DI BAWAH BAYANG-BAYANG; Potret Jauh Sebuah Civitas Akademika*

Friday, February 29, 2008


Oleh: M. Luthfi al-Badi’ie**

Saat ini Masisir tengah dihadapkan pada sebuah babak baru. Babak baru ini setidaknya ditandai oleh beberapa hal yang baru pula. Pertama; kedatangan Dubes baru, kedua; kedatangan mahasiswa baru, ketiga; munculnya beberapa kebijakan baru, baik dari pihak KBRI maupun pemerintah setempat, keempat; maraknya berbagai masalah baru, mulai dari krisis identitas (baca: identitas Masisir yang mulai pudar) hingga kasus-kasus kriminalitas yang menimpa Masisir dalam beberapa bulan terakhir ini.

Sebagaimana yang telah jamak diketahui bahwa, kursi Duta Besar RI untuk Mesir sempat mengalami masa vakum selama kurang lebih 2 tahun, yaitu terhitung sejak 2005 akhir hingga 2007 akhir. Selama masa kekosongan ini ternyata cukup berpengaruh terhadap proses birokrasi maupun arah kebijakan; baik antara Masisir-KBRI, antara KBRI-pemerintah Mesir, dan atau antara pemerintah Mesir–Masisir. Yang terasa sejauh ini adalah, bahwa implikasi kekosongan itu berimbas pada citra Indonesia di mata Mesir yang semakin pudar (baca: hubungan bilateral dua negara yang kurang sinergis), yang pada level tertentu hal itu berefek pada turunnya kemaslahatan Masisir dalam berbagai ijro’at.

Semacam ada perasaan dongkol yang menyeruak hebat ke dalam benak ketika menyaksikan martabat bangsa diinjak-injak. Walaupun hal itu terjadi secara tidak langsung memang, namun tak tau entah mengapa kesan diremehkan itu justru terasa secara langsung dan reflektif merespon berbagai ketimpangan yang ada. Taruh saja saat ini “kita” seakan masih dipandang sebelah mata oleh Mesir. Beberapa kasus kecil yang memicu rasa dongkol itu antara lain tercermin dalam proses ijro’at Visa di kantor imigrasi Mesir (Cab. Madinat Bu’us khususnya) maupun penanganan kasus kriminalitas yang kurang sigap dari pihak yang berwajib. Ketika hari Sabtu jadwal pengurusan Visa itu berbarengan dengan mahasiswa Malaysia, mahasiswa Indonesia diakhirkan. Dan ketika hari Senin berbarengan dengan mahasiswa Rusia, mahasiswa Indonesiapun dibelakangkan; kenapa bisa seperti itu? Tatkala kondisi keamanan semakin memburuk, pantaskah jika kita (sebagai tamu di negeri orang) melakukan patroli maupun ronda sendiri berbondong-bondong bak pasukan jihad mau menangkap para musuhnya? Lalu dari situ apa kata dunia ketika kita yang notabenenya hanya penuntut ilmu justru terpaksa atau dipaksa menenteng “senjata” kemana-mana untuk berjaga-jaga, bagaimana perasaan anda?

Hipotesa yang mungkin masih sangat prematur di atas tentu saja bukan bermaksud untuk mencari kambing hitam terhadap berbagai permasalahan yang muncul selanjutnya. Namun lebih kepada bagaimana kita melakukan otokritik yang membangun sehingga dari situ kita bisa melakukan perbaikan. Dengan kedatangan Dubes baru rasa rindu Masisir terhadap kehadiran seorang pengayom di negeri rantau ini sedikit terobati. Masalah demi masalah, kasus demi kasus telah mulai mendapat titik cerah solusi. Kedatangan Maba yang secara merata mundur bisa segera teratasi ketika sesosok Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh melancarkan komunikasi dari berbagai arah. “Mesir” sedikit demi sedikit mulai membuka matanya yang lain setelah sebelumnya mereka tutup rapat menatap acuh dan sinis terhadap ”kita”.

“Dubes doyan akademis”. Begitulah salah satu media Masisir (baca: Arus Kampus) mengusung sebuah jargon dalam rubrik wawancaranya. Iya, setiap Dubes yang pernah “bertahta” di negeri Musa ini tentunya mempunya kecenderungan masing-masing. Nah, Dubes kita kali ini kebetulan mempunyai kecenderungan yang sangat besar dalam mengentaskan keterpurukan Masisir dalam bidang akademis. Siapa coba yang tak prihatin melihat kuantitas yang tak sebanding dengan kualitas? Semakin derasnya arus kedatangan mahasiswa Indonesia ke Mesir sejak tahun 2004 yang mencapai angka 1000 lebih per tahun ternyata justru menimbulkan berbagai efek negatif. Sesuai data yang kami peroleh dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, bahwa prosentase kegagalan Masisir pada Tahun Ajaran 2005/2006 lebih besar (53%) ketimbang yang lulus (47%). Namun pada tahun 2006/2007, alhamdulillah kurva kelulusan Masisir sedikit meningkat dan lebih besar (55%) ketimbang yang gagal (45%). Walaupun angka kenaikan itu hanya mencapai 8%, namun setidaknya hal itu bisa menjadi indikasi mulai bangkitnya kembali gairah belajar Masisir. Benarkah demikian?

Melihat kondisi yang cukup parah ini berbagai langkah menuju perbaikan ditempuh oleh sang Dubes. Di antaranya adalah sebuah ide besar untuk menyelenggarakan Lokakarya yang akan mengumpulkan seruluh Stakeholders (pemangku kebijakan) guna membincang ihwal Masisir beserta hal-hal apa saja yang bisa mereka cetuskan untuk memperbaiki kualitas SDM Masisir. Telah sejak lama ide itu muncul dan berbagai langkah untuk merealisasikannya telah ditempuh. Namun hingga saat ini berbagai pro dan kontra justru muncul dari pihak Masisir itu sendiri, antara yang setuju agenda itu dilaksanakan atau tidak. Yang jelas, sampai detik dimana tulisan ini tercatat, pihak KBRI melalui PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) masih terus melakukan komunikasi dengan pihak mahasiswa terkait pelaksanaan agenda ini yang rencananya akan digelar 12-13 April mendatang.

Setelah beberapa saat mencoba meraba dan membaca kondisi mutakhir dari “gedung putih”, kini saatnya kita membaca kondisi Masisir secara umum. Masih banyak yang terlelapkah, atau justru bermunculan berbagai gejolak di benak mereka(semacam rasa ingin berontak), atau justru terdiam di rumah ketakutan pasrah terhadap kondisi lingkungan yang semakin mencekam?

Terlelapkah? Mungkin iya, masih banyak yang acuh atau sudah tahu tapi tak mau tahu terhadap kondisi dirinya sendiri yang sebenarnya masih jauh dari sifat pantas untuk disebut sebagai seorang akademisi. Dengan demikian mereka tidak ambil pusing memikirkan dirinya sehingga tetap menjalani hidup sebagaimana “masyarakat purba”, hanya makan-minum, bermain-tidur, memenuhi kebutuhan biologis, belajar dengan sangat sederhana, hanya ruang-ruang tertentu itu saja yang mereka kunjungi, hanya aktifitas itu-itu saja yang mereka lakukan.

Bergejolakkah? Sebagai kaum “dewasa” yang berfikir tentu saja banyak gejolak yang muncul merespon berbagai hal baru di sekitarnya. Antara lain seperti yang telah tertulis di atas, yaitu munculnya pro dan kontra atas “niat agung” penyelenggaraan lokakarya stake-holders. Lalu riak-riak lainnya juga muncul merespon kebijakan mulia Dubes yang seakan memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan, akademis, kampus, kuliah, ujian, dengan seakan melupakan bahwa kreatifitas manusia itu bermacam-macam dan sangat beragam. Seni-budaya, olah raga, dan hal-hal lain di luar muqarrar dan kampus seakan dikesampingkan. Apakah hidup dan dunia ini sesederhana itu? Justru yang mereka rasakan adalah proses peninabobokan dan dianggap masih seperti anak kecil yang harus dituntun terus menerus. Catatan; “niat baik tidak selalu diterima dengan baik pula”. Karena baik menurut seseorang belum tentu baik menurut orang lian. Terbuktikah?

Terdiamkah? Iya mungkin ada yang diam saja, tapi ada juga yang selalu ingin bergerak entah dengan daya apa karena dilandasi sebuah keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Nah, terlepas dari segala lika-liku kehidupan di atas, beberapa pertanyaan besar yang patut diindahkan oleh setiap elemen adalah: “bagaimanakah kualitas hidup kita? Apakah kita telah menjalani kurnia hidup ini secara optimal? Sebagai seorang ulil amri bagaimana? Dan sebagai seorang pelajar juga bagaimana? Apakah lingkungan kita telah mencerminkan lingkungan para akademisi; kampus, majelis diskusi, perpustakaan, kamar belajar? Atau tak lebih hanya medan kebebasan total yang menawarkan sejuta kenikmatan hidup tapi sebenarnya hampa?

Alhasil, pertanyaan-pertanyaan itulah yang hingga kini membayangi Masisir. Masisir sedang berdiri di bawah bayang-bayang ketakutan, bayang ketidakjelasan masa depan, bayang tuntutan survive dan sukses, yang sebenarnya banyangan itu ada karena mereka sendiri yang menciptakan?. Masih tetap ada berbagai usaha yang akan dan bisa ditempuh. Bukan hanya dari pihak stakeholders, tapi dari para grassroot yang sadarpun akar turut berperan dalam proses perbaikan citra maupun kualitas yang diharapkan. Walaupun sketsa yang ada saat ini masih sangat jauh dari nilai kepantasan, namun potret yang lebih baik akan bisa dihasilkan dengan meneguhkan kesadaran akan pentingnya meningkatkan kualitas hidup; dalam belajar, dalam bermasyarakat. Karena manusia adalah tercipta lemah, maka ia membutuhkan orang lain untuk dapat bersinergi.Wallahu a’lam![]

*) Tulisan ini telah dimuat di Buletin Prestâsi Kelompok Studi Walisongo edisi 77 Februari 2008.
**) Mahasiswa tk. 3 Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir, Wartawan ndal-ndul, Santri Afkar for Aufklarung, Ketua Misykati.

Picture taken from: http://cefil19.blogspot.com/2007_11_01_archive.html

0 Komentar: