang selalu memimpikan sebuah pertemuan. Bahwa kita akan segera berjumpa, lalu jalan bersama, mengembara menikmati indahnya penjelajahan dalam sebuah kebersamaan.

Keinginan tertinggiku saat ini adalah bertemu denganmu. Rasanya aku ingin pulang. Karena saat ini, aku sedang dirundung bimbang, ada apa denganmu?? Diselimuti kabut kecemasan aku ingin menanyakan seputar gerangan. Alam maya yang selama ini mempertemukan kita, membukakan jalan bagi kita untuk saling bersuara dan beraksara, belum bisa sepenuhnya dapat dipercaya, tidak selamanya menghadirkan kebenaran, bahkan selaksa kejujuran .

Ahh....kenapa pula lagi-lagi aku hanya memikirkan seonggok angan?. Yang kesemuanya itu hanya akan berlabuh pada pengharapan, kosong, bukan kepastiaan.
Tapi entah kenapa, berulang kali hatiku memaksa pikiranku untuk tetap berkeinginan mengajakmu jalan-jalan. Yah, walau entah kemana arah tujuan??. hati ini rasanya benar-benar rindu memimpikan sebuah pertemuan.

Ohya...aku punya usulan; walau memang tak mungkin rasanya, jika hatiku menginginkan sebuah keutuhan kebersamaan, antara kau dan aku, jiwa dan raga, maka,...ehmm...gimana ya....?
Sebelumnya aku minta maaf jikalau ungkapanku beberapa waktu yang lalu sempat membuatmu bingung dan bertanya-tanya. Maka saat ini aku akan menjawabnya! Sekali lagi Maaf, andai wujud surprise yang aku janjikan hanya berbentuk sebuah tulisan. Tidak lebih dari itu. Mengajakmu jalan-jalan bukan berarti sebuah pertemuan, bukan berarti jiwa dan ragamu sekaligus yang aku maksudkan.

Maka perkenankanlah saat ini aku bawa jiwamu sejenak, aku ajak alam imajinasimu bertamasya mengunjungi beberapa tempat istimewa, menguak misteri ilahi, untuk lebih banyak lagi kita akui bahwa cinta adalah karunia, kasih sayang adalah lambang perdamaian, dan kebersamaan adalah kebahagiaan.
♦♦♦ ♦♦♦

"saat ini aku harap kamu bersiap-siap, karena sebentar lagi aku akan segera menjemputmu. Maaf kalo nanti tidak ada mobil mewah yang akan membawamu, karena aku tidak punya yang seperti itu. Yang ada hanya kuda putih berlabel 'ketulusan & keikhlasan'. Nanti kamu tunggu saja di halaman rumahmu, aku akan datang menungganginya untuk menjemputmu, lalu kita pergi bersama. Kita berdua akan naik dipunggung kuda itu. Kamu tidak perlu khawatir kuda putih kita akan merasa keberatan dan kecapekan membawa kita jalan-jalan. Karena tadi waktu di kandang aku telah memberinya makan rumput 'pengertian & kesabaran'.

Pertama kali kita akan berjalan menelusuri sepanjang jalan kenangan, yang telah begitu banyak menorehkan jejaknya dalam benak kita. Dari sini kita bisa saling bernostalgia , mengingat kembali masa-masa dimana dulu kita pernah bersama, jiwa dan raga kita, aku masih bisa secara langsung memandangimu, beguti pula kamu. Tapi itu justru tidak mampu mengaitkan hati, mempertalikan sebuah ikatan. Mulut tak kunjung berani mengungkapkan isi hati, yang ada justru cinta menarik jarak antara kita, menjadi dinding penyekat bagi dua hati yang semestinya bisa saling memberi dan mengasihi.

Di sudut depan kita nampak sebuah bangunan hijau yang rasanya tak asing lagi di mata kita, itu adalah masjid. Lalu di sampingnya, terlihat dari bebalik kaca, dan kornea pun mengarahkan tujuannya pada bangun bidang tingkat dua. Itu adalah gedung TPA yang mana dulu kita pernah sama-sama mengejawantahkan sedikit ilmu kita di sana. Tiba-tiba suara lirih dari dalam gedung itu menghampiri telinga;"hei,...apakah kalian masih ingat padaku, bukankah kalian dulu pernah mengajar ditempatku??". "iya, aku ingat!" jawabku tegas. Tapi tak lama kemudian angin juga menyampaikan suara hati lingkungan, "tapi kami minta maaf jikalau telah menghidupkan ingatan kalian lagi, aku tidak bermaksud memprofokasi atau mengungkit-ungkit masa lalu kalian, kami Cuma sayang sama kalian, karena kalian dulu telah perpartisipasi menghiasi alam kami dengan lantunan-lantunan suci kalam ilahi"...

Tidak jauh dari tempat yang baru saja kita lalui, telah tampak di depan sebuah bangunan yang tak begitu megah namun cukup berwibawa. Ia membawa kita pada sebuah kenangan perjuangan dan pembelajaran, dimana kita sama-sama dididik dan dibina untuk menjadi manusia yang benar-benar berjiwa manusia. Manusia yang benar-benar manusiawi dan mengetahui sifat-sifat kemanusiaan yang sesungguhnya.

Dahulu, entah sengaja atau tidak sengaja, ternyata kita sering jadi rekan kerja. Susah dan senang pernah kita jalani bersama dalam rangka menjalankan tugas sebagai panitia. Mungkin salah satu keistimewaan tersendiri bagiku ketika mempunyai partner kerja sesosok figur sepertimu. Tapi disela-sela kekagumanku padamu, justru yang nampak padamu mungkin kegalakanku, egoismeku, dan kekeraskepalaanku, yang kesemuanya itu tak jarang membuatmu anyel, mangkel plus dongkol, sekaligus membuat wajahmu cemberut setiap kali pulang dari meeting.

Aahh...rasanya masa-masa itu memang penuh warna dan pesona. Bukan Cuma aku dan kamu, namun kita semua komunitas Glafeesa turut memberikan aroma dan nuansa tersendiri di jagad asrama dan almamater tercinta. Mulut ini rasanya tak mau berhenti dari senyum simpul dan tawa tatkala mengingat masa-masa indah dan penuh canda selama di asrama. Tapi, mata ini pula terkadang tak terasa turut mengungkapkan rasa, tetesan air mata tiba-tiba membasahi muka mengingat setiap butir perjuangan dalam kebersamaan yang terus terbina antara kita. Sungguh syahdu suasana yang tercipta, kekompakan tuntaskan perpecahan, kesepakatan pelihara kesepahaman.

Untuk saat ini, sudah cukup rasanya aku menengok ke belakang, walaupun itu semua adalah sepihak rasa, maka hatimu aku tidak tahu, dan hanya kamu yang tahu. Maka di lain waktu aku harap kamu juga mau meninggalkan catatan kecilmu sebagai hadiah yang berarti besar bagiku, semoga kamu tidak keberatan. Karena saat membawamu dalam perjalanan ini, sungguh aku tak ada hak mewakili jiwamu dengan rasaku. Jiwamu adalah hakmu, maka aku hanya bisa mewakilimu lewat beberapa ungkapan yang memang sudah pernah aku dengarkan, selain itu tidak.

Baiklah! Kali ini, menuju obyek selanjutnya, langsung aku pacu kudaku lebih kencang, karena perjalanan masih panjang. Tolong pegangan yang lebih erat, sebab kalo tidak aku takut kamu akan jatuh terpelanting. Untuk sementara waktu, biarlah setiap jalan yang telah kita lewati tadi menyimpan setiap kesan dan kanangannya masing-masing, siapa tahu di lain waktu kita bisa kembali melewati dan menghampiri, sekaligus membuka-buka catatan lamanya, tentang aku, kamu dan kita.
♦♦♦ ♦♦♦

Agaknya senja hampir tenggelam digantikan malam. Sebentar lagi kita akan menaiki bukit bintang. Bukit dimana banyak orang biasa mencurahkan pengharapan, curhat kepada alam dan juga Pencipta bintang itu sendiri. Di bukit ini, sejenak kita akan istirahat melepas lelah. Sambil menikmati udara segar yang berhembus sepoi-sepoi basah, kita segarkan sel dan syaraf tubuh yang agak kacau digoncang loncatan demi loncatan kuda. Seraya turun dari punggung kuda, sambil mengendorkan otot-otot dengan menggerak-gerakkan tangan, kaki dan kepala, kita berjalan menepi melihat pemandangan lembah.

Waah...bukit ini sungguh indah! Formasi barisan gugusan bintang yang bersinar terang, remang, bahkan ada yang hanya berkedip-kedip pelit seakan malu menunjukkan wujud aslinya, spontan mampu menghipnotis setiap mata yang melihatnya, tak terkecuali kita. Bintang-bintang itu, rasanya hampir serupa dengan kunang-kunang yang sedang hinggap di dedaunan malam. Pemandangan dari bukit sungguh menakjubkan. Apalagi setelah lampu-lampu pedesaan dinyalakan, tampak terlihat ia berpadu mesra dengan bintang-bintang. Saling melengkapi, warna-warninya tampak bervariasi, lebih hidup, semakin takjub.

"Mari kita mencari tempat duduk, walau tak ada kursi yang melengkapi, cukuplah kita bisa duduk berdampingan beralaskan rumput yang tebal menutupi permukaan tanah". Sambil menikmati pemandangan bukit dan sesekali saling melirik, kita sama-sama menyiapkan kata untuk mewakili rasa mengungkapkan apa saja yang ada di dalam dada, tentang hati, cinta, bahkan keindahan alam sekitar kita. Tempat ini memang sudah biasa menjadi saksi terkuaknya misteri hati, bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di bukit ini.


Tak beda jauh dengan kebanyakan mereka yang pernah singgah di tempat ini, kita pun nampaknya akan membeberkan fakta dan saling bersuara. Bahwa kita, adalah dua insan yang memang berbeda, namun banyak sama. Perasaan rindu adalah wujud sayang, aku merindumu, kamu merinduku. Takut akan kehilangan juga bentuk lain dari kasih, dan kita sama-sama tidak mau itu. Hatiku mengatakan aku mencintaimu, dan kau berucap mesra kata yang sama. Berarti kita sama dalam cinta.


Di bukit ini, kita telah menyatakan cinta, kecintaan kita terhadap alam, kecintaan akan keindahan, cintamu cintaku telah bertemu, namun cinta kita adalah cinta awam. Karena pancarannya justru mampu menjerumuskan, walau secercah cahaya pencerahan masih ada, namun kita harus tetap waspada. Maka aku setuju denganmu; bahwa dalam kita saling mencinta memang harus seadanya saja, tidak boleh terlalu, bahkan sangat. Karena itu berbahaya, bisa berujung pada kebencian dan permusuhan.

Setelah kita sama-sama terbuka, dari hati ke hati, ungkapan yang terbungkus kejujuran tadi akan kita bawa sebagai bekal perjalanan selanjutnya. "kelihatannya saat ini cuaca tidak mengijinkan kita untuk langsung turun bukit. Kita cari saja penginapan di sekitar sini. Atau jika kau tak keberatan, malam ini aku ingin tidur di sini saja, tertelentang sambil menatap bintang yang bertebaran di langit luas, bebas di alam tak terbatas". Dan aku belum tahu jawabanmu, karena kamu masih terdiam, hanyut dalam simphoni alam yang mendendangkan harmoni keindahan malam bersama bintang dan kunang-kunang.
♦♦♦ ♦♦♦

Tak terasa pagi telah menjelang. Kokokan jago pun menggaung bersahutan. "hei,...bangun sayang! Sang surya telah kembali menampakkan semburat sinarnya yang benderang. Perjalanan kita masih panjang, ayo segera kita lanjutkan!". Peta perjalanan kita selanjutnya mengarah pada lembah 'kesejiwaan & kesepahaman'. "syukurlah...! ternyata kuda kita masih setia menemani kita. Memang, kesabaran dan pengertian yang ia bawa ikut serta sangat bermanfaat untuk melewati setiap halang rintang yang terjal dan curam sepanjang perjalanan". Kali ini kita tidak perlu tergesa-gesa. Kerena untuk dapat sampai kesana tentu kita akan menjumpai lebih banyak lagi gangguan dan godaan. Semoga kita mampu melewatinya dengan selamat.

Dengan langkah perlahan, kita akan mulai turun ke lembah menaiki kuda putih berjubah bismillah. Dengan penuh pasrah kita berserah untuk dapat sampai ke bawah. Pelan...pelan namun pasti dan hati-hati, sedikit lagi kita akan sampai di lembah. Ooh...dari bebalik batu besar itu nampaknya ada sebuah gubuk bambu beratapkan anyaman daun ilalang. Bolehlah nanti kita numpang singgah sebentar di sana. Bagaimana dinda?? Apakah dikau masih sanggup melanjutkan perjalanan? Hemm...kamu sudah terlihat capai. Mungkin itu yang memaksa mulutmu untuk tetap bungkam. Tapi, pancaran matamu itu, di situ aku masih bisa melihat selaksa semangat yang membuncah. Istirahatlah sejenak kekasihku,...untuk bekal melanjutkan perjalanan nanti, supaya badan kembali segar, mata menjadi bersinar, dan hati mulai menata diri.

Istirahat sejenak aku rasa sudah cukup memulihkan tenaga, kita akan segera melanjutkan perjalanan. Di depan kita, dari kejauhan remang-remang mata mulai melihat sebuah gerbang. Saat ini nampaknya kabut dari bukit sedang turun menyapa lembah, masih agak gelap memang, tapi sedikit demi sedikit cahaya surya telah menerang. Sebentar lagi kita akan memasuki sebuah desa. Setelah berada dekat dengan gerbang, ternyata ia adalah pintu kesejiwaan. Maka di desa ini nanti, kita akan mencoba memelihara cinta yang kita bawa, mencoba menyatukan dua rasa dari hati yang berbeda. Desa ini nampaknya sedang bersuka ria, tampak dari wajahnya yang hijau ceria dengan dedauan dan tumbuhan yang menyejukkan. Semoga hati kita bisa terbawa oleh kesejukan alam, menjadi teduh dan rindang. Tentram tinggalkan segala kebimbangan, keresahan, dan keputusasaan.

Melawati perjalanan tadi adalah bukan hal yang mudah. Di sana tentu banyak sekali aral godaan dan gangguan, namun atas kekokohan hati dan semangat yang tinggi berbekal ketabahan dan kesabaran, kita pun kini telah mulai menginjakkan kaki di pintu gerbang desa ini. Ini adalah permulaan dari usaha penyepahaman.

Dua jiwa, dua raga, dengan sifat dan karakter masing-masing yang berbeda kini mencoba untuk bersama menata cita dalam cinta. Langkah menuju kesepahaman dan kesejiwaan memang tak gampang. Prosesnya juga panjang. maka untuk memasukinya harus berbekal sebuah pengertian yang direndam dalam air kasih sayang, lalu direbus dalam tungku kepercayaan. Beberapa saat proses pematangan dinantikan dengan penuh kepasrahan, harapkan hasil sebuah kesatuan, perpaduan harmonis antara dua jiwa, dua cita, dan dua cinta, menjadi sejiwa, secita, dan secinta.

Tiada yang seindah sebuah kasih fithrah. Antara dua insan yang saling menyayang, dengan adanya kesepahaman. Cinta adalah anugrah terindah dari Sang Maha Pemurah, ia adalah fitrah yang datangnya tiada pernah dikira dan disangka, ia akan tumbuh di hati siapa saja yang Ia kehendaki. Tanpa cinta dunia akan hampa, tanpanya perdamaian akan segera padam. Yang ada hanya kebencian, hanya permusuhan.
♦♦♦ ♦♦♦

Setelah adanya kesejiwaan, pengertian, dan kesepahaman, tentu saja perjalanan kita selanjutnya akan lebih mudah dan indah. Memang, tiada kehidupan yang tanpa cobaan, tiada cinta yang penuh goda, dan tiada hati yang tak ternodai. Itu adalah sunnah Ilahi, dan manusia harus menjalani tanpa harus menghindari.

Perjalanan selanjutnya kita akan ke bengawan. Tidak jauh dari desa kita akan menjumpainya. Setiap kenangan, pelajaran, hingga cobaan, godaan, dan segala halang ringtang yang mewarnai sepanjang perjalanan. Cita, cinta dan kasih sayang yang telah kita ungkapkan, satukan, dan padukan dalam tungku kepercayaan akan kita bawa ke muara. Cepat-cepat kuda putih teman setia kita kita pacu melaju ke arah bengawan. Dengan segenap kemantapan dan kebesaran jiwa kita akan menuju muara.

Sesampai di sana, Segala apa yang telah kita bawa dan dapatkan dari setiap tempat yang kita kunjungi tadi kita bungkus dalam peti pengharapan, kemudian kita titipkan dalam aliran sungai keridhoan. Ia adalah tempat dimana kita bisa mengembalikan semua urusan dalam rangka kepasrahan. Setelah kita berjuang dan berusaha, yang dapat kita lakukan selanjutnya hanya berdo'a. Kita kembalikan segala urusan kepada-Nya. Karena semua yang datang dari-Nya, maka ia akan kembali kepada-Nya. Begitu juga cinta dan manusia. Semua datang dan diadakan oleh-Nya, dan pada gilirannya Ia akan kembali mengambilnya. Semua yang ada di dunia hanyalah amanat, yang di hari kelak nanti akan dimintakan pertanggungjawabannya. Sumua sudah diatur oleh-Nya, Sang Pencipta. Jika takdir telah digariskannya, maka kita tetap akan menerimanya. Itulah qadha'Nya. Jika kita ikhlas dan ridha, Ia akan mengganjarnya dan jika tidak maka sebaliknya.☺

M. Luthfi al-Anshori,17 april 'o6_07.40 WK

Baca Selanjutnya...!...

Tangis Sunyi Di Hari Kelahiran Nabi

Friday, June 08, 2007


Selama satu bulan kemarin kami terhitung sering diundang orang-orang pribumi Mesir untuk mengisi halaqah-halaqah Maulid Nabi. Ya. Minimal satu minggu sekali selama bulan Rabi’ul Awal kami selalu datang ke sebuah rumah di kawasan Muqattam untuk melantunkan puji-pujian atas Nabi diiringi tabuhan alat musik Rebbana. Tepatnya kami tergabung dalam sebuah Group Hadrah “an-Nahdlah”, salah satu asuhan Lembaga Seni dan Budaya Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir.

Pada bulan-bulan tertentu, suasana Kota Seribu Menara seringkali dihiasi warna-warni tenda dengan dekorasi kain khas bernama “saradiq”(1) yang dipasang mengeliling di beberapa tokonya. Selain bulan Ramadhan, pemandangan semacam itu juga terlihat pada bulan Rabi’ul Awal. Bagi kebanyakan mahasiswa baru, suasana seperti itu terkadang menjadi sebuah keunikan tersendiri yang tak jarang menghadirkan semburat citra kekayaan budaya “Negeri Tua”.

(“eh, emang ada apaan sih, kok di setiap sudut kota pasti toko-tokonya memasang kain-kain seperti itu?”. “emang sedang ada munasabah apa nih, kok kayae ada hari istimewaaa… gitu!?. Hingga masyarakat Mesir menyambutnya dengan gegap gempita seperti ini?”).
Dan pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang spontan muncul dari benakku juga mungkin benak para mahasiswa Indonesia lainnya tatkala melihat fenomena yang sedang hangat di kalangan masyarakat Mesir.

(“Hemm…gimana ya jika seandainya ketika pulang nanti kita membawa kain-kain “saradiq” khas Mesir itu?. Lalu kita gunakan dalam acara-acara ritual kemasyarakatan ataupun keagamaan di daerah kelahiran kita. Kayae menarik tuh!??”).
Ungkapan semacam itu pun sesekali muncul dari kawan-kawan yang respect terhadap nilai seni dan budaya. Bahkan mungkin mereka juga kepikiran untuk mengasimilasikan budaya Mesir dengan budaya Indonesia dalam bidang tertentu. Dan begitulah celoteh anak bangsa yang sedang mencoba menempa diri di negeri Musa.

Bulan ini adalah bulan Maulud . Bulan dimana seorang manusia mulia dilahirkan di muka bumi sebagai pamungkas para Nabi. Manusia yang tidak serupa dengan manusia lainnya. Karena diutusnya ia adalah sebagai rahmat bagi alam semesta. Maka tak ayal jika para manusia menyambut gembira hari kelahirannya. Namun tak jarang pula yang membenci bahkan mengutuknya. Dan hingga kini, di zaman yang sudah serba canggih ini, kedua golongan itupun masih tetap ada. Entah apa maksud dari keberpasangan yang selalu ada mewarnai dunia? Apakah memang untuk sebuah keseimbangan. Tapi bukankah kosmos akan lebih seimbang justru ketika dunia hanya dipenuhi cinta dan kasih sayang? Atau apakah yang dimaksud keseimbangan adalah dalam dimensi alam ketiga, Akherat!? Sebab kalo seluruh manusia baik, maka siapa yang akan mengisi neraka!? Aahhh…Ngaco’!

Dalam kenyataannya, hingga zaman edan seperti ini masih banyak pula orang-orang yang peduli dengan Nabi. Hari kelahiran Nabi. Bahkan perayaan ulang tahunnya digelar dimana-mana. Mulai penjuru Nusantara hingga tanah kekuasaan Kleopatra. Dan tak sedikit pula yang karena saking cinta dan tergila-gilanya pada sosok Nabi, orang-orang memekikkan selamat dengan suara lantang: “Happy Birthday to You, Our Beloved Prophet!!”.

Di sisi lain, ketika kita mencoba untuk sedikit membalikkan muka, di sana masih akan banyak kita temukan mahluk-mahluk pembenci Nabi. Tak berkesempatan menghujatnya secara langsung karena sosoknya telah mati, pusaka warisannya pun ia lecehkan seenak perutnya. Layaknya seorang pinter yang keblinger, ia gunakan segala cara untuk merendahkan dua pusaka penting warisannya; al-Qur’an dan as-Sunnah.

Begitulah wajah dunia saat ini. Diantara keberpasangannya, ada yang berimbas pada kebaikan. Namun di bagian lain juga banyak yang menjadikan kesimpangsiuran, bahkan kegaduhan alam. Tapi entah, bukankah aku masih beriman!?. Sehingga apa yang mungkin aku duga salah, bisa jadi justru benar. Dan apa yang aku sangka buruk, justru dicipta baik secara substansi-hakekatnya. Iya. Tuhan lebih mengetahui apa yang tidak aku ketahui.
◊◊◊ ◊◊◊

Perayaan Maulid Nabi diadakan dimana-mana. Saat ini, mungkin aku sudah tak bisa lagi menikmati kemeriahan acara itu sebagaimana aku merasakannya dulu. Di sebuah dusun tanah kelahiranku. Yang mana setiap desa berlomba-lomba menyelenggarakan perayaan besar semeriah-meriahnya. Mulai dari mendatangkan Qari’ terkenal, Da’i kondang, maupun Group-group Rebbana favorit sebagai pelengkap acara. Arkhhh…suara-suara merdu para Vocalis itu, kembali terniang di telingaku. Lalu pemandangan rebutan makanan, tak ketinggalan menghiasi setiap penghujung pengajian.

Aku sekarang adalah “sabilillah”. Atau kalo belum pantas ya,...pengelana biasa!. Aku hidup di tengah hamparan gurun yang sesekali memaksaku mengusap keringat akibat kepanasan. Namun pada waktu tertentu, aku juga dihadapkan dingin yang membekukan sendi-sendi. Dan bahkan aku hanya bisa menikmati keteduhan musim semi yang hanya sekejap saja, sebelum akhirnya musim panas kembali menggilasnya.

Kini, bukan suara merdu mereka lagi yang aku dengar dalam perayaan itu. Namun justru suara pas-pasanku sendiri yang terpaksa aku nikmati dalam alunan syair sholawat atas Nabi. Setidaknya ada suara merdu dari teman se-tim-ku yang memberikan keselarasan nada dalam iringan Rebbana. Mubarak, namanya. Entah orang-orang Mesir itu suka mendengarkan suaraku atau tidak. Yang jelas saat ini mereka sering mengundang kami. Laksana sebuah Group Band terkenal, kami juga melaksanakan “Road-Show” keliling Kairo. memang bukan dari panggung ke panggung atau stadion ke stadion. Namun dari rumah ke rumah dan dari masjid satu, ke masjid yang lain. Dari satu palungguhan ke palungguhan selanjutnya.

Suguhan musik Hard-Rock (bahasa keren dari “Hadrah”) yang kami bawakan nampaknya cukup memberikan daya tarik tersendiri bagi mereka. Hingga di penghujung bulan Rabi’ul Awal pun tawaran untuk mengisi halaqah-halaqah Maulid Nabi masih terus mengalir kepada kami. Menurut analisa singkatku, dahulu orang-orang itu tau keberadaan kami dari mulut ke telinga. Lalu melalui mata kepala mereka menyaksikan kami secara live. Dan pancaran aura yang kami tawarkan seadanya cukup menarik hati mereka.

Kasak-kusuk ujian musim panas sudah gencar dibicarakan kawan-kawan mahasiswa di berbagai kesempatan. “UHF… sudah ah, capek. Kita istirahat saja sekarang. Kita harus segera konsen ke pelajaran. Ujian sudah dekat. Jika kita turuti terus permintaan mereka, kita sendiri yang kacau!”. Ungkapan itulah yang muncul mengiring kepuasan sekaligus keletihan kami ketika untuk terakhir kalinya kami menutup “Road-Show” Maulid Nabi tahun ini di sebuah rumah di kawasan Madinah Mohandisin.

“Usbu’ al-Qâdim Nad’ûkum fî baiti!”(2) salah seorang hadirin malam itu menawarkan kami untuk datang ke kediamannya minggu depan.

“Eemm…Ma’leys yâ Ustadzna, el-imtihân hayegi ba’da Syuwayya. Wehna ‘ayiz tarkîz lil mudzâkarah, ‘asyan ed-durûs kitir fashl dhi!”(3) dengan sedikit basa-basi namun tegas kami terpaksa menolak undangan itu.

“Ohh…mafisy musykilah. Insya Allah tugeebu da’wâya ba’dal imtihân, Mesyi!?”(4) balasnya cukup pengertian.

“Khâdhir ya Syeikh. Ba’dal imtihan ehna musta’iddin kulle youm bi’idznillâh! ”(5). Dan usailah tawar-menawar itu dengan saling memahami antara kami dan mereka.
◊◊◊ ◊◊◊

Malam ini udara Kairo masih cukup dingin. Diiringi tiupan angin kencang yang sesekali menggedor-gedor jendela tua kamarku, kami, aku dan teman-teman sekontrakanku, saling bertukar cerita sesuai pengalaman masing-masing. Sebenarnya tubuhku sudah sangat capek dan mataku terasa berat untuk tetap mempertahankannya terjaga. Namun topik pembicaraan itulah yang membuatku bisa bertahan dan ikut nimbrung berbagi cerita tentang cinta.

Pada awalnya kami membincang seputar cinta dan asmara. Kebetulan beberapa teman yang ada kala itu sedang menjalani proses Long Distance Relationship (LDR). “Ahh…kaya’ apa aja ya istilahnya, LDR, hehe..!?” celotehku dalam hati. Tak terasa pembicaraan yang cukup hangat itu menjurus ke pembahasan kelebihan dan kekurangan LDR itu sendiri dilihat dari berbagai perspektifnya. Ya, walaupun banyak juga orang yang menyatakan bahwa LDR tidak ada baik dan untungnya sama sekali, namun bagi orang-orang yang sedang menjalaninya persoalan akan menjadi beda. Entah itu yang berkata bahwa dengan LDR akan lebih terjaga dari fitnah, hingga pada pernyataan nakal; LDR lebih ngirit biaya.

Begitulah manusia. Kenyataannya, secara fitrah kita masih banyak mengedepankan subyektifitas ketimbang obyektifitas. Wah, pokoknya banyaklah argumen-argumen yang muncul baik dari pihak pro LDR maupun yang kontra. Dan kesemuanya memang lebih banyak mengungkap pengalaman individu masing-masing.

Bermula dari pembicaraan cinta, secara mengalir topik malam itu bergulir menuju curhat dan pembahasan ahlak. Tak tau entah bertolak dari mana dan apa, tiba-tiba seorang teman bercerita tentang asal-usul sejarah keberangkatannya ke Mesir. Usut punya usut, ternyata unsur pendorong keberangkatannya ke negeri Fir’aun ini adalah hanya sebagai alternatif terakhir, ketimbang ia tidak kuliah sama sekali.

(“ya sudahlah nak, sebenere Abah masih tetap khawatir jika kamu kuliah di Mesir. Tapi daripada kamu tidak sekolah sama sekali, mending kamu tetep berangkat ke Mesir saja tak jadi apalah!”). Begitulah ungkapan Abah si Slamet ketika akhirnya beliau menyetujui keinginannya untuk kuliah ke Mesir.

“Memang kenapa kok Abahmu sampe’ bicara seperti itu, Met?” penjelasan Slamet di atas tiba-tiba menuntunku untuk menelisik lebih jauh lagi.

“Ya karena beliau sudah tau, walau entah dari mana, bahwa iklim perkuliahan di Mesir sudah tidak kondusif. Dan hal itu diperparah lagi dengan dekadensi moral serta ahlak para mahasiswanya, khususnya mahasiswa Indonesia sendiri, mungkin!” Slamet mencoba berargumen setengah yakin setengah tidak.

“Ooo…jadi begitu tho!” jawabku heran setengah mengiyakan pernyataan itu.

“Pada awalnya Abahku menghendaki agar aku bisa kuliah di Saudi, yang konon katanya relatif masih terkontrol dalam hal ‘ubudiyyah dan pergaulannya. Namun, kenyataan berkehendak lain. Kebijakan yang diambil pemerintah tentang proses pemberangkatan mahasiswa ke Mesir malah menjepitku pada satu pilihan. Yaitu aku harus ikut ujian seleksi. Akhirnya aku terdampar juga di Mesir!” tambah si Slamet dengan nada agak pasrah.

“Iya sih. Sebenere aku juga menyayangkan kondisi yang sudah seperti ini. Lingkungan dan gaya pergaulan yang sudah semakin semrawut. Tapi ya gimana lagi tho, wong ibaratnya kita ini sekarang kan sudah masuk ke wilayah “konflik”. Maka ya tergantung kitanya aja bagaimana pandai-pandai membawa diri. Toh penyesalan yang berlarut dalam kepasrahan terhadap lingkungan juga telah ditakdirkan tak akan menyelesaikan persoalan, kan!. Maka yang bisa kita lakukan adalah bagaimana menjadi seorang pembeda. Bergerak dan terus bergerak untuk meneguhkan diri!”. Rasanya capek juga berusaha berceloteh kesana kemari sok bijaksana, berharap dapat mengembalikan optimisme Slamet sekaligus diri sendiri.

“Trus sekarang gimana coba dengan pergaulan para mahasiswa kita yang sudah semakin membarat?. Terutama pacaran, TTM (Temen Tapi Mesra), nge-Date, liqa’ dan sebutan lainnya seakan telah mendarah daging dan menjadi biasa. Gagal ujian pun telah menjadi lumrah di kalangan Masisir.(6) Bahkan untuk berbicara jorokpun kita sudah semakin fashih, sefashif para da’i dalam menyampaikan ceramahnya!”.

“Ada semacam pembiasaan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa!” aku menyela alur pembicaraan Slamet.

“Ya. Jika mahasiswa al-Azhar saja seperti itu, lalu bagaimana dengan para mahasiswa di Indonesia ya? Mungkin ciuman bibir, bahkan petting mereka sering!. Nah tho, akupun ikut-ikutan fashih menggunakan istilah-istilah itu!??” Slamet semakin mendesakku dengan beberapa contoh fakta yang ia ungkapkan.

“Wah..wah..wah, kok ternyata analisamu sudah sejauh itu?. Kalo bagiku sendiri mungkin mahasiswa kita di sini masih “belom separah itu”. Ato sekalian untuk do’a aku memilih ungkapan “tidak separah itu” saja deh!. Paling kalo masalah disorientasi belajar itu betul. Atau…hemm…mungkin lebih tepatnya ya itu tadi, banyak mahasiswa kita yang justru menjadikan Mesir sebagai gelanggang pelarian, bukan sebagai kiblat ilmu pengetahuan yang ia akan bebas mengarungi samudranya sesuka hati dan sekuat daya IQ-nya. Lalu, hasilnya ya kaya gitu. Banyak dari mereka yang ketika sudah sampai di sini merasa kecewa dan akhirnya putus asa, putus cita-cita, bahkan hingga putus cinta. Hehehe!. Lalu gimana sikap kamu sekarang, Met??” tanyaku pada Slamet dengan harapan bisa mengetahui sedikit idealisme dan kepribadiannya.

“Ya begitulah. Aku memang mengakui aku apa adanya seperti ini. Dahulu, ketika Aku masih di rumah memang sudah rada-rada bejat. Entahlah. Nampaknya kondisi di tanah air memang sudah sangat terkontaminasi dengan arus globalisasi. Maka ketika aku berangkat ke Mesir, aku berharap sedikitnya aku akan bisa berubah!. Model pacaran remaja di Indonesia juga sudah semakin bebas. Tanpa adanya kepuasan fisik, pacaran seakan hambar. Maka jika kita kembali ke pembahasan awal kita tadi mengenai LDR, setidaknya aku akan lebih selamat dengan posisiku saat ini dari kemungkinan-kemungkinan lembah hitam itu. Titik. Capek deeghh!”.

Jarum jam di dinding sudah menunjuk angka satu. “Oughh…ternyata sudah larut malam, Met. Bukankah besok kita masih harus kuliah. Sudahlah. Nampaknya kita cukup capek membincang persoalan yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum ini. Lebih baik kita tidur saja!” pintaku pada Slamet menutup obrolan panjang kami.

Tak terasa secara perlahan beberapa teman yang ada di kamar saat itu terlihat mulai terlelap. Akupun sebenarnya sudah sangat ngantuk. Namun lagi-lagi percakapan tadi membuatku tak tega memejamkan mata. Dan pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan di dinding-dinding ingatan. Apakah benar generasi muda Indonesia sudah separah itu?. Prosentase yang sudah “tergelincir” lebih banyak dari yang masih “selamat”. Bahkan para duta bangsa, sudah seburuk itukah citra yang mereka torehkan. Hanya berkeliaran di negeri orang tanpa arah tujuan?? Lalu apa yang mau mereka bawa pulang untuk membangun negeri!?.

Ingatanku berkejaran menelusuri ruang demi ruang dimana aku sering menghadiri perayaan Maulid Nabi. Sebuah tempat dimana aku dan mereka mendendangkan syair puja-puji atas Nabi. Dan hampir tidak pernah ketinggalan para Syeikh yang sengaja diundang, pun melantunkan syair penghormatan kepada sang baginda: “Thala’al badru ‘alaina. Min tsaniyyatil wadâ’…”(7), dan juga membacakan sebuah Sabda: “innamâ bu’itstu li utammima makârimal ahlâk”(8), lalu ditutup dengan Firman Tuhan: “Laqad kâna lakum fî rasûlillahi uswatun hasanah”(9).

Bait demi bait syair itu menggema diiringi taluan Rebbana yang lalu disahut secara beriringan oleh para jamaah. Menggema dan menggelora. Mungkin hingga kini di desaku ritual semacam itu juga masih lestari pada setiap malam selasa dan jum’at. Iya. Malam Dziba’iyyah, yaitu malam pembacaan Sirah Nabawiyyah. Dan perayaan Maulid Nabi mungkin juga masih digelar dimana-mana, di setiap penjuru Nusantara, hingga di masjid Istiqlal Jakarta, Masjid kebanggaan Indonesia. Namun apa arti semua itu, jika penghayatan tak kunjung mendalam. Perayaan hanya sebatas simbol. Pengajian hanya menjadi trend orang perkotaan.

…“innamâ bu’itstu li utammima makârimal ahlâk”… dan bunyi sabda Nabi itu lebih menghujam tajam dalam lubuk keprihatinan. Keprihatinan terhadap keadaan generasi seperjuangan, terlebih tirani diri sendiri yang masih membelenggu erat di pintu hati. Apakah belum cukup Nabi menggunakan huruf “Qashr”(10) [innama] di awal sabdanya. Yang itu menandakan bahwa ia tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan ahlak!?. Lalu melihat fakta saat ini, apakah tujuan pengutusan itu sudah berhasil? Atau mungkin dengan jawaban yang cukup diplomatis, bahwa titah itu telah dilaksanakan Nabi dan pernah berhasil!?? Lalu sekarang kembali memudar lagi!. Ahh jangan. Kenapa fikiranku menjadi nakal. Yang jelas Nabi telah berhasil mematrikan pondasi awal itu di benak para Sahabat. Buktinya cahaya islam dan pencerahan alam dari kegelapan moral dan budi kala itu sudah sangat menyemburat. Bahkan percikan cahayanya hingga ke pelosok Konstantinopel, Andalusia, Syam, Maghrib dan lain sebagainya. Bahkan mungkin sampai ke Asia.

Huruf “Qashr” berfaidah “hasr”. Pembatasan, pengkhususan. Berarti Nabi Memang lebih konsentrasi ke perbaikan Moral, setelah meletakkan pondasi dasar keyakinan dan keimanan. Mungkin Sabda itu memang sungguh benar. Bahwa muara keberagamaan seseorang, dengan menjalankan syari’at dan ritual-ritual keagamaan dengan berbagai variannya adalah untuk menuju kelembutan hati dan kebaikan budi. Ohh…benarkan begitu!?.

Pertanyaan. Jawaban. Secara tiba-tiba mulai menduduki relung-relung hati. Semoga sang Nabi tidak sakit hati melihat wujud sebuah
generasi yang sudah termakan globalisasi. Adapun musibah yang terus membuat Pertiwi menangis, semoga itu juga bukan karena kebencian Nabi melihat kebejatan umatnya yang lebih suka menindas sesama, mengubur hati nurani, juga memakan bangkai saudara sendiri. Rintihan tangis para bayi yang masih suci, sujud panjang di sepertiga malam para Wali, juga munajat para binatang di setiap peraduan sunyi, semoga mampu membendung murka Ilahi. Walaupun negeri yang katanya “gemah ripah loh jinawe”(11) kini hanya menjadi isapan jari. Namun bukan berarti sejarah berhenti sampai di sini. Biarlah masa lalu dilindas waktu, namun perjuangan adalah abadi.

“Assalamu’alaik zainal anbiya’…
Assalamu’alaik ashfal ashfiya’…!”(12)

Dan hanya syair itulah yang masih tersisa di ujung bibir.
Yang mengalir mendampingi laju malam, menemani sepi, untuk kematian sementara dalam peristirahatan dunia. Jemariku melenusuri wajahku. Ada selaksa air mata yang membasahinya. Ohh..aku kembali mendapati tangis sunyi, yang kini ada mengiring hari kelahiran Nabi.[]

M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, Mei 2007.


Catatan:
(1)Saradiq : nama sebuah kain khusus yang biasa digunakan orang Mesir untuk membuat semacam tenda yang mengelilingi toko atau acara-acara khusus mereka.
(2)Artinya: “minggu depan aku undang kalian di rumahku”.
(3)Artinya: “Maaf Ustadz, ujian akan datang sebentar lagi, dan kami ingin konsentrasi belajar. Sebab pelajaran semester ini cukup banyak”.
(4)Artinya: “Ohh…tak apa-apa. Insya Allah nanti kalian penuhi undangan saya setelah imtihan. OK!?”.
(5)Artinya: “Siap Pak, insya Allah setelah ujian usai nanti kita siap setiap saat”.
(6)Sebutan akrab untuk “Mahasiswa Indonesia Mesir”.
(7)Artinya: “Sang purnama telah muncul menyinari kita. Dari tempat pelepasannya”. sebuah Qasidah terkenal yang dinyanyikan kaum Anshor menyambut hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah.
(8)Artinya: “tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan ahlak”. [al-Hadits].
(9)Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rassulullah itu suri tauladan yang baik bagimu…”. [QS. Al-Ahzab: 21].
(10)Dalam disiplin ilmu Nahwu “Harf Qashr” berfungsi untuk menunjukkan ungkapan “pembatasan atau pengecualian”, (li ifâdati al-hashr).
(11)Artinya :”Rakyat makmur tanah subur...”. Ungkapan ini sesungguhnya digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menerjemahkan ungkapan dalam al-Qur’an:..”Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”...
(12)Salah satu syair pujian atas nabi yang berarti: “semoga keselamatan tetap ada padamu wahai Nabi yang paling rupawan ■ semoga keselamatan tetap ada padamu wahai yang paling suci dari orang-orang suci…”

Baca Selanjutnya...!...

Sesuatu Bernama "Perhatian"!?*

Friday, June 01, 2007


Engkau adalah seorang penulis yang pandai melukiskan suasana lewat kata-kata. Engkau adalah seorang pujangga yang lincah menorehkan tinta dalam lembaran-lembaran kata yang bermakna. Engkau adalah buruh kata yang katanya suka mengais dan mengumpulkan kata-kata darimanapun kau bisa menemukannya. Engkau adalah pengrajin kata yang hasil kerajinanmu menciptakan berbentuk bahkan beraneka guratan kata indah nan menawan. Lalu mungkin engkau akan menjadi pengusaha kata yang kata-katamu tidak mudah kau lepaskan tanpa ada kompensasi yang sepadan. Bahkan engkau adalah kata-kata itu sendiri yang nantinya akan menjadi bahan bacaan setiap orang yang melihatmu, memandangmu, dengan cukup lama, lalu menguraikan keadaanmu melalui kata-kata pula.

Aku adalah penikmat sastra yang bisa terbawa kemana-mana sesuai variasi suasana yang terselip di balik kata. Aku adalah pengagum para pujangga yang pandai membuat karangan kata sebagai persembahan kekayaan rasa. Aku menempatkan mereka pada posisi tinggi karena telah banyak mengungkap rahasia bahkan misteri di balik setiap peristiwa lewat guratan kata. Aku juga menilai dan merasakan kata-kata. Memilah-milahnya. Yang enak dirasakan aku simpan dalam dinding ingatan sebagai hadiah terindah dari malaikat kata. Dan yang tak enak tetap aku jadikan pelajaran supaya aku tidak meniru untuk menggunakannya. Bahkan terkadang aku ingin membeli kata-kata. Walau entah dengan apa. Dan aku adalah pengagum Engkau, karenamu adalah bagian dari kata-kata dan para pujangga.

Aku telah mengakui Engkau sebagai seorang penulis. Iya. Engkau penulis fiksi yang konon katanya adalah manusia kaya rasa. Manusia yang mampu menuangkan segala apa yang terlihat oleh mata maupun indera-indera lainnya dalam barisan kata. Pembacaanmu terhadap gejala alam maupun peristiwa-peristiwa keseharian bisa jadi sangat berbeda dengan pembacaan orang-orang pada umumnya. Betul. Engkau lebih peka!.

Kepekaanmu itulah yang aku lihat sebagai potensi diri termahal untuk menjadikanmu sebagai manusia arif dan bijaksana. Lalu darinya kau akan mampu dengan mudah mencerna dan merespon setiap fenomena hingga akan tercipta sebuah penyikapan yang sesuai dan selayaknya. Entah itu merupakan suasana dalam nuansa kebencian, keganjilan, hingga pada setiap perhatian maupun kasih sayang dari berbagai unsur di luar dirimu.

Kepekaan yang telah aku ungkapkan sebelumnya memang mempunyai potensi positif menuju matra kelembutan rasa. Namun sama dengan benda maupun obyek-obyek lainnya yang selalu tersusun oleh dua kutub, positif dan negatif, kepekaanmu pun demikian. Dengan bekal kepekaan itu kini aku justru melihatmu seperti terasingkan. Terasingkan akibat kelalaianmu untuk tetap konsisten dalam menjaga keselarasan penyikapan dalam sebuah permasalahan. Kau menjadi terasingkan. Atau mengasingkan diri. Atau engkau justru sengaja ingin mengendapkan diri sejenak dalam keterasingan. Hingga pada saatnya nanti kau akan mampu dengan fashih menerjemahkan keterasingan, terasingkan, diasingkan atau mengasingkan!?.

Kalau saat ini aku boleh berkata-kata tentang engkau, maka aku akan mengatakan yang sejujurnya. Jujur, saat ini aku justru benci melihatmu hanya bisa menuliskan kata. Betapa banyak kata-kata yang telah kau bariskan mesra dan sarat makna. Analisamu juga terasa lebih tajam dan mendalam. Pembacaanmu akan sesuatu yang aku anggap biasa bisa kau gubah menjadi sesuatu yang luar biasa, dengan kata-kata yang kau pahatkan rapi. Namun, aku melihat engkau tidak seperti engkau. Engkau telah berubah. Engkau telah berubah menjadi seorang penulis hebat. Tapi engkau juga telah berubah menjadi pengembara yang seakan kehilangan arah. Walaupun hal itu sekali lagi mungkin justru akan menghasilkan kata-kata yang lebih indah. Tapi bagaimanapun juga keadaan jiwamu telah berubah!?.

Sebelumnya dirimu mungkin merasa megah. Dengan hasil karyamu yang melimpah ruah. Dan sebentar lagi engkau benar-benar akan menjadi pengusaha kata. Merasa kaya kata. Tapi sebenarnya rasamu justru tidak lagi peka karena dahulu telah terlalu peka.

Maafkan aku jika terlalu berani berbicara tentangmu. Bahkan berani menyimpulkan keadaanmu tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Lalu jika aku boleh berkata-kata lagi, bahwa sebenarnya telah banyak orang yang entah dengan sengaja atau tidak melakukan pembacaan terhadapmu. Setidaknya mereka selalu ingin mengerti perkembangan terbarumu. Telah sampai dimana perjalananmu. Mereka senantiasa memperhatikanmu. Mereka selalu menyisihkan waktu untuk sekedar ingin menyapamu. Menanyakan keadaanmu. Bagaimana kabarmu.

Perhatian!. Iya, perhatian. Dahulu hingga sekarang orang-orang justru suka mencari-cari perhatian. Karena bagi mereka perhatian adalah kebahagiaan. Perhatian adalah kasih sayang. Perhatian adalah pengakuan terhadap eksistensi diri. Perhatian adalah kekayaan yang tak terkirakan.

Namun perhatian juga bisa menjelma menjadi neraka. Dan itulah fenomena yang aku lihat saat ini pada diri para elite, artis, bangsawan, dan juga pada dirimu. Dengan berbagai hasil kerajinanmu, kini banyak orang yang memperhitungkanmu. Bahkan hanya dengan melihat potensi besar yang melekat kontras pada dirimu orang-orang telah banyak memperhatikanmu. Para kaum pembaca yang belum mengenalmu, apalagi teman-temanmu yang telah sejak lama hidup berdampingan denganmu.

Perhatian itu sekali lagi telah mengalir ke pangkuanmu. Dari banyak arah. Dengan berbagai latarbelakang yang mungkin tak sewarna. Teman-temanmu mungkin lebih memperhatikanmu karena hubungan “pertemanan” itu sendiri. Yang ruh serta semangatnya mendukung untuk selalu bertanya; “bagaimana kabarmu? Apa yang bisa dibantu?”.
Hanya saja perhatian itu kini hanya menjadi “hantu”. Maaf jika aku ngelantur. Maaf jika aku hanya mengada-ada dan mengira-ngira. Namun itulah yang aku lihat memancar dari wajahmu, dari gerak langkahmu yang seakan gontai menghindari waktu. Sesekali waktu aku merasakan engkau benar-benar dihantui oleh perhatian. Oleh pemantauan. Oleh kasih sayang yang entah karena apa justru berubah menjadi tuntutan dan gugatan!?.

Hei…! Sekali lagi aku katakan; “engkaku adalah seorang penulis. Engkau adalah seorang manusia arif. Engkau akan mampu membaca sesuatu dengan analisa kritis. Menggunakan rasa yang telah engkau masak dengan berbagai rempah peristiwa dunia. Hingga kau benar-benar menjadi peka!”.

Saat ini, kepekaanmu seakan lenyap dihempas terpaan kebingungan dan kegalauan. Iya. Aku melihatmu sedang kebingungan. Dimanakah wujud dari kehambaanmu yang selama ini terbangun di atas pondasi-pondasi keimanan?. Dimanakah hasil kerajinan tanganmu yang selama ini kau banggakan akan menghasilkan?. Dan kata-katamu yang selama ini kau tabung, justru membuatmu miskin dari kata-kata. Kau diam. Kau tak mampu berkata jujur dan berteriak lantang meminta kemerdekaanmu yang telah lama kau impikan.

Tak ayal! Tak mengherankan jika perhatian yang datang justru membuatmu gerah. Perhatian datang merampas kemerdekaan. Perhatian dengan ketulusan justru menjadi iblis yang menakutkan.

Aku tau engkau belum mati rasa. Aku melihat kepekaanmu masih ada. Namun aku merasakan engkau tengah berusaha menyembunyikannya. Untuk menenangkan diri. Untuk mencoba mencari kebebasan. Kebebasan yang telah lama engkau agungkan.

Engkau manusia. Engkau tercipta memang untuk merdeka. Engkau diberi hak untuk menciptakan kemerdekaan dalam dirimu sendiri. Tapi kemerdekaan yang mutlak, mungkin tidak berlaku dalam masyarakat manusia. Dalam relasi keseharian yang menyediakan ruang untuk saling membutuhkan. Kemerdekaan mutlak hanya ada di hadapan Tuhan. Sedang di kalangan manusia ia senantiasa dibatasi norma-norma. Karena kemerdekaan, kebebasan, yang ingin kita raih sendiri bisa jadi menyakiti manusia lainnya, mencemari lingkungan dan ekosistem, lalu membuatnya tidak seimbang dan terjadi ketimpangan.

Sudah aku bilang aku hanya penikmat. Aku hanya pengagum. Aku hanya pembaca. Maka biarkanlah aku bebas membacamu. Setidaknya untuk kali ini saja. Karena aku masih mengakuimu sebagai temanku.

Teman…! Aku benar-benar melihatmu dalam kebingungan. Aku mendapatimu dalam keterasingan. Dan dengan penglihatan itulah aku dan mereka menawarkan perhatian. Mengulurkan tangan bantuan atas nama persahabatan. Atas naungan kebersamaan. Namun sekali lagi jika perhatian, bantuan, maupun kebersamaan itu masih terus menghantuimu untuk mendekat padaku, pada mereka, aku dan mereka pun akan mencoba mencari 'atas nama' dan 'atas nama' lain untuk bisa mendekatimu.

Atau tidak perlu dengan itu semua!. Karena sebenarnya kamu sudah punya bekal dan potensi untuk kembali menapaki keyakinan dan ketetapan jiwa. Dengan kekayaan rasa yang sejak dulu telah kau bina. Dengan kepekaan indra yang dahulu sempat kau asah lalu sementara ini kau pendam. Iya. Kau tinggal kembali mengaktifkan fungsi masing-masing kekayaanmu tadi. Dengan kata-katamu berbicaralah padaku, pada mereka. Lalu kita coba bersama menguraikan kebingungan. Kita bersama menyatukan kata. Dan kita bersama menggabungkan kesepahaman atas arti sebuah perhatian.

Bukankah terlalu lama membiarkan diri dalam lembah kebingungan dan diam adalah penyiksaan?. Mengagungkan kemerdekaan dan kebebasan yang justru mengasingkan adalah kesalahan?. Ayoo…segera beranjak dari kesendirian. Kami tidak akan lagi menawarkan perhatian, jika kau sendiri datang membawa kesadaran. Dan perhatian yang menjadi hantu sebenarnya tak akan pernah ada jika kau tidak menganggapnya ada. Ia hanya secara alami datang merespon gejala alam. Yang menuntunya datang menawarkan pertolongan.

Engkau adalah penulis. Engkau adalah pujangga. Engkau adalah buruh kata. Engkau juga pengrajin kata. Dan bila telah tiba saatnya nanti engkau akan menjadi pengusaha kata.
Engkau telah mempunyai kepekaan rasa. Engkau berpotensi menjadi arif dan bijaksana. Engkau telah mampu memfungsikan itu untuk menghasilkan sebuah karya. Iya. Karya fiksi.

Dan engkau adalah manusia. Sebagaimana manusia lainnya yang ternyata masih menyimpan sifat lupa, sifat kemanusiawian yang sejatinya. Maka terkadang kau malah terjerembab dan terjerat dalam dunia fiksi. Hingga kau terjauh dari dunia yang hakiki.
Masih ada waktu untuk kembali. Masih banyak ruang untuk memperbaiki diri. Masih banyak teman yang siap menemani. Bukankah keterasingan itu menyebalkan?!. Bukankah perhatian yang menjadi hantu itu menakutkan!?. Silahkan engkau baca sendiri dengan pembacaanmu sebagai seorang penulis. Sebagai seorang pujangga. Sebagai seorang yang kaya rasa. Dan sebagai seorang teman yang memahami perhatian temannya!!.

Tercatat oleh, M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, 31 Mei 2007, 11.45.
*(Ketika aku melihat bahwa perhatian justru menjadi iblis yang merenggut ketenangan jiwa).

Baca Selanjutnya...!...