Dimensi Ujian

Friday, June 15, 2007


Musim ujian bagiku adalah rahmat. Terserah apakah di beberapa ruasnya aku masih merasakan penat, capek dan terkadang juga suntuk menghadapi ribuan halaman buku diktat. Namun kesemuanya itu tak membuatku kalah dan menyerah untuk terus berjibaku mengalahkan malas memerangi nafsu. Bagiku ujian adalah peluang. Peluang untuk mendapatkan sebuah kemenangan bernama “Kelulusan”. Ya. Lulus dari ujian maupun cobaan dengan berbekal bulatan tekad, kesabaran dan kepasrahan sepenuhnya kepada Tuhan. Maka, di sebuah ruang yang berlabel “kelulusan” itulah aku menemukan rahmat.

Ujian adalah karunia. Di dalamnya ia menyimpan sebuah kekayaan. Yaitu kekayaan kesempatan yang terlalu sayang untuk disia-siakan. Tanpa melewati ujian, bagaimana mungkin seorang siswa akan bisa naik kelas atau naik tingkat!? Bahkan anak seorang presiden, gubernur, bupati, pun harus melalui ujian untuk bisa naik kelas. Atau jika ‘hal itu’ memang sempat terjadi, bisa saja kenaikan itu disebabkan oleh unsur di luar kenormalan, atau kejujuran.

Falsafah ujian sekolah, madrasah, perguruan tinggi atau apapun nama dan tingkatannya adalah secuplik pelajaran dari sekolah kehidupan bernama DUNIA. Yang di dalamnya juga menuntut adanya ujian bagi setiap manusia untuk dapat membuktikan eksistensinya, untuk dapat menunjukkan kepada dunia bahwa ia ada dan mampu melewati setiap ujian dengan “selamat”. Bertindak sebagai juri dalam setiap ujian kehidupan adalah Sang Pencipta dari segala yang bernyawa maupun yang tidak. Jika lulus ia akan naik tingkat di sisi-Nya. Dan jika gagal atau putus asa ia akan tetap pada posisinya yang semula dan bahkan mungkin turun ke lembah nista.

Aahhh… ingin rasanya sekali lagi aku menegaskan pada diri sendiri bahwa setiap ujian, siapapun penyelenggaranya dan dimanapun ia diadakan adalah sebuah peluang, adalah kesempatan, adalah kasih sayang.

Menyebut istilah kasih sayang ingatanku seakan terseret kembali ke masa lalu, ke masa kecilku. Sejak kecil, ketika aku masih merasakan kehangatan kasih sayang dalam dekapan keluarga yang membesarkanku; berbagai ungkapan dorongan semangat, ajaran untuk belajar pada alam, berguru pada kehidupan, begitu sering aku dengar dari lisan Abahku. Beliau adalah seorang edukator. Beliau selalu bermurah hati untuk menularkan berbagai ilmunya kepada siapapun yang meminta.

“Cung,… yang namanya kita hidup ini kan juga penuh dengan ujian dan cobaan. Namun bukankah Tuhan justru suka memberikan berbagai ujian kepada para hamba yang dicintai-Nya! Tentu. Karena hakekat ujian itu adalah peluang baginya untuk melakukan percepatan dalam meraih tempat yang tinggi di sisi-Nya. Maka bersabar dan berjuanglah!” pesan Abah kepada kami yang kala itu hendak merantau menuntut ilmu.

*** ***
Ujian musim panas Universitas al-Azhar Kairo sudah dimulai sejak pertengahan Mei yang lalu. Pada awal-awal persiapan menjelang ujian aku pun merasakan berat dan beban. Materi yang cukup banyak dengan persiapan yang tak seberapa. Ahh…rasanya sudah capek duluan sebelum ujian benar-benar digelar. Namun satu yang tak pernah aku lupakan, selama masih ada waktu, selama itu pula aku masih bisa berusaha dan berjuang. Ujian bagi sebagian orang bisa jadi adalah jeruji yang begitu memenjara dan mengekang. Namun bagiku aku mencoba menerimanya lain. “Namanya juga sekolah, masak tak mau melewati fase demi fase ujian!”. Dan dari sebuah awal keterpaksaan dan tuntutan itulah akhirnya aku bisa menerimanya lega. Karena mau tidak mau harus menjalaninya; “kenapa harus dengan begitu tegang dan ngoyo? Kenapa tidak aku hadapi saja dengan enjoy dan rileks? Toh segala pekerjaan maupun tugas jika dinikmati kan bisa menjadi ringan. Walaupun hal itu bukan bermaksud meremehkan lho…!”.

“wah,…lagi musim ujian tapi masih sempat juga ya kamu nulis. Kok aku lihat blog-mu update terus!?” tanya seorang teman kepadaku.

“iya nih. Ya habisnya gimana lagi. Aku memang lebih suka memilih menulis untuk menumpahkan segala rasa yang sedang menghampiri di saat-saat tertentu. Ketimbang suntuk belajar lalu tidak melakukan apa-apa, aku lebih memilih menulis!” jawabku sok arif.

Musim ujian oh musim ujian! Selain menjadi rahmat dan karunia ia juga menjadi musim semi ide bagiku. Suatu ketika aku pernah menulis di buku catatan harian-ku;

“kali ini ujian sudah dekat. Nampaknya aku berniat pamit sementara pada kata-kata. Ke depan waktuku akan habis tersita untuk ujian, hingga tak ada lagi waktu untuk mengumpulkan kata-kata. Menyemainya indah seperti hari-hariku yang dipenuhi cinta. Maka bersabarlah wahai kata. Selanjutnya aku akan membiarkanmu bebas berceceran dalam alam penantian. Hingga pada saatnya nanti, aku akan kembali memungutmu sebagai mutiara rasa yang akan aku rangkaikan mesra penuh kelembutan. Sebagai cindera mata bagi siapapun yang membacamu”.(02-12-05)

Dan ternyata aku tak bisa! Musim ujian justru menjadi musim semi yang mengaktifkan berbagai sel maupun syaraf tubuh lengkap dengan fungsinya. Bahkan kelima indra pun secara alami mempunyai peran dinamis dalam menangkap setiap fenomena yang ada. Maka yang terjadi adalah; bahwa setiap gerakku adalah ide, setiap penglihatanku adalah pembacaan yang mendalam, dan setiap kejadian adalah data. Ya. Karena masih ujian, dan aku tidak punya cukup waktu untuk segera menuliskan, maka yang aku lakukan adalah hanya mengumpulkan data-data. Menuliskan setiap ide yang muncul dalam berbagai lembaran kertas berceceran. Lalu baru mencoba menyusun dan merapikannya di saat ada sedikit waktu senggang sembari istirahat merenggangkan syaraf-syaraf otak yang kaku.

Rasa syukurku pada Sang Pemilik malam. Yang menyediakan Bintang dan Rembulan sebagai ayat-ayat langit untuk obyek pembacaan dan bahan renungan. Dan Sang Pengatur siang yang menjadikan matahari sebagai sumber kekuatan. Segala apa yang dicipta-Nya adalah ayat. Yang dibaliknya selalu ada hikmah. Maka kini aku mencoba sedikit meminta hikmah-Nya di balik penciptaanku. Untuk dapat melihat sisi terang hikmah-hikmah dari setiap benda lain di sekelilingku. Untuk dapat memaknainya tepat sesuai kodrat penciptaannya.

Potret dunia ide yang ada memenuhi alam. Ingin rasanya suatu saat nanti aku bisa melukiskan setiap pesan alam yang beraneka ragam. Untuk dapat dicamkan seluruh penduduk bumi bahwa ia ada untuk dibaca dan dijaga. Walaupun takdir telah menggariskan fana, namun sekali lagi masih tersisa waktu untuk menebus lalai dan menghapus dosa.

Dengan semangat. Betul. Dengan semangat usaha dan do’a yang berdetak kencang dalam nadi pengharapan. Bahwa suatu saat nanti akan ada sebuah ‘pembukaan’. Pembukaan terhadap satir-satir misteri Tuhan yang ia titipkan pada alam dan kehidupan. Setiap ujian adalah peluang? Setiap coba’an adalah kasih sayang? Setiap gerak langkah adalah ide? Dan setiap ayat bumi maupun langit adalah data?

Maha suci Allah Sang Sutradara kehidupan. Hanya di tangan-Nya-lah ujian akan diselenggarakan. Dan hanya di mahkamah-Nya-lah hasilnya akan dibagikan. Lulus, atau Gagal? Dan Maha Besar Allah yang menjadikan setiap ciptaan sebagai bahan pembelajaran. Lalu dari-Nya-lah manusia mengais setiap ide. Maka tak salah jika ada yang berkata; “kita harus menerima bahwa detak kreatifitas dalam diri kita adalah detak kreatifitas Tuhan”. Dan juga; “potensi kreatif dalam diri manusia itulah citra Tuhan”.

Untuk saat ini aku hanya ingin mengumpukan semangat. Karena dengan semangat manusia bisa bertahan hidup. Dan dengan semangat pula setiap ujian akan terlampaui. “kreatifitas, potensi, maupun ide adalah anugrah Tuhan kepada kita. Maka menggunakan kreatifitas, mengembangkan potensi dan menghasilkan ide adalah balasan kita atas anugrah-Nya”. Semoga!.

M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, 10 Juni ’07, 14.30

0 Komentar: