DI BAWAH BAYANG-BAYANG; Potret Jauh Sebuah Civitas Akademika*

Friday, February 29, 2008


Oleh: M. Luthfi al-Badi’ie**

Saat ini Masisir tengah dihadapkan pada sebuah babak baru. Babak baru ini setidaknya ditandai oleh beberapa hal yang baru pula. Pertama; kedatangan Dubes baru, kedua; kedatangan mahasiswa baru, ketiga; munculnya beberapa kebijakan baru, baik dari pihak KBRI maupun pemerintah setempat, keempat; maraknya berbagai masalah baru, mulai dari krisis identitas (baca: identitas Masisir yang mulai pudar) hingga kasus-kasus kriminalitas yang menimpa Masisir dalam beberapa bulan terakhir ini.

Sebagaimana yang telah jamak diketahui bahwa, kursi Duta Besar RI untuk Mesir sempat mengalami masa vakum selama kurang lebih 2 tahun, yaitu terhitung sejak 2005 akhir hingga 2007 akhir. Selama masa kekosongan ini ternyata cukup berpengaruh terhadap proses birokrasi maupun arah kebijakan; baik antara Masisir-KBRI, antara KBRI-pemerintah Mesir, dan atau antara pemerintah Mesir–Masisir. Yang terasa sejauh ini adalah, bahwa implikasi kekosongan itu berimbas pada citra Indonesia di mata Mesir yang semakin pudar (baca: hubungan bilateral dua negara yang kurang sinergis), yang pada level tertentu hal itu berefek pada turunnya kemaslahatan Masisir dalam berbagai ijro’at.

Semacam ada perasaan dongkol yang menyeruak hebat ke dalam benak ketika menyaksikan martabat bangsa diinjak-injak. Walaupun hal itu terjadi secara tidak langsung memang, namun tak tau entah mengapa kesan diremehkan itu justru terasa secara langsung dan reflektif merespon berbagai ketimpangan yang ada. Taruh saja saat ini “kita” seakan masih dipandang sebelah mata oleh Mesir. Beberapa kasus kecil yang memicu rasa dongkol itu antara lain tercermin dalam proses ijro’at Visa di kantor imigrasi Mesir (Cab. Madinat Bu’us khususnya) maupun penanganan kasus kriminalitas yang kurang sigap dari pihak yang berwajib. Ketika hari Sabtu jadwal pengurusan Visa itu berbarengan dengan mahasiswa Malaysia, mahasiswa Indonesia diakhirkan. Dan ketika hari Senin berbarengan dengan mahasiswa Rusia, mahasiswa Indonesiapun dibelakangkan; kenapa bisa seperti itu? Tatkala kondisi keamanan semakin memburuk, pantaskah jika kita (sebagai tamu di negeri orang) melakukan patroli maupun ronda sendiri berbondong-bondong bak pasukan jihad mau menangkap para musuhnya? Lalu dari situ apa kata dunia ketika kita yang notabenenya hanya penuntut ilmu justru terpaksa atau dipaksa menenteng “senjata” kemana-mana untuk berjaga-jaga, bagaimana perasaan anda?

Hipotesa yang mungkin masih sangat prematur di atas tentu saja bukan bermaksud untuk mencari kambing hitam terhadap berbagai permasalahan yang muncul selanjutnya. Namun lebih kepada bagaimana kita melakukan otokritik yang membangun sehingga dari situ kita bisa melakukan perbaikan. Dengan kedatangan Dubes baru rasa rindu Masisir terhadap kehadiran seorang pengayom di negeri rantau ini sedikit terobati. Masalah demi masalah, kasus demi kasus telah mulai mendapat titik cerah solusi. Kedatangan Maba yang secara merata mundur bisa segera teratasi ketika sesosok Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh melancarkan komunikasi dari berbagai arah. “Mesir” sedikit demi sedikit mulai membuka matanya yang lain setelah sebelumnya mereka tutup rapat menatap acuh dan sinis terhadap ”kita”.

“Dubes doyan akademis”. Begitulah salah satu media Masisir (baca: Arus Kampus) mengusung sebuah jargon dalam rubrik wawancaranya. Iya, setiap Dubes yang pernah “bertahta” di negeri Musa ini tentunya mempunya kecenderungan masing-masing. Nah, Dubes kita kali ini kebetulan mempunyai kecenderungan yang sangat besar dalam mengentaskan keterpurukan Masisir dalam bidang akademis. Siapa coba yang tak prihatin melihat kuantitas yang tak sebanding dengan kualitas? Semakin derasnya arus kedatangan mahasiswa Indonesia ke Mesir sejak tahun 2004 yang mencapai angka 1000 lebih per tahun ternyata justru menimbulkan berbagai efek negatif. Sesuai data yang kami peroleh dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, bahwa prosentase kegagalan Masisir pada Tahun Ajaran 2005/2006 lebih besar (53%) ketimbang yang lulus (47%). Namun pada tahun 2006/2007, alhamdulillah kurva kelulusan Masisir sedikit meningkat dan lebih besar (55%) ketimbang yang gagal (45%). Walaupun angka kenaikan itu hanya mencapai 8%, namun setidaknya hal itu bisa menjadi indikasi mulai bangkitnya kembali gairah belajar Masisir. Benarkah demikian?

Melihat kondisi yang cukup parah ini berbagai langkah menuju perbaikan ditempuh oleh sang Dubes. Di antaranya adalah sebuah ide besar untuk menyelenggarakan Lokakarya yang akan mengumpulkan seruluh Stakeholders (pemangku kebijakan) guna membincang ihwal Masisir beserta hal-hal apa saja yang bisa mereka cetuskan untuk memperbaiki kualitas SDM Masisir. Telah sejak lama ide itu muncul dan berbagai langkah untuk merealisasikannya telah ditempuh. Namun hingga saat ini berbagai pro dan kontra justru muncul dari pihak Masisir itu sendiri, antara yang setuju agenda itu dilaksanakan atau tidak. Yang jelas, sampai detik dimana tulisan ini tercatat, pihak KBRI melalui PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) masih terus melakukan komunikasi dengan pihak mahasiswa terkait pelaksanaan agenda ini yang rencananya akan digelar 12-13 April mendatang.

Setelah beberapa saat mencoba meraba dan membaca kondisi mutakhir dari “gedung putih”, kini saatnya kita membaca kondisi Masisir secara umum. Masih banyak yang terlelapkah, atau justru bermunculan berbagai gejolak di benak mereka(semacam rasa ingin berontak), atau justru terdiam di rumah ketakutan pasrah terhadap kondisi lingkungan yang semakin mencekam?

Terlelapkah? Mungkin iya, masih banyak yang acuh atau sudah tahu tapi tak mau tahu terhadap kondisi dirinya sendiri yang sebenarnya masih jauh dari sifat pantas untuk disebut sebagai seorang akademisi. Dengan demikian mereka tidak ambil pusing memikirkan dirinya sehingga tetap menjalani hidup sebagaimana “masyarakat purba”, hanya makan-minum, bermain-tidur, memenuhi kebutuhan biologis, belajar dengan sangat sederhana, hanya ruang-ruang tertentu itu saja yang mereka kunjungi, hanya aktifitas itu-itu saja yang mereka lakukan.

Bergejolakkah? Sebagai kaum “dewasa” yang berfikir tentu saja banyak gejolak yang muncul merespon berbagai hal baru di sekitarnya. Antara lain seperti yang telah tertulis di atas, yaitu munculnya pro dan kontra atas “niat agung” penyelenggaraan lokakarya stake-holders. Lalu riak-riak lainnya juga muncul merespon kebijakan mulia Dubes yang seakan memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan, akademis, kampus, kuliah, ujian, dengan seakan melupakan bahwa kreatifitas manusia itu bermacam-macam dan sangat beragam. Seni-budaya, olah raga, dan hal-hal lain di luar muqarrar dan kampus seakan dikesampingkan. Apakah hidup dan dunia ini sesederhana itu? Justru yang mereka rasakan adalah proses peninabobokan dan dianggap masih seperti anak kecil yang harus dituntun terus menerus. Catatan; “niat baik tidak selalu diterima dengan baik pula”. Karena baik menurut seseorang belum tentu baik menurut orang lian. Terbuktikah?

Terdiamkah? Iya mungkin ada yang diam saja, tapi ada juga yang selalu ingin bergerak entah dengan daya apa karena dilandasi sebuah keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Nah, terlepas dari segala lika-liku kehidupan di atas, beberapa pertanyaan besar yang patut diindahkan oleh setiap elemen adalah: “bagaimanakah kualitas hidup kita? Apakah kita telah menjalani kurnia hidup ini secara optimal? Sebagai seorang ulil amri bagaimana? Dan sebagai seorang pelajar juga bagaimana? Apakah lingkungan kita telah mencerminkan lingkungan para akademisi; kampus, majelis diskusi, perpustakaan, kamar belajar? Atau tak lebih hanya medan kebebasan total yang menawarkan sejuta kenikmatan hidup tapi sebenarnya hampa?

Alhasil, pertanyaan-pertanyaan itulah yang hingga kini membayangi Masisir. Masisir sedang berdiri di bawah bayang-bayang ketakutan, bayang ketidakjelasan masa depan, bayang tuntutan survive dan sukses, yang sebenarnya banyangan itu ada karena mereka sendiri yang menciptakan?. Masih tetap ada berbagai usaha yang akan dan bisa ditempuh. Bukan hanya dari pihak stakeholders, tapi dari para grassroot yang sadarpun akar turut berperan dalam proses perbaikan citra maupun kualitas yang diharapkan. Walaupun sketsa yang ada saat ini masih sangat jauh dari nilai kepantasan, namun potret yang lebih baik akan bisa dihasilkan dengan meneguhkan kesadaran akan pentingnya meningkatkan kualitas hidup; dalam belajar, dalam bermasyarakat. Karena manusia adalah tercipta lemah, maka ia membutuhkan orang lain untuk dapat bersinergi.Wallahu a’lam![]

*) Tulisan ini telah dimuat di Buletin Prestâsi Kelompok Studi Walisongo edisi 77 Februari 2008.
**) Mahasiswa tk. 3 Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir, Wartawan ndal-ndul, Santri Afkar for Aufklarung, Ketua Misykati.

Picture taken from: http://cefil19.blogspot.com/2007_11_01_archive.html

Baca Selanjutnya...!...

Muhadharah dan Muqarrar Saja Tidak Cukup; Menyoal Paradigma Belajar Masisir*

Wednesday, February 27, 2008


Usai melewati sebuah “madrasah kecil” bernama Ramadhan, Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kini dihadapkan pada sebuah babak baru dengan dibukanya pintu-pintu “madrasah besar”; kampus al-Azhar dengan masing-masing fakultas dan jurusannya. Walaupun ungkapan ini masih debateble karena sesungguhnya muhadharah telah dimulai sejak bulan Ramadhan, tapi nampaknya sebagian Masisir masih terlelap dengan libur panjangnya hingga lupa kapan waktu kembali ke kuliah. Apalagi di bulan puasa yang masih dinaungi udara panas, pada hari-hari biasa pun masih sangat minim Masisir yang berangkat kuliah. Hal ini tentu telah menjadi rahasia umum yang tak perlu ditutup-tutupi lagi.

Problem klasik tetap saja menjadi momok jika tak segera mendapatkan perhatian dan solusi. Lesunya gairah pergi ke kuliah untuk menghadiri muhadharah tampak telah menjangkiti sebagian besar Masisir. Tapi apakah benar bahwa faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan studi Masisir terletak pada “muhadharah”? Sependek pengamatan penulis, persoalan apakah mau berangkat kuliah atau tidak sebenarnya bukanlah faktor inti penyebab turunnya kualitas SDM Masisir. Namun yang lebih mendasar dari itu, dan yang patut kita fikirkan bersama, bahwa dekadensi prestasi ataupun rendahnya gairah intelektual yang terjadi justru terkembali pada minimnya kesadaran Masisir akan pentingnya ilmu dan belajar.

Negara Mesir, bagi seorang pecinta ilmu tentu akan menjadi samudera literatur yang tak kunjung habis walau diselami sepanjang hayat. Kekayaan khazanah keilmuan yang terkandung di bumi para nabi ini laksana lumbung padi yang menyediakan segudang cadangan makanan. Tentunya bukan makanan perut, namun vitamin bagi otak yang berfungsi mengisi ruang nalar dan fikiran. Lain halnya jika Mesir dilihat dari perspektif [maaf] “para pemalas”. Sebut saja sebuah jargon yang cukup familiar di telinga kita; “al-Qâhirah, in lam taqharha qaharatka. Dari sini mari sejenak kita merenungkan, betapa naif dan memalukan jika kepergian kita yang jauh dari kampung halaman hanya untuk bermalasan dan pasrah dengan keadaan. Lalu jika kenyataannya Kairo tidak se-bersih, se-rapi, se-tertib, se-nyaman, se-kondusif atau se-se lain yang kita bayangkan, kenapa kita tidak mencoba “memberontak” dan “melawan” keadaan? Setidaknya kita tidak lantas menyerah begitu saja!.

Ya, setiap “pernyataan” hati itu memang sudah kita hafal bahkan mengendap dalam benak. Namun sayangnya, sebuah kesadaran tidak cukup bermanfaat jika tak diaplikasikan dalam tindakan nyata. Mesir memang beginilah keadaannya, sebagaimana yang kita lihat secara nyata. Di samping segudang kelebihannya, tak jarang pula kita temukan setumpuk keanehan dan kejanggalan. Namun apa boleh dikata; ibarat mau berjuang, kita telah berada dalam medan perang. Mau lari meninggalkan medan untuk kembali ngumpet di sarang, tentu memalukan dan pengecut. Sementara mau maju, musuh terlihat begitu kuat, rintangan menakutkan dan berbagai aral siap melintang. Kehidupan kita di negeri kinanah ini adalah dunia konflik itu sendiri, medan perang itu sendiri. Maka jika ingin menjadi pejuang sejati, tentu harus sabar dan bijak dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian.

Transportasi yang sulit, lalu lintas yang ruwet, lokasi kampus yang jauh dari tempat tinggal, kurikulum pengajaran yang tradisional, sistem administrasi yang manual, birokrasi yang ribet, adalah sederet musuh atau virus yang setiap saat bisa melemahkan sendi-sendi semangat kita. Dalam kondisi yang seperti ini, kita dihadapkan pada dua pilihan; apakah akan bangkit dan bergerak “melawan” semua itu, atau diam pasrah berpangku tangan?

Lingkungan, dalam konteks pembelajaran memang menempati peran penting dalam menentukan keberhasilan atau gegagalan seorang murid. Lingkungan yang kondusif dan bisa diajak kompromi akan mendukung keberhasilan belajar. Sementara lingkungan yang carut-marut tak teratur akan menghalangi dan menghambat proses belajar. Namun jika yang kita hadapi saat ini adalah justru kondisi yang kedua, apakah benar proses belajar kita akan terganggu? Menurut hemat penulis, jeleknya lingkungan sedikit banyak memang berpengaruh negatif dalam proses belajar. Namun tidak menutup kemungkinan, kita juga akan berhasil melakukan sebuah pembelajaran di lingkungan yang buruk. Karena hal paling utama penentu keberhasilan seseorang adalah sejauh mana ia mampu memenej diri dan arif dalam bersikap. Sebut saja Imam Abu Hanifah, Imam Ibnu Hanbal, Imam Ghozali, Ibnu Sina, Sayyid Qutb, Yusuf al-Qardhawi, Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (Prof. Dr. Hamka) adalah sederet nama-nama ulama` terkemuka Islam yang pernah merasakan pengap dan sesaknya hidup di penjara. Namun siapa yang tak mengakui jasa mereka? Hingga saat ini nama mereka masih harum semerbak melalui berbagai magnum-opus yang menghiasi khazanah keilmuan dunia. Siapa yang menyangka, bahwa di balik terali-terali besi itulah mereka menelorkan berbagai karya. Dengan ini terbukti, bahwa buruknya kondisi yang menghimpit seseorang belum tentu menghalanginya untuk tetap berkarya.

Andrias Harefa, seorang penulis prolifik yang mendedikasikan hidupnya dalam bidang pembelajaran, kepemimpinan dan kewirausahaan pernah menulis dalam sebuah buku berjudul “Mengasah Paradigma Pembelajar” bahwa; “Jika kita memahami mengapa kita harus belajar, maka kita dapat belajar dalam situasi apapun”. Sebuah ungkapan singkat yang sarat makna. Setiap manusia yang lahir ke dunia sesuai fitrahnya membawa potensi masing-masing. Terlebih jika kita mampu memahami bahwa kita terlahir sebagai makhluk pembelajar (learning being), maka kita akan senantiasa bisa melakukan proses belajar dalam konteks “sekolah kehidupan”. Mampu tidaknya kita untuk melakukan pembelajaran dalam segala situasi dan kondisi yang kita hadapi adalah ditentukan oleh sejauh mana pemahaman kita terhadap makna belajar.

Belajar, dalam pemaknaan yang lebih luas tentunya terlalu mahal jika hanya dikaitkan dengan dunia persekolahan saja, lembaga formal saja. Padahal secara mendasar, belajar adalah proses “humanisasi”, pemanusiawian manusia. Maka proses belajar itu akan lebih tepat jika kita korelasikan dengan “sekolah kehidupan”, sebuah lembaga informal yang diciptakan Tuhan untuk mengaktualisasikan potensi diri. Dengan demikian, titik capai yang nantinya akan kita tuju dalam proses pembelajaran adalah untuk berkembang dan bermetamorfosis menjadi yang terbaik dari diri kita sendiri. Yakni menjadi mahluk bio-psiko-sosio-spiritual ciptaan Tuhan.

Berangkat dari beberapa deskripsi di atas, Masisir yang notabenenya adalah thâ`ifah dari sebuah firqah bernama Indonesia, memikul tanggung jawab menuntut ilmu agama di negeri kinanah ini. Sebuah tanggung jawab berat karena harus diemban dengan penuh perjuangan dan rintangan. Sebagaimana yang telah jamak diketahui, bahwa suasana tidaklah tercipta dengan sendirinya. Namun harus diciptakan dengan segenap usaha. Kondisi lingkungan Mesir secara umum dan al-Azhar secara khusus yang [agak] tidak kondusif untuk kuliah, mengikuti muhadharah setiap hari, sebaiknya kita sikapi dengan mencari alternatif forum-forum pembelajaran lain. Dengan adanya berbagai organisasi yang multi-orientasi, kita bisa memanfaatkannya sebagai partner of study. Yaitu wahana untuk menunjang proses belajar kita di luar sekat-sekat tembok perkuliahan.

Dengan hanya mengikuti muhadharah setiap hari, tentu belum cukup untuk membentuk seseorang menjadi insan paripurna yang sholih pribadi dan sosial. Hanya dengan membaca muqarrar juga belum mampu mengantarkan seseorang pada pemahaman kamil akan ilmu pengetahuan yang maha luas. Namun dengan senantiasa melakukan tajdîd niyyat sekaligus tajdîd al-mafâhim kita akan memulai babak baru dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai hamba yang dibekali otak oleh Tuhannya untuk berfikir. Tanggung jawab sebagai makhluk pembelajar yang akan senantiasa mampu belajar dalam segala situasi dan kondisi. Apakah anda setuju?? Selamat belajar dan selamat memasuki “sekolah kehidupan”![]

oleh: M. Luthfi al-Anshori (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Universitas al-Azhar Kairo, santri Afkâr Institute for Aufklarung (AIA) PCINU Mesir).

Picture taken from: http://www.library.ex.ac.uk
*Tulisan ini telah dimuat di buletin Prestasi KSW Edisi 77 Oktober 2007

Baca Selanjutnya...!...

Musim Dingin Memuncak; Mesir Semakin Mencekam

Friday, February 01, 2008


Serasa Fir’aun kembali datang membawa titah setan menggoncang ketentraman. Ia yang telah lama mati seakan pergi menyisakan benci. Bumi para nabi kini kembali ternodai. Barangkali yang tersisa hanya sejarah. Kemegahan Mesir dengan segala kekayaan peradabannya. Keberanian Musa beserta para pengikutnya menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Tatkala bayi laki-laki lahir disembelih dan yang perempuan dibiarkan hidup untuk dihina dan dicaci. Betapa beribu hati menangis darah menyaksikan kebiadaban itu. Namun mereka tak punya kuasa untuk melawan. Yang ada hanya air mata para ibu melihat darah dagingnya dikorbankan akibat keserakahan. Tuhan Maha Adil dan Bijaksana. Janji-Nya untuk mengangkat derajat para hamba yang sebelumnya ditindas telah betul ditepati. Kaum tertindas itu lalu mewarisi bumi (baca: QS. Al-Qashash: 5). Dan Fir’aun beserta para budaknya tenggelam dilumat gelombang.

Sejak itu sejarah baru mulai terukir. Bumi yang banyak dijejaki telapak suci para nabi memancarkan barokahnya. Pusat peradaban, gudang ilmu, tempat di mana manusia dari berbagai penjuru hilir-mudik mengaisi bias-bias sinarnya. Mereka mendatanginya berharap memperoleh pencerahan. Lalu memboyongnya ke tanah air masing-masing untuk ditularkan kepada sanak-saudara, kerabat dan masyarakat. Ya, dan hingga kini aura itu masih sebegitu dahsyat memikat hati para pecinta ilmu. Daya magnit yang melekati kutub-kutubnya masih amat kuat menariki minat para penjelajah.

Dan sehingga aku sendiripun turut hanyut dalam pikat rayuannya. Diriku tertarik daya magnitnya hingga terdampar di antara dua kutubnya. Ooohh ... Musa - Fir’aun, Harun - Samiri, Zulaikha – Cleopatra, Sorga – Neraka. Aku berada di bumi mereka semua. Aku berdiri di antara bayang sejarah mereka semua. Inikah warisan mereka semua?. Semuanya lestari bak kokohnya Piramida. Yang baik lestari, yang buruk apalagi. Jelmaan Musa, Harun, Yusuf, Sholih, Khidzir tercerminkan dalam kearifan ‘Alim ‘Ulamanya. Dan Fir’aun, Samiri beserta seluruh hawarinya masih mengilhami sebagian penduduknya. Kerakusan dan ketamakan mereka menurun di benak sebagian penguasa. Penyiksaan, penganiayaan, ketidakadilan, fitnah, dengki, menjadi bumbu sehari-hari dalam aktifitas penduduk pribumi.
…… ◊□◊ ……

Kini musim dingin semakin dingin. Gerimis dan kabut tak jarang menyelimuti hari. Gelap sedari pagi hingga petang. Sinar matahari tak sampai ke bumi. Apalagi malam. Jalan-jalan sepi dan lengang. Dan dalam kegelapan semua yang buruk mulai terjadi. Kasus demi kasus terjadi secara bergantian dengan motif yang berbeda-beda. Pencopetan, pencurian, penodongan, perampokan dan teror terjadi silih berganti. Terkadang satu minggu sekali, terkadang setiap hari. Tidak pagi, tidak siang, tidak petang, tidak tengah malam. Kejadian demi kejadian yang menjadikan suasana semakin mencekam. Korban demi korban yang menambah kegusaran hati dan kekacauan fikiran. Karena kebanyakan mereka adalah mahasiswa asing, terlebih mahasiswa Indonesia. Saudara sebangsa dan setanah air.

Menurut beberapa informasi yang sempat tercatat, baik yang aku dengar melalui kabar atau yang aku saksikan secara langsung, dalam beberapa waktu terakhir ini minimal ada 7 hingga sepuluh kasis yang menimpa mahasiswa Indonesia di Mesir. Pertama aku mencatat bahwa pada hari Kamis (17/1/08), apartemen kontrakan sejumlah mahasiswi Indonesia (Tepatnya di Swessri B Building 94 lantai dasar) sengaja dibakar oleh sekelompok pemuda Mesir (yang belum jelas motifnya apa) pada sekitar pukul 23.00 CLT. Namun untungnya kebakaran itu baru sampai pada bagian balkon belakang hingga akhirnya salah seorang mereka terbangun dan melihat kebakaran itu lalu mereka memadamkannya.

Kedua, belum genap satu minggu, pada tanggal (23/1/08) kontrakan sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di lantai 3 apartemen di kawasan Bawwabah 2 Hay Asyir, yang kebetulan adalah sekretariat Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Mesir kemalingan 5 ponsel beserta sejumlah uang pada tengah malam antara pukul 01.00 – 02.00 CLT. Sementara beberapa waktu sebelumnya, sekretariat Senat Fakultas Syari’ah wal Qanun yang terletak di Kawasan Gami’ juga sempat kebobolan.

Ketiga, tepat satu minggu setelah kasus pertama di atas, yaitu pada hari Kamis (24/1/08) kontrakan mahasiswi Indonesia yang sama (pada kasus pertama) kembali mendapatkan teror sekitar pukul 20.00 CLT, yaitu kaca jendela dapur mereka dilempar dengan baru selama beberapa kali sehingga pecah. Keempat, pada malam selanjutnya (25/1/08) kaca jendela dapur mereka terpaksa semakin hancur setelah dilempar lagi dengan batu. Kelima, dan malam selanjutnya pun (26/1/08) kebakaran kembali terjadi di kontrakan yang sama, yaitu di area balkon (seperti kasus pertama) pada sekitar pukul 18.30 CLT yang dilakukan oleh sekelompok pemuda Mesir (yang sekali lagi belum jelas motif mereka). Maka pada malam itu juga (26/1/08), atas kesepakatan bersama antara Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir beserta anggota rumah kontrakan itu, mereka segera pindah berpencar dan meninggalkan rumah itu mengingat kondisi keamanan yang semakin membahayakan dan tidak bisa dikontrol.

Keenam, masih pada malam yang sama (26/1/08), Presiden PPMI beserta Wakilnya dan dua anggota Dewan Keamanan dan Ketertiban Mahasiswa (DKKM-PPMI) mencoba mencari keterangan tentang kemungkinan pelaku teror itu kepada beberapa pemuda Mesir yang saat itu sedang nongkrong-nongkrong di area sekitar apartemen. Selidik punya selidik, ternyata mereka adalah para penadah narkoba yang ditubuhnya terselip benda tajam. Presiden beserta beberapa kawannya tetap mencoba mendekati mereka untuk mencari informasi dengan dalih ingin melakukan transaksi. Namun sayangnya mereka seakan mencium gelagat itu dan akhirnya justru memancing Presiden beserta beberapa kawannya menuju ke sebuah lokasi sepi yang berada agak jauh dari apartemen kejadian kebakaran. Dan di sana Presiden beserta beberapa kawannya tadi justru dikeroyok dan dipukuli oleh gerombolan mereka yang berjumlah lebih dari 20 orang hingga ada yang babak belur.

Ketujuh, pada hari Ahad malam (27/1/08) aksi penodongan kembali terjadi di daerah sekitar Suq Sayyarat (Pasar Mobil) Hay Asyir pada salah seorang mahasiswa Indonesia. Ia ditodong dengan pisau dan dipaksa untuk menyerahkan sejumlah uang dan ponselnya. Namun karena kebetulan ia bisa silat, ketika sedang digeledah ia berhasil melawan hingga pemuda Mesir tadi terjatuh kemudian ia lari mencari bantuan. Setelah mendatangi sekretariat DKKM, ia berencana untuk kembali ke lokasi kejadia dengan seorang kawan yang di belakang mereka sudah bersiap beberapa mahasiswa Indonesia lainnya. Ternyata pemuda Mesir yang tadi menodongnya masih nekad juga untuk melancarkan aksi kedua kalinya. Walhasil ketika ia mau menodong lagi, beberapa mahasiswa Indonesia telah siap dan langsung menangkapnya hingga akhirnya kasus ini ditangani oleh pihak kepolisian Mesir.

Singkat cerita, selama beberapa bulan terakhir ini Kairo (khususnya kawasan Hay Asyir, Nasr City) emmang cukup rawan. Dan sebetulnya sederet kejadian lainnya juga telah terjadi berulang kali sebelum bulan Januari. Maka dari itu, berbagai pihak termasuk PPMI dan KBRI Kairo terus menyerukan untuk selalu waspada kapan pun dan dimanapun berada. Dari beberapa kejadian ini tentunya cukup berpengaruh pada iklim belajar Mahasiswa Indonesia Mesir (Masisir) yang semakin tidak aman dan nyaman. Namun kita semua berharap dan berdo’a, semoga kasus-kasus itu dapak segera terselesaikan dan keadaan kembali normal. Tentunya dengan adanya kerjasama yang baik antara berbagai pihak yang berwenang dalam hal ini. ”Ternyata, watak-watak Fir’aun masih juga turun temurun dan diwarisi oleh beberapa penduduk bumi piramida. Maka semoga dengan masih bermunculannya Fir’aun-fir’aun baru, tetap akan bermunculan pula Musa-Musa baru yang mampu menaklukkannya. Amiin!”.[]
_Kairo, 28 Januari 2008_

Baca Selanjutnya...!...