Cerita Idul Adha di Negeri Musa

Thursday, December 20, 2007

Senin (17/12) sore aku baru ngeh kalo hari raya Qurban tahun ini jatuh pada hari Kamis (19/12), setelah aku membuka pengumuman dari KBRI Kairo yang disebar-luaskan lewat millist. Yah, udah kelewatan deh hari Tarwiyahnya, so, cuma bisa melaksanakan puasa hari Arafahnya saja (18/12). Tak apalah, masih mending bisa puasa Arafah. Alhamdulillah. H-1 lebaran, suasana Kairo -khususnya di kawasan Hay ‘Asyir dimana kebanyakan mahasiswa Indonesia tinggal-, sudah tampak sepi. Jalan-jalan lengang dan beberapa toko yang biasanya beroperasi siang dan malam sebagian tutup. Sebab, sebagian besar para pedagangnya pulang kampung (mudik) untuk merayakan Idul Adha bersama sanak keluarga. Maka sebagai antisipasi, aku dan beberapa kawan serumah belanja cukup banyak untuk persediaan selama beberapa hari, minimal selama hari Tasyrik.

Berbeda dengan Indonesia, hari raya Idul Adha bagi masyarakat Mesir lebih istimewa daripada Idul Fitri. Suasana idul Fitri di bumi para nabi ini terkesan biasa-biasa saja, sementara di Indonesia, arus mudik masyarakat kota seakan tak pernah berkurang setiap tahunnya, bahkan selalu bertambah dan menyebabkan hiruk-pikuk tak terterhingga. Bagi masyarakat Mesir, yang istimewa bukan terletak pada perayaan hari raya Idul Fitrinya, tapi hari-hari selama bulan Ramadhan yang bagi mereka benar-benar menjadi ladang subur untuk beramal. Kalau melihat ke Indonesia, boleh dibilang yang terjadi adalah sebaliknya?!

Kembali membincang suasana Idul Adha di negeri Musa, usai melaksanakan ibadah sholat Ied, yang aku dapati adalah sepi, sunyi dan senyap. (Ya tentu saja, lha wong akunya cuma diam di rumah..!hiks..). Namun ketika aku beranjak beberapa langkah saja dari rumah, atau bahkan memanfaatkan angkutan transportasi yang masih beroperasi untuk jalan-jalan sekenanya mengikuti laju angkutan, yang ada adalah darah dimana-mana. Bahkan terkadang, bercak-bercak darah itu nyasar ke mobil-mobil. Orang Mesir memang terkenal jorok dan sembarangan. Menyembelih hewan kurban di pinggir-pinggir jalan semaunya. (ya mungkin karena sudah tidak ada lahan lain kalie..). Bahkan jika kebetulan ada air selokan (emang ada selokan di Mesir?) yang meluap ke jalan-jalan, warnanya berubah merah. Hari pertama hanya aku habiskan di rumah (boring banget yahh, mending kalo di rumahnya sambil nyate! Lha ini, ughh,..garing bangett!).

Hari kedua pagi aku masih di rumah. Bangun agak telat, jam 07.00. Untuk ukuran musim dingin jam segitu masih pagi banget kok! (Apologi..hehe). Namun untuk mengisi hari ini telah ada beberapa jadwal yang menanti; yaitu ngambil daging dari Muqattam, rumah Syeih Muhammad Khalid Tsabit -untuk dibagikan ke kawan-kawan Hadrah- habis Dzuhur, lalu jam 4 sorenya ada undangan ngisi Rebbana/Sholawatan pada acara Tasyakuran Renovasi Wisma Nusantara di Rab’ah bersama kawan-kawan an-Nahdlah (nama grup Hadrah asuhan Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir).

Ah...pagi yang sepi. Tiba-tiba suntuk menghapiriku. Tak tau mengapa. Aku buka jendela kamarku, kupasang kedua mataku yang tak lagi ngantuk untuk menelisik kondisi sekitar. Ohh...lengang....! Sepi, sepi dan sendiri aku benci. Kawan-kawan serumah tak tau entah sedang beraktifitas apa. Pintu kamarku masih tertutup. Tapi kayaknya mereka pada belajar, sebab ujian semakin dekat. Aku bosan. Mau belajar, lagi nggak mood. Ahh...tapi aku paksa untuk membuka-buka diktat. Suntuk mesih saja menghantui. Mungkin ini pengaruh dari mimpiku semalam?. Yang membuatku semakin merindu dengan suasana tanah air, keluarga, demikian juga kekasih!. Ahh..aku putuskan untuk mengirimkan sms ke keluarga. Aku bilang ke mereka dalam nada canda: “Halo,Assalamu’alaikum.wah,lg pd nyate nih critanya?hehe.enak dunk!kirimin kMesir dong,haha(brcnda)Msak hr raya idul Adha pun ga mrskn dging,ihik,ihik”. Childish banget ya..! Biarin...Duobrak..! dan...aku menanti sebuah balasan, tapi, kosong! Tak ada tanggapan, semakin sedih aku sendiri mengeja sunyi

Suasana sepi yang bembalut Kairo bertambah sunyi ketika hujan rintik-rintik membasuh buminya. Hanya sebentar. Di Mesir emang jarang-jarang hujan. Pantesan aja kalo sekali turun hujan seakan masyarakatnya begitu senang. “Ini adalah berkah dari Tuhan”. Hingga siang, sampai adzan Dzuhur berkumandang, rintik hujan kembali berjatuhan dari langit yang mendung sedari pagi. Ughh...semakin dingiin. Sembari mengisi kekosongan dan menghibur hati yang sedang merindu, iseng-iseng aku nyalakan komputer bututku lalu menulis puisi:

Sepi di Idul Adha

Kubuka jendela pagi
aku terkesima
menyaksikan alam yang begitu sepi.
Kutatapi bangunan Masjid bercorak merah bata
Di bebalik pintunya yang masih terbuka separo
ada beberapa orang melakukan percakapan berjubah coklat tua
itu baju kebesaran mereka di musim dingin
lalu masing-masing berjalan ke arah kubus-kubus yang berdiri kokoh
lalu lengang kembali datang.

Bagiku udara pagi ini tidak sebegitu dingin
angin yang datang memasuki ruang kamar juga tenang, sepoi
tidak seperti biasa yang suka tak sopan menggedor, bahkan menerobos
menerbangkan kertas-kertas, membawa debu, pasir.
Namun desir hatiku pagi ini sebegitu kencang
rongga dadaku dingin dihinggapi rindu.

Kesunyian alam seakan menyelinap!
aku termangu tak berdaya
dirajam perasaan dalam penjara kesendirian
Mimpi demi mimpi yang mengabarkan kebersamaan
justru menambah getir
karena yang maya tak lebih fatamorgana.

Dan aku semakin merindu
ditingkahi mimpi yang menghadirkan bayangmu
dalam malam-malamku yang tak lagi putih.

Dan pagi ini,
tatkala kubuka jendela kamarku
aku mendapati sepi yang tak biasa
di hari Idul Adha yang menyiratkan semangat berkorban
maka aku menenangkan diriku
dengan sejenak melakukan penghayatan
bahwa hidup adalah pengorbanan;
lebih baik berkorban penuh lapang
daripada terpasung dalam diam,
menggerutui nasib yang belum terbayang!?.[]

(Mutsallas, 20 Des 2007, 11 Dzulhijjah 1428 H)

0 Komentar: