Tuhan Menjaga Cintaku!?

Tuesday, December 25, 2007


Tuhan, melalui risalah agung-Nya telah mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa ber-khusnudzdzan (positive thinking); baik dalam keadaan yang susah (tidak disukai), terlebih dalam keadaan senang (yang disukai). Sebab keduanya adalah takdir yang telah digariskan Tuhan untuk setiap orang, yang di balik itu pasti ada hikmah atau nilai pelajaran yang bisa diambil. Namun bukan manusia namanya jika ia selalu benar dan tak pernah salah. Atau, kaitannya dengan pembahasan ini, selalu menjaga khusnudzdzan tanpa pernah ber-su'udzdzan. Sungguh sulit. Meskipun berusaha sekuat apapun, sesekali masih terbersit dalam hati untuk berprasangka buruk. Ya, walaupun di sisi lain kita juga mengakui, bahwa tidak semua prasangka itu dilarang. Misalnya, dalam kasus kejahatan, atau hal-hal lain yang terkait dengan tindak kriminal atau hukum; bahkan sebuah prasangka/kecurigaan itu mungkin dibutuhkan!?.

Nah, kali ini pembicaraan prasangka itu terkait dengan urusan asmara. Dalam menjalin sebuah hubungan cinta (yang menurutku adalah anugrah termegah yang diberikan Tuhan kepada manusia) terkadang muncul berbagai tanda tanya, atau bahkan rasa sayang yang tak jarang diiringi rasa curiga. Terlebih jika hubungan itu dipisahkan oleh jarak yang membentang luas (baca: Long Distance relationship [LDR]). Prasangka buruk, rasa curiga, atau bahkan tak percaya seringkali menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi. Oleh sebab itulah mungkin banyak orang yang enggan, bahkan menolak serta-merta untuk masuk ke dalam lingkaran LDR. Dalihnya adalah phobia terhadap kegagalan.

Alhamdulillah! Sejauh ini Tuhan masih menjagaku, menjaga cintaku dari ketakutan-ketakutan. Rasa percaya dan khusnudzdzan yang dipatrikan Tuhan dihatiku, seakan menjadi penjaga keutuhan cinta. Sesekali su'udzdzan memang masih menghampiri,
namun berkat rahmat-Nya pula datang sebuah pengingat atau peringatan dari sang 'Dewi'. Yang datang memang bukan barisan kata apologi atau pembelaan diri dan pernyataan bahwa dia baik-baik saja (baca:tetap setia, tetap mencinta). Namun seakan beberapa baris kata yang keluar tidak aku minta itu menjadi pengingat; "hey, kenapa kamu masih berburuk sangka, tak percaya akan ketulusan hatinya. Ia masih tetap seperti dulu, yang mencintaimu dengan sederhana, namun melalui perjuangan yang tak ringan. Entah datang pada saat chating, atau dari sekedar sms. Yang jelas seakan kedua hati itu tau masing-masing isinya, sehingga bisa saling bertanya dan menjawab. Maka dari itulah aku mulai dan sangat menghormatinya.

Hingga kini, aku masih merasakan; Tuhan menjaga cintaku. Sebuah anugrah yang datangnya tiba-tiba, tanpa kuminta. Namun sebagai manusia aku sadar betul bahwa bumi ini berputar, begitu juga hati yang terbolak-balik. Allah Yang Maha Kuasa akan sangat mudah membalik keadaan dalam sekejap mata. Maka aku tak buta untuk senantiasa memohon kepada-Nya. Agar cinta ini tetap Ia jaga, dan hati ini selalu diberi cahaya dan ketetapan, untuk selalu tersenyum dan sabar menjalani setiap liku asmara dan labirin dunia.

Dan kemarin aku telah berprasangka padamu, sayang! Bahwa aku menuliskan sebuah puisi tentang rindu yang berisi anggapan-anggapanku bahwa kamu telah "memasung rindu". Bahwa kamu begitu benci terhadap rindu, karena kedatangannya hanya menyisakan sepi, sunyi dan sendiri yang tak kunjung bertepi. Sementara aku sendiri menganggap rindu sebagai obat malasku yang paling setia. Karena kedatangannya menghadirkan daya dan energi untuk terus berlari mengejar mimpi. Maka aku takut akan terjadi kontradiktif antara rinduku dan rindumu. Tapi alhamdulillah, anggapanku itu segera kau bantah. Sebab di tengah malam tadi, kau masih mau mengirimkan sms rindu padaku:) Maka maafkanlah aku, semoga aku selalu bisa khusnudzdzan padamu.

"Tuhan, berilah aku sebuah rizqi berupa cinta-Mu dan cinta seseorang yang dari cintanya itu dapat mendekatkanku pada-Mu. Duh Gusti, Jadikanlah apa-apa yang aku cintai sebagai rizqi-Mu pula yang mampu memberikan kekuatan untuk dapat melakukan hal lain yang kau cintai...al-Hadits..."(HR. Turmudzi dari Abdullah bin Zaid al-khatmiy.[]

(Cairo, 25 Des 2007)

Baca Selanjutnya...!...

Cerita Idul Adha di Negeri Musa

Thursday, December 20, 2007

Senin (17/12) sore aku baru ngeh kalo hari raya Qurban tahun ini jatuh pada hari Kamis (19/12), setelah aku membuka pengumuman dari KBRI Kairo yang disebar-luaskan lewat millist. Yah, udah kelewatan deh hari Tarwiyahnya, so, cuma bisa melaksanakan puasa hari Arafahnya saja (18/12). Tak apalah, masih mending bisa puasa Arafah. Alhamdulillah. H-1 lebaran, suasana Kairo -khususnya di kawasan Hay ‘Asyir dimana kebanyakan mahasiswa Indonesia tinggal-, sudah tampak sepi. Jalan-jalan lengang dan beberapa toko yang biasanya beroperasi siang dan malam sebagian tutup. Sebab, sebagian besar para pedagangnya pulang kampung (mudik) untuk merayakan Idul Adha bersama sanak keluarga. Maka sebagai antisipasi, aku dan beberapa kawan serumah belanja cukup banyak untuk persediaan selama beberapa hari, minimal selama hari Tasyrik.

Berbeda dengan Indonesia, hari raya Idul Adha bagi masyarakat Mesir lebih istimewa daripada Idul Fitri. Suasana idul Fitri di bumi para nabi ini terkesan biasa-biasa saja, sementara di Indonesia, arus mudik masyarakat kota seakan tak pernah berkurang setiap tahunnya, bahkan selalu bertambah dan menyebabkan hiruk-pikuk tak terterhingga. Bagi masyarakat Mesir, yang istimewa bukan terletak pada perayaan hari raya Idul Fitrinya, tapi hari-hari selama bulan Ramadhan yang bagi mereka benar-benar menjadi ladang subur untuk beramal. Kalau melihat ke Indonesia, boleh dibilang yang terjadi adalah sebaliknya?!

Kembali membincang suasana Idul Adha di negeri Musa, usai melaksanakan ibadah sholat Ied, yang aku dapati adalah sepi, sunyi dan senyap. (Ya tentu saja, lha wong akunya cuma diam di rumah..!hiks..). Namun ketika aku beranjak beberapa langkah saja dari rumah, atau bahkan memanfaatkan angkutan transportasi yang masih beroperasi untuk jalan-jalan sekenanya mengikuti laju angkutan, yang ada adalah darah dimana-mana. Bahkan terkadang, bercak-bercak darah itu nyasar ke mobil-mobil. Orang Mesir memang terkenal jorok dan sembarangan. Menyembelih hewan kurban di pinggir-pinggir jalan semaunya. (ya mungkin karena sudah tidak ada lahan lain kalie..). Bahkan jika kebetulan ada air selokan (emang ada selokan di Mesir?) yang meluap ke jalan-jalan, warnanya berubah merah. Hari pertama hanya aku habiskan di rumah (boring banget yahh, mending kalo di rumahnya sambil nyate! Lha ini, ughh,..garing bangett!).

Hari kedua pagi aku masih di rumah. Bangun agak telat, jam 07.00. Untuk ukuran musim dingin jam segitu masih pagi banget kok! (Apologi..hehe). Namun untuk mengisi hari ini telah ada beberapa jadwal yang menanti; yaitu ngambil daging dari Muqattam, rumah Syeih Muhammad Khalid Tsabit -untuk dibagikan ke kawan-kawan Hadrah- habis Dzuhur, lalu jam 4 sorenya ada undangan ngisi Rebbana/Sholawatan pada acara Tasyakuran Renovasi Wisma Nusantara di Rab’ah bersama kawan-kawan an-Nahdlah (nama grup Hadrah asuhan Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir).

Ah...pagi yang sepi. Tiba-tiba suntuk menghapiriku. Tak tau mengapa. Aku buka jendela kamarku, kupasang kedua mataku yang tak lagi ngantuk untuk menelisik kondisi sekitar. Ohh...lengang....! Sepi, sepi dan sendiri aku benci. Kawan-kawan serumah tak tau entah sedang beraktifitas apa. Pintu kamarku masih tertutup. Tapi kayaknya mereka pada belajar, sebab ujian semakin dekat. Aku bosan. Mau belajar, lagi nggak mood. Ahh...tapi aku paksa untuk membuka-buka diktat. Suntuk mesih saja menghantui. Mungkin ini pengaruh dari mimpiku semalam?. Yang membuatku semakin merindu dengan suasana tanah air, keluarga, demikian juga kekasih!. Ahh..aku putuskan untuk mengirimkan sms ke keluarga. Aku bilang ke mereka dalam nada canda: “Halo,Assalamu’alaikum.wah,lg pd nyate nih critanya?hehe.enak dunk!kirimin kMesir dong,haha(brcnda)Msak hr raya idul Adha pun ga mrskn dging,ihik,ihik”. Childish banget ya..! Biarin...Duobrak..! dan...aku menanti sebuah balasan, tapi, kosong! Tak ada tanggapan, semakin sedih aku sendiri mengeja sunyi

Suasana sepi yang bembalut Kairo bertambah sunyi ketika hujan rintik-rintik membasuh buminya. Hanya sebentar. Di Mesir emang jarang-jarang hujan. Pantesan aja kalo sekali turun hujan seakan masyarakatnya begitu senang. “Ini adalah berkah dari Tuhan”. Hingga siang, sampai adzan Dzuhur berkumandang, rintik hujan kembali berjatuhan dari langit yang mendung sedari pagi. Ughh...semakin dingiin. Sembari mengisi kekosongan dan menghibur hati yang sedang merindu, iseng-iseng aku nyalakan komputer bututku lalu menulis puisi:

Sepi di Idul Adha

Kubuka jendela pagi
aku terkesima
menyaksikan alam yang begitu sepi.
Kutatapi bangunan Masjid bercorak merah bata
Di bebalik pintunya yang masih terbuka separo
ada beberapa orang melakukan percakapan berjubah coklat tua
itu baju kebesaran mereka di musim dingin
lalu masing-masing berjalan ke arah kubus-kubus yang berdiri kokoh
lalu lengang kembali datang.

Bagiku udara pagi ini tidak sebegitu dingin
angin yang datang memasuki ruang kamar juga tenang, sepoi
tidak seperti biasa yang suka tak sopan menggedor, bahkan menerobos
menerbangkan kertas-kertas, membawa debu, pasir.
Namun desir hatiku pagi ini sebegitu kencang
rongga dadaku dingin dihinggapi rindu.

Kesunyian alam seakan menyelinap!
aku termangu tak berdaya
dirajam perasaan dalam penjara kesendirian
Mimpi demi mimpi yang mengabarkan kebersamaan
justru menambah getir
karena yang maya tak lebih fatamorgana.

Dan aku semakin merindu
ditingkahi mimpi yang menghadirkan bayangmu
dalam malam-malamku yang tak lagi putih.

Dan pagi ini,
tatkala kubuka jendela kamarku
aku mendapati sepi yang tak biasa
di hari Idul Adha yang menyiratkan semangat berkorban
maka aku menenangkan diriku
dengan sejenak melakukan penghayatan
bahwa hidup adalah pengorbanan;
lebih baik berkorban penuh lapang
daripada terpasung dalam diam,
menggerutui nasib yang belum terbayang!?.[]

(Mutsallas, 20 Des 2007, 11 Dzulhijjah 1428 H)

Baca Selanjutnya...!...

Gejolak Jiwa Dalam Diam

Tuesday, December 11, 2007


I
Di sebuah senja kelam
Aku menemukanmu terduduk diam
Ternyata sudah beberapa hari engkau bungkam
Lalu menghilang di antara kesumpekan
-
Bebunyian itu sudah lama pergi dari telingaku
Ringtone Hp bututku yang tetap sabar menandai pesan
Biasanya ia selalu datang dengan senyuman
Tapi kini seakan hendak lari
Menyisakan sepi…

Seribu bebunyian tanya lalu kukirimkan
Kepada siapa saja, apa saja
Yang dalam memorinya pernah tau tentang kita
Dan,…
Tak ada jawaban.
Kamu sembunyi berteman sunyi
Aku terdiam karna kau tetap bungkam
Berteriakpun aku tak mampu mengusir diammu
Sekeras apapun hatiku bertanya mengharap jawab
Kandas tak bertepi
Hempas diterpa ambigu
Kapankah kau akan membuka mulutmu?
Aku telah lama menunggu,
Tersengal di ruang rindu.

II
Tolong katakan padaku
Dengan bahasa apalagi aku bisa memanggilmu
Aku sudah kehabisan suara
Otakku semakin bingung memikirkan cara
Agar aku bisa kembali menyapamu
Dan kau faham akan maksudku.
-
Dirimu aku pahami setulus hati
Namun diriku kehilangan hati
Hatiku telah kau kuasai;
Memikirkanmu adalah ritual keseharian tak bertepi
Mengingatmu adalah episod teristimewa yang kupunya

Mungkin hatiku tau kamu butuh waktu
Dan aku akan bersabar
Mengakrabi setiap sunyi
Dalam diammu aku sendiri
Berteman sepi.[]

*) Aku lupa entah kapan pernah menuliskan sajak di atas, yang baru saja aku temukan di antara lembar-lembar kertas berserakan...

Baca Selanjutnya...!...

Munajat Kaum Puisi


Pada suatu malam yang cerah, dimana langit terlihat begitu bersih; tanpa rembulan, tanpa bintang-bintang, mungkin karena para malaikat, peri, dan ruh-ruh para nabi turun ke bumi, sekelompok anak manusia yang menamakan diri mereka para penganyam kata berkumpul di sebuah halaman terbuka beralaskan sahara. Tujuan perkumpulan itu tiada lain adalah untuk memanjatkan do’a, meminta apa yang bisa diminta, kepada Dzat yang selalu siap untuk diminta, demi kemakmuran dunia.

Karena mereka terdiri dari berbagai tingkatan umur, seluruh yang hadir bersepakat sang penyair tertua diberikan kesempatan untuk memimpin do’a. Dan sejurus kemudian, sepp…. ! suasana menjadi hening, sunyi. Masing-masing mereka terdiam berkonsentrasi untuk menyimak dan mengamini munajat kaum puisi. Pernafasan pun mereka atur sebaik mungkin agar bisa khusyuk memanjatkan puja-puji. Dan, seett….

Bismillahirrahmanirrahim…
Dengan menyebut asma-Mu ya Allah Yang Maha Penyayang
Demi kekuasaan-Mu yang telah menitahkan pena untuk berfirman
Sungguh manusia telah tunduk di bawah katakata-Mu
Mereka berprilaku atas pondasi katakata-Mu
Mereka masuk sorga karena patuh atas katakata-Mu
Mereka masuk neraka karena ingkar atas katakata-Mu

Maka, kami adalah hamba kata-Mu
Yang meminta sedikit katakata-Mu
Untuk mewujudkan katakata baru
Yang mungkin lebih bisa diserap oleh para hamba
Melalui sajak sejuta makna
Mengurai rahasia
Menyibak tabir
Mengungkap hikmah di balik dimensi kata

Tuhan,…jikalau katakata-Mu tak kan habis walau dituliskan dengan tinta air laut yang maha luas,
Kami meminta ilham sedikit katakata-Mu
Untuk mewujudkan perdamaian dan kasih sayang
Amin.
(Gerbangtiga, Akhir Ramadhan 1428 H)

Baca Selanjutnya...!...

"Karena Kini Ada Kamu"


Kabut malu hempas di sana
Pekatnya tak lagi jahat
Hitamnya tak lagi gelap
Aromanya tak lagi hembuskan kesedihan
Redupnya tinggal kiasan

Nampaknya ia sungkan
Mungkin tak punya nyali
Ada yang tak biasa
Taukah ia mengapa?

Badai itu kirimkan kata
Ia tak kunjung kuasa
Dayanya tak lagi karsa
Congkaknya tak lagi perkasa
Auranya tinggallah hampa

Nampaknya ia takut
Mungkin pula tak berani
Ada yang beda
Taukah ia mengapa?

Karena kini ada kamu
Santunmu hapus pekatnya
Putihmu sirnakan gelapnya
Cahayamu nyala terang pancarkan arti hadirmu

Karena kini ada kamu
Kekuatanmu hadirkan damai tuk sejukkan hati semesta
Rendah hatimu cerminan luhur pekerti sarat makna
Keceriaanmu semerbakkan harum tulus hatimu

Karena kini ada kamu
Kamu…

Puisi titipan by:Exan

Baca Selanjutnya...!...