Muhadharah dan Muqarrar Saja Tidak Cukup; Menyoal Paradigma Belajar Masisir*

Wednesday, February 27, 2008


Usai melewati sebuah “madrasah kecil” bernama Ramadhan, Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kini dihadapkan pada sebuah babak baru dengan dibukanya pintu-pintu “madrasah besar”; kampus al-Azhar dengan masing-masing fakultas dan jurusannya. Walaupun ungkapan ini masih debateble karena sesungguhnya muhadharah telah dimulai sejak bulan Ramadhan, tapi nampaknya sebagian Masisir masih terlelap dengan libur panjangnya hingga lupa kapan waktu kembali ke kuliah. Apalagi di bulan puasa yang masih dinaungi udara panas, pada hari-hari biasa pun masih sangat minim Masisir yang berangkat kuliah. Hal ini tentu telah menjadi rahasia umum yang tak perlu ditutup-tutupi lagi.

Problem klasik tetap saja menjadi momok jika tak segera mendapatkan perhatian dan solusi. Lesunya gairah pergi ke kuliah untuk menghadiri muhadharah tampak telah menjangkiti sebagian besar Masisir. Tapi apakah benar bahwa faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan studi Masisir terletak pada “muhadharah”? Sependek pengamatan penulis, persoalan apakah mau berangkat kuliah atau tidak sebenarnya bukanlah faktor inti penyebab turunnya kualitas SDM Masisir. Namun yang lebih mendasar dari itu, dan yang patut kita fikirkan bersama, bahwa dekadensi prestasi ataupun rendahnya gairah intelektual yang terjadi justru terkembali pada minimnya kesadaran Masisir akan pentingnya ilmu dan belajar.

Negara Mesir, bagi seorang pecinta ilmu tentu akan menjadi samudera literatur yang tak kunjung habis walau diselami sepanjang hayat. Kekayaan khazanah keilmuan yang terkandung di bumi para nabi ini laksana lumbung padi yang menyediakan segudang cadangan makanan. Tentunya bukan makanan perut, namun vitamin bagi otak yang berfungsi mengisi ruang nalar dan fikiran. Lain halnya jika Mesir dilihat dari perspektif [maaf] “para pemalas”. Sebut saja sebuah jargon yang cukup familiar di telinga kita; “al-Qâhirah, in lam taqharha qaharatka. Dari sini mari sejenak kita merenungkan, betapa naif dan memalukan jika kepergian kita yang jauh dari kampung halaman hanya untuk bermalasan dan pasrah dengan keadaan. Lalu jika kenyataannya Kairo tidak se-bersih, se-rapi, se-tertib, se-nyaman, se-kondusif atau se-se lain yang kita bayangkan, kenapa kita tidak mencoba “memberontak” dan “melawan” keadaan? Setidaknya kita tidak lantas menyerah begitu saja!.

Ya, setiap “pernyataan” hati itu memang sudah kita hafal bahkan mengendap dalam benak. Namun sayangnya, sebuah kesadaran tidak cukup bermanfaat jika tak diaplikasikan dalam tindakan nyata. Mesir memang beginilah keadaannya, sebagaimana yang kita lihat secara nyata. Di samping segudang kelebihannya, tak jarang pula kita temukan setumpuk keanehan dan kejanggalan. Namun apa boleh dikata; ibarat mau berjuang, kita telah berada dalam medan perang. Mau lari meninggalkan medan untuk kembali ngumpet di sarang, tentu memalukan dan pengecut. Sementara mau maju, musuh terlihat begitu kuat, rintangan menakutkan dan berbagai aral siap melintang. Kehidupan kita di negeri kinanah ini adalah dunia konflik itu sendiri, medan perang itu sendiri. Maka jika ingin menjadi pejuang sejati, tentu harus sabar dan bijak dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian.

Transportasi yang sulit, lalu lintas yang ruwet, lokasi kampus yang jauh dari tempat tinggal, kurikulum pengajaran yang tradisional, sistem administrasi yang manual, birokrasi yang ribet, adalah sederet musuh atau virus yang setiap saat bisa melemahkan sendi-sendi semangat kita. Dalam kondisi yang seperti ini, kita dihadapkan pada dua pilihan; apakah akan bangkit dan bergerak “melawan” semua itu, atau diam pasrah berpangku tangan?

Lingkungan, dalam konteks pembelajaran memang menempati peran penting dalam menentukan keberhasilan atau gegagalan seorang murid. Lingkungan yang kondusif dan bisa diajak kompromi akan mendukung keberhasilan belajar. Sementara lingkungan yang carut-marut tak teratur akan menghalangi dan menghambat proses belajar. Namun jika yang kita hadapi saat ini adalah justru kondisi yang kedua, apakah benar proses belajar kita akan terganggu? Menurut hemat penulis, jeleknya lingkungan sedikit banyak memang berpengaruh negatif dalam proses belajar. Namun tidak menutup kemungkinan, kita juga akan berhasil melakukan sebuah pembelajaran di lingkungan yang buruk. Karena hal paling utama penentu keberhasilan seseorang adalah sejauh mana ia mampu memenej diri dan arif dalam bersikap. Sebut saja Imam Abu Hanifah, Imam Ibnu Hanbal, Imam Ghozali, Ibnu Sina, Sayyid Qutb, Yusuf al-Qardhawi, Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (Prof. Dr. Hamka) adalah sederet nama-nama ulama` terkemuka Islam yang pernah merasakan pengap dan sesaknya hidup di penjara. Namun siapa yang tak mengakui jasa mereka? Hingga saat ini nama mereka masih harum semerbak melalui berbagai magnum-opus yang menghiasi khazanah keilmuan dunia. Siapa yang menyangka, bahwa di balik terali-terali besi itulah mereka menelorkan berbagai karya. Dengan ini terbukti, bahwa buruknya kondisi yang menghimpit seseorang belum tentu menghalanginya untuk tetap berkarya.

Andrias Harefa, seorang penulis prolifik yang mendedikasikan hidupnya dalam bidang pembelajaran, kepemimpinan dan kewirausahaan pernah menulis dalam sebuah buku berjudul “Mengasah Paradigma Pembelajar” bahwa; “Jika kita memahami mengapa kita harus belajar, maka kita dapat belajar dalam situasi apapun”. Sebuah ungkapan singkat yang sarat makna. Setiap manusia yang lahir ke dunia sesuai fitrahnya membawa potensi masing-masing. Terlebih jika kita mampu memahami bahwa kita terlahir sebagai makhluk pembelajar (learning being), maka kita akan senantiasa bisa melakukan proses belajar dalam konteks “sekolah kehidupan”. Mampu tidaknya kita untuk melakukan pembelajaran dalam segala situasi dan kondisi yang kita hadapi adalah ditentukan oleh sejauh mana pemahaman kita terhadap makna belajar.

Belajar, dalam pemaknaan yang lebih luas tentunya terlalu mahal jika hanya dikaitkan dengan dunia persekolahan saja, lembaga formal saja. Padahal secara mendasar, belajar adalah proses “humanisasi”, pemanusiawian manusia. Maka proses belajar itu akan lebih tepat jika kita korelasikan dengan “sekolah kehidupan”, sebuah lembaga informal yang diciptakan Tuhan untuk mengaktualisasikan potensi diri. Dengan demikian, titik capai yang nantinya akan kita tuju dalam proses pembelajaran adalah untuk berkembang dan bermetamorfosis menjadi yang terbaik dari diri kita sendiri. Yakni menjadi mahluk bio-psiko-sosio-spiritual ciptaan Tuhan.

Berangkat dari beberapa deskripsi di atas, Masisir yang notabenenya adalah thâ`ifah dari sebuah firqah bernama Indonesia, memikul tanggung jawab menuntut ilmu agama di negeri kinanah ini. Sebuah tanggung jawab berat karena harus diemban dengan penuh perjuangan dan rintangan. Sebagaimana yang telah jamak diketahui, bahwa suasana tidaklah tercipta dengan sendirinya. Namun harus diciptakan dengan segenap usaha. Kondisi lingkungan Mesir secara umum dan al-Azhar secara khusus yang [agak] tidak kondusif untuk kuliah, mengikuti muhadharah setiap hari, sebaiknya kita sikapi dengan mencari alternatif forum-forum pembelajaran lain. Dengan adanya berbagai organisasi yang multi-orientasi, kita bisa memanfaatkannya sebagai partner of study. Yaitu wahana untuk menunjang proses belajar kita di luar sekat-sekat tembok perkuliahan.

Dengan hanya mengikuti muhadharah setiap hari, tentu belum cukup untuk membentuk seseorang menjadi insan paripurna yang sholih pribadi dan sosial. Hanya dengan membaca muqarrar juga belum mampu mengantarkan seseorang pada pemahaman kamil akan ilmu pengetahuan yang maha luas. Namun dengan senantiasa melakukan tajdîd niyyat sekaligus tajdîd al-mafâhim kita akan memulai babak baru dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai hamba yang dibekali otak oleh Tuhannya untuk berfikir. Tanggung jawab sebagai makhluk pembelajar yang akan senantiasa mampu belajar dalam segala situasi dan kondisi. Apakah anda setuju?? Selamat belajar dan selamat memasuki “sekolah kehidupan”![]

oleh: M. Luthfi al-Anshori (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Universitas al-Azhar Kairo, santri Afkâr Institute for Aufklarung (AIA) PCINU Mesir).

Picture taken from: http://www.library.ex.ac.uk
*Tulisan ini telah dimuat di buletin Prestasi KSW Edisi 77 Oktober 2007

0 Komentar: