Tangis Sunyi Di Hari Kelahiran Nabi

Friday, June 08, 2007


Selama satu bulan kemarin kami terhitung sering diundang orang-orang pribumi Mesir untuk mengisi halaqah-halaqah Maulid Nabi. Ya. Minimal satu minggu sekali selama bulan Rabi’ul Awal kami selalu datang ke sebuah rumah di kawasan Muqattam untuk melantunkan puji-pujian atas Nabi diiringi tabuhan alat musik Rebbana. Tepatnya kami tergabung dalam sebuah Group Hadrah “an-Nahdlah”, salah satu asuhan Lembaga Seni dan Budaya Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir.

Pada bulan-bulan tertentu, suasana Kota Seribu Menara seringkali dihiasi warna-warni tenda dengan dekorasi kain khas bernama “saradiq”(1) yang dipasang mengeliling di beberapa tokonya. Selain bulan Ramadhan, pemandangan semacam itu juga terlihat pada bulan Rabi’ul Awal. Bagi kebanyakan mahasiswa baru, suasana seperti itu terkadang menjadi sebuah keunikan tersendiri yang tak jarang menghadirkan semburat citra kekayaan budaya “Negeri Tua”.

(“eh, emang ada apaan sih, kok di setiap sudut kota pasti toko-tokonya memasang kain-kain seperti itu?”. “emang sedang ada munasabah apa nih, kok kayae ada hari istimewaaa… gitu!?. Hingga masyarakat Mesir menyambutnya dengan gegap gempita seperti ini?”).
Dan pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang spontan muncul dari benakku juga mungkin benak para mahasiswa Indonesia lainnya tatkala melihat fenomena yang sedang hangat di kalangan masyarakat Mesir.

(“Hemm…gimana ya jika seandainya ketika pulang nanti kita membawa kain-kain “saradiq” khas Mesir itu?. Lalu kita gunakan dalam acara-acara ritual kemasyarakatan ataupun keagamaan di daerah kelahiran kita. Kayae menarik tuh!??”).
Ungkapan semacam itu pun sesekali muncul dari kawan-kawan yang respect terhadap nilai seni dan budaya. Bahkan mungkin mereka juga kepikiran untuk mengasimilasikan budaya Mesir dengan budaya Indonesia dalam bidang tertentu. Dan begitulah celoteh anak bangsa yang sedang mencoba menempa diri di negeri Musa.

Bulan ini adalah bulan Maulud . Bulan dimana seorang manusia mulia dilahirkan di muka bumi sebagai pamungkas para Nabi. Manusia yang tidak serupa dengan manusia lainnya. Karena diutusnya ia adalah sebagai rahmat bagi alam semesta. Maka tak ayal jika para manusia menyambut gembira hari kelahirannya. Namun tak jarang pula yang membenci bahkan mengutuknya. Dan hingga kini, di zaman yang sudah serba canggih ini, kedua golongan itupun masih tetap ada. Entah apa maksud dari keberpasangan yang selalu ada mewarnai dunia? Apakah memang untuk sebuah keseimbangan. Tapi bukankah kosmos akan lebih seimbang justru ketika dunia hanya dipenuhi cinta dan kasih sayang? Atau apakah yang dimaksud keseimbangan adalah dalam dimensi alam ketiga, Akherat!? Sebab kalo seluruh manusia baik, maka siapa yang akan mengisi neraka!? Aahhh…Ngaco’!

Dalam kenyataannya, hingga zaman edan seperti ini masih banyak pula orang-orang yang peduli dengan Nabi. Hari kelahiran Nabi. Bahkan perayaan ulang tahunnya digelar dimana-mana. Mulai penjuru Nusantara hingga tanah kekuasaan Kleopatra. Dan tak sedikit pula yang karena saking cinta dan tergila-gilanya pada sosok Nabi, orang-orang memekikkan selamat dengan suara lantang: “Happy Birthday to You, Our Beloved Prophet!!”.

Di sisi lain, ketika kita mencoba untuk sedikit membalikkan muka, di sana masih akan banyak kita temukan mahluk-mahluk pembenci Nabi. Tak berkesempatan menghujatnya secara langsung karena sosoknya telah mati, pusaka warisannya pun ia lecehkan seenak perutnya. Layaknya seorang pinter yang keblinger, ia gunakan segala cara untuk merendahkan dua pusaka penting warisannya; al-Qur’an dan as-Sunnah.

Begitulah wajah dunia saat ini. Diantara keberpasangannya, ada yang berimbas pada kebaikan. Namun di bagian lain juga banyak yang menjadikan kesimpangsiuran, bahkan kegaduhan alam. Tapi entah, bukankah aku masih beriman!?. Sehingga apa yang mungkin aku duga salah, bisa jadi justru benar. Dan apa yang aku sangka buruk, justru dicipta baik secara substansi-hakekatnya. Iya. Tuhan lebih mengetahui apa yang tidak aku ketahui.
◊◊◊ ◊◊◊

Perayaan Maulid Nabi diadakan dimana-mana. Saat ini, mungkin aku sudah tak bisa lagi menikmati kemeriahan acara itu sebagaimana aku merasakannya dulu. Di sebuah dusun tanah kelahiranku. Yang mana setiap desa berlomba-lomba menyelenggarakan perayaan besar semeriah-meriahnya. Mulai dari mendatangkan Qari’ terkenal, Da’i kondang, maupun Group-group Rebbana favorit sebagai pelengkap acara. Arkhhh…suara-suara merdu para Vocalis itu, kembali terniang di telingaku. Lalu pemandangan rebutan makanan, tak ketinggalan menghiasi setiap penghujung pengajian.

Aku sekarang adalah “sabilillah”. Atau kalo belum pantas ya,...pengelana biasa!. Aku hidup di tengah hamparan gurun yang sesekali memaksaku mengusap keringat akibat kepanasan. Namun pada waktu tertentu, aku juga dihadapkan dingin yang membekukan sendi-sendi. Dan bahkan aku hanya bisa menikmati keteduhan musim semi yang hanya sekejap saja, sebelum akhirnya musim panas kembali menggilasnya.

Kini, bukan suara merdu mereka lagi yang aku dengar dalam perayaan itu. Namun justru suara pas-pasanku sendiri yang terpaksa aku nikmati dalam alunan syair sholawat atas Nabi. Setidaknya ada suara merdu dari teman se-tim-ku yang memberikan keselarasan nada dalam iringan Rebbana. Mubarak, namanya. Entah orang-orang Mesir itu suka mendengarkan suaraku atau tidak. Yang jelas saat ini mereka sering mengundang kami. Laksana sebuah Group Band terkenal, kami juga melaksanakan “Road-Show” keliling Kairo. memang bukan dari panggung ke panggung atau stadion ke stadion. Namun dari rumah ke rumah dan dari masjid satu, ke masjid yang lain. Dari satu palungguhan ke palungguhan selanjutnya.

Suguhan musik Hard-Rock (bahasa keren dari “Hadrah”) yang kami bawakan nampaknya cukup memberikan daya tarik tersendiri bagi mereka. Hingga di penghujung bulan Rabi’ul Awal pun tawaran untuk mengisi halaqah-halaqah Maulid Nabi masih terus mengalir kepada kami. Menurut analisa singkatku, dahulu orang-orang itu tau keberadaan kami dari mulut ke telinga. Lalu melalui mata kepala mereka menyaksikan kami secara live. Dan pancaran aura yang kami tawarkan seadanya cukup menarik hati mereka.

Kasak-kusuk ujian musim panas sudah gencar dibicarakan kawan-kawan mahasiswa di berbagai kesempatan. “UHF… sudah ah, capek. Kita istirahat saja sekarang. Kita harus segera konsen ke pelajaran. Ujian sudah dekat. Jika kita turuti terus permintaan mereka, kita sendiri yang kacau!”. Ungkapan itulah yang muncul mengiring kepuasan sekaligus keletihan kami ketika untuk terakhir kalinya kami menutup “Road-Show” Maulid Nabi tahun ini di sebuah rumah di kawasan Madinah Mohandisin.

“Usbu’ al-Qâdim Nad’ûkum fî baiti!”(2) salah seorang hadirin malam itu menawarkan kami untuk datang ke kediamannya minggu depan.

“Eemm…Ma’leys yâ Ustadzna, el-imtihân hayegi ba’da Syuwayya. Wehna ‘ayiz tarkîz lil mudzâkarah, ‘asyan ed-durûs kitir fashl dhi!”(3) dengan sedikit basa-basi namun tegas kami terpaksa menolak undangan itu.

“Ohh…mafisy musykilah. Insya Allah tugeebu da’wâya ba’dal imtihân, Mesyi!?”(4) balasnya cukup pengertian.

“Khâdhir ya Syeikh. Ba’dal imtihan ehna musta’iddin kulle youm bi’idznillâh! ”(5). Dan usailah tawar-menawar itu dengan saling memahami antara kami dan mereka.
◊◊◊ ◊◊◊

Malam ini udara Kairo masih cukup dingin. Diiringi tiupan angin kencang yang sesekali menggedor-gedor jendela tua kamarku, kami, aku dan teman-teman sekontrakanku, saling bertukar cerita sesuai pengalaman masing-masing. Sebenarnya tubuhku sudah sangat capek dan mataku terasa berat untuk tetap mempertahankannya terjaga. Namun topik pembicaraan itulah yang membuatku bisa bertahan dan ikut nimbrung berbagi cerita tentang cinta.

Pada awalnya kami membincang seputar cinta dan asmara. Kebetulan beberapa teman yang ada kala itu sedang menjalani proses Long Distance Relationship (LDR). “Ahh…kaya’ apa aja ya istilahnya, LDR, hehe..!?” celotehku dalam hati. Tak terasa pembicaraan yang cukup hangat itu menjurus ke pembahasan kelebihan dan kekurangan LDR itu sendiri dilihat dari berbagai perspektifnya. Ya, walaupun banyak juga orang yang menyatakan bahwa LDR tidak ada baik dan untungnya sama sekali, namun bagi orang-orang yang sedang menjalaninya persoalan akan menjadi beda. Entah itu yang berkata bahwa dengan LDR akan lebih terjaga dari fitnah, hingga pada pernyataan nakal; LDR lebih ngirit biaya.

Begitulah manusia. Kenyataannya, secara fitrah kita masih banyak mengedepankan subyektifitas ketimbang obyektifitas. Wah, pokoknya banyaklah argumen-argumen yang muncul baik dari pihak pro LDR maupun yang kontra. Dan kesemuanya memang lebih banyak mengungkap pengalaman individu masing-masing.

Bermula dari pembicaraan cinta, secara mengalir topik malam itu bergulir menuju curhat dan pembahasan ahlak. Tak tau entah bertolak dari mana dan apa, tiba-tiba seorang teman bercerita tentang asal-usul sejarah keberangkatannya ke Mesir. Usut punya usut, ternyata unsur pendorong keberangkatannya ke negeri Fir’aun ini adalah hanya sebagai alternatif terakhir, ketimbang ia tidak kuliah sama sekali.

(“ya sudahlah nak, sebenere Abah masih tetap khawatir jika kamu kuliah di Mesir. Tapi daripada kamu tidak sekolah sama sekali, mending kamu tetep berangkat ke Mesir saja tak jadi apalah!”). Begitulah ungkapan Abah si Slamet ketika akhirnya beliau menyetujui keinginannya untuk kuliah ke Mesir.

“Memang kenapa kok Abahmu sampe’ bicara seperti itu, Met?” penjelasan Slamet di atas tiba-tiba menuntunku untuk menelisik lebih jauh lagi.

“Ya karena beliau sudah tau, walau entah dari mana, bahwa iklim perkuliahan di Mesir sudah tidak kondusif. Dan hal itu diperparah lagi dengan dekadensi moral serta ahlak para mahasiswanya, khususnya mahasiswa Indonesia sendiri, mungkin!” Slamet mencoba berargumen setengah yakin setengah tidak.

“Ooo…jadi begitu tho!” jawabku heran setengah mengiyakan pernyataan itu.

“Pada awalnya Abahku menghendaki agar aku bisa kuliah di Saudi, yang konon katanya relatif masih terkontrol dalam hal ‘ubudiyyah dan pergaulannya. Namun, kenyataan berkehendak lain. Kebijakan yang diambil pemerintah tentang proses pemberangkatan mahasiswa ke Mesir malah menjepitku pada satu pilihan. Yaitu aku harus ikut ujian seleksi. Akhirnya aku terdampar juga di Mesir!” tambah si Slamet dengan nada agak pasrah.

“Iya sih. Sebenere aku juga menyayangkan kondisi yang sudah seperti ini. Lingkungan dan gaya pergaulan yang sudah semakin semrawut. Tapi ya gimana lagi tho, wong ibaratnya kita ini sekarang kan sudah masuk ke wilayah “konflik”. Maka ya tergantung kitanya aja bagaimana pandai-pandai membawa diri. Toh penyesalan yang berlarut dalam kepasrahan terhadap lingkungan juga telah ditakdirkan tak akan menyelesaikan persoalan, kan!. Maka yang bisa kita lakukan adalah bagaimana menjadi seorang pembeda. Bergerak dan terus bergerak untuk meneguhkan diri!”. Rasanya capek juga berusaha berceloteh kesana kemari sok bijaksana, berharap dapat mengembalikan optimisme Slamet sekaligus diri sendiri.

“Trus sekarang gimana coba dengan pergaulan para mahasiswa kita yang sudah semakin membarat?. Terutama pacaran, TTM (Temen Tapi Mesra), nge-Date, liqa’ dan sebutan lainnya seakan telah mendarah daging dan menjadi biasa. Gagal ujian pun telah menjadi lumrah di kalangan Masisir.(6) Bahkan untuk berbicara jorokpun kita sudah semakin fashih, sefashif para da’i dalam menyampaikan ceramahnya!”.

“Ada semacam pembiasaan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa!” aku menyela alur pembicaraan Slamet.

“Ya. Jika mahasiswa al-Azhar saja seperti itu, lalu bagaimana dengan para mahasiswa di Indonesia ya? Mungkin ciuman bibir, bahkan petting mereka sering!. Nah tho, akupun ikut-ikutan fashih menggunakan istilah-istilah itu!??” Slamet semakin mendesakku dengan beberapa contoh fakta yang ia ungkapkan.

“Wah..wah..wah, kok ternyata analisamu sudah sejauh itu?. Kalo bagiku sendiri mungkin mahasiswa kita di sini masih “belom separah itu”. Ato sekalian untuk do’a aku memilih ungkapan “tidak separah itu” saja deh!. Paling kalo masalah disorientasi belajar itu betul. Atau…hemm…mungkin lebih tepatnya ya itu tadi, banyak mahasiswa kita yang justru menjadikan Mesir sebagai gelanggang pelarian, bukan sebagai kiblat ilmu pengetahuan yang ia akan bebas mengarungi samudranya sesuka hati dan sekuat daya IQ-nya. Lalu, hasilnya ya kaya gitu. Banyak dari mereka yang ketika sudah sampai di sini merasa kecewa dan akhirnya putus asa, putus cita-cita, bahkan hingga putus cinta. Hehehe!. Lalu gimana sikap kamu sekarang, Met??” tanyaku pada Slamet dengan harapan bisa mengetahui sedikit idealisme dan kepribadiannya.

“Ya begitulah. Aku memang mengakui aku apa adanya seperti ini. Dahulu, ketika Aku masih di rumah memang sudah rada-rada bejat. Entahlah. Nampaknya kondisi di tanah air memang sudah sangat terkontaminasi dengan arus globalisasi. Maka ketika aku berangkat ke Mesir, aku berharap sedikitnya aku akan bisa berubah!. Model pacaran remaja di Indonesia juga sudah semakin bebas. Tanpa adanya kepuasan fisik, pacaran seakan hambar. Maka jika kita kembali ke pembahasan awal kita tadi mengenai LDR, setidaknya aku akan lebih selamat dengan posisiku saat ini dari kemungkinan-kemungkinan lembah hitam itu. Titik. Capek deeghh!”.

Jarum jam di dinding sudah menunjuk angka satu. “Oughh…ternyata sudah larut malam, Met. Bukankah besok kita masih harus kuliah. Sudahlah. Nampaknya kita cukup capek membincang persoalan yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum ini. Lebih baik kita tidur saja!” pintaku pada Slamet menutup obrolan panjang kami.

Tak terasa secara perlahan beberapa teman yang ada di kamar saat itu terlihat mulai terlelap. Akupun sebenarnya sudah sangat ngantuk. Namun lagi-lagi percakapan tadi membuatku tak tega memejamkan mata. Dan pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan di dinding-dinding ingatan. Apakah benar generasi muda Indonesia sudah separah itu?. Prosentase yang sudah “tergelincir” lebih banyak dari yang masih “selamat”. Bahkan para duta bangsa, sudah seburuk itukah citra yang mereka torehkan. Hanya berkeliaran di negeri orang tanpa arah tujuan?? Lalu apa yang mau mereka bawa pulang untuk membangun negeri!?.

Ingatanku berkejaran menelusuri ruang demi ruang dimana aku sering menghadiri perayaan Maulid Nabi. Sebuah tempat dimana aku dan mereka mendendangkan syair puja-puji atas Nabi. Dan hampir tidak pernah ketinggalan para Syeikh yang sengaja diundang, pun melantunkan syair penghormatan kepada sang baginda: “Thala’al badru ‘alaina. Min tsaniyyatil wadâ’…”(7), dan juga membacakan sebuah Sabda: “innamâ bu’itstu li utammima makârimal ahlâk”(8), lalu ditutup dengan Firman Tuhan: “Laqad kâna lakum fî rasûlillahi uswatun hasanah”(9).

Bait demi bait syair itu menggema diiringi taluan Rebbana yang lalu disahut secara beriringan oleh para jamaah. Menggema dan menggelora. Mungkin hingga kini di desaku ritual semacam itu juga masih lestari pada setiap malam selasa dan jum’at. Iya. Malam Dziba’iyyah, yaitu malam pembacaan Sirah Nabawiyyah. Dan perayaan Maulid Nabi mungkin juga masih digelar dimana-mana, di setiap penjuru Nusantara, hingga di masjid Istiqlal Jakarta, Masjid kebanggaan Indonesia. Namun apa arti semua itu, jika penghayatan tak kunjung mendalam. Perayaan hanya sebatas simbol. Pengajian hanya menjadi trend orang perkotaan.

…“innamâ bu’itstu li utammima makârimal ahlâk”… dan bunyi sabda Nabi itu lebih menghujam tajam dalam lubuk keprihatinan. Keprihatinan terhadap keadaan generasi seperjuangan, terlebih tirani diri sendiri yang masih membelenggu erat di pintu hati. Apakah belum cukup Nabi menggunakan huruf “Qashr”(10) [innama] di awal sabdanya. Yang itu menandakan bahwa ia tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan ahlak!?. Lalu melihat fakta saat ini, apakah tujuan pengutusan itu sudah berhasil? Atau mungkin dengan jawaban yang cukup diplomatis, bahwa titah itu telah dilaksanakan Nabi dan pernah berhasil!?? Lalu sekarang kembali memudar lagi!. Ahh jangan. Kenapa fikiranku menjadi nakal. Yang jelas Nabi telah berhasil mematrikan pondasi awal itu di benak para Sahabat. Buktinya cahaya islam dan pencerahan alam dari kegelapan moral dan budi kala itu sudah sangat menyemburat. Bahkan percikan cahayanya hingga ke pelosok Konstantinopel, Andalusia, Syam, Maghrib dan lain sebagainya. Bahkan mungkin sampai ke Asia.

Huruf “Qashr” berfaidah “hasr”. Pembatasan, pengkhususan. Berarti Nabi Memang lebih konsentrasi ke perbaikan Moral, setelah meletakkan pondasi dasar keyakinan dan keimanan. Mungkin Sabda itu memang sungguh benar. Bahwa muara keberagamaan seseorang, dengan menjalankan syari’at dan ritual-ritual keagamaan dengan berbagai variannya adalah untuk menuju kelembutan hati dan kebaikan budi. Ohh…benarkan begitu!?.

Pertanyaan. Jawaban. Secara tiba-tiba mulai menduduki relung-relung hati. Semoga sang Nabi tidak sakit hati melihat wujud sebuah
generasi yang sudah termakan globalisasi. Adapun musibah yang terus membuat Pertiwi menangis, semoga itu juga bukan karena kebencian Nabi melihat kebejatan umatnya yang lebih suka menindas sesama, mengubur hati nurani, juga memakan bangkai saudara sendiri. Rintihan tangis para bayi yang masih suci, sujud panjang di sepertiga malam para Wali, juga munajat para binatang di setiap peraduan sunyi, semoga mampu membendung murka Ilahi. Walaupun negeri yang katanya “gemah ripah loh jinawe”(11) kini hanya menjadi isapan jari. Namun bukan berarti sejarah berhenti sampai di sini. Biarlah masa lalu dilindas waktu, namun perjuangan adalah abadi.

“Assalamu’alaik zainal anbiya’…
Assalamu’alaik ashfal ashfiya’…!”(12)

Dan hanya syair itulah yang masih tersisa di ujung bibir.
Yang mengalir mendampingi laju malam, menemani sepi, untuk kematian sementara dalam peristirahatan dunia. Jemariku melenusuri wajahku. Ada selaksa air mata yang membasahinya. Ohh..aku kembali mendapati tangis sunyi, yang kini ada mengiring hari kelahiran Nabi.[]

M. Luthfi al-Anshori
Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, Mei 2007.


Catatan:
(1)Saradiq : nama sebuah kain khusus yang biasa digunakan orang Mesir untuk membuat semacam tenda yang mengelilingi toko atau acara-acara khusus mereka.
(2)Artinya: “minggu depan aku undang kalian di rumahku”.
(3)Artinya: “Maaf Ustadz, ujian akan datang sebentar lagi, dan kami ingin konsentrasi belajar. Sebab pelajaran semester ini cukup banyak”.
(4)Artinya: “Ohh…tak apa-apa. Insya Allah nanti kalian penuhi undangan saya setelah imtihan. OK!?”.
(5)Artinya: “Siap Pak, insya Allah setelah ujian usai nanti kita siap setiap saat”.
(6)Sebutan akrab untuk “Mahasiswa Indonesia Mesir”.
(7)Artinya: “Sang purnama telah muncul menyinari kita. Dari tempat pelepasannya”. sebuah Qasidah terkenal yang dinyanyikan kaum Anshor menyambut hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah.
(8)Artinya: “tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan ahlak”. [al-Hadits].
(9)Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rassulullah itu suri tauladan yang baik bagimu…”. [QS. Al-Ahzab: 21].
(10)Dalam disiplin ilmu Nahwu “Harf Qashr” berfungsi untuk menunjukkan ungkapan “pembatasan atau pengecualian”, (li ifâdati al-hashr).
(11)Artinya :”Rakyat makmur tanah subur...”. Ungkapan ini sesungguhnya digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menerjemahkan ungkapan dalam al-Qur’an:..”Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”...
(12)Salah satu syair pujian atas nabi yang berarti: “semoga keselamatan tetap ada padamu wahai Nabi yang paling rupawan ■ semoga keselamatan tetap ada padamu wahai yang paling suci dari orang-orang suci…”

0 Komentar: