Hukum Harus Tegas

Tuesday, July 08, 2008


"Jika hukum tak lagi berwibawa, maka kehancuran akan segera tiba"


Saat ini Indonesia benar-benar dilanda kekacauan! Setelah berbagai bencana melanda dan tak kunjung mendapat titik terang, kini sesama rakyat justru tunggang-langgang saling menuduh dan terpecah-belah. Masyarakat grass-root semakin menderita dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tak jelas arah. Sementara yang di atas, mereka tetap nyaman dengan gaji bulanannya plus berbagai dana tunjangan.

Kasus demi kasus; korupsi, penggelapan dana, manipulasi, pun tak segera tuntas bahkan hanya numpuk di meja jaksa. Menumpuk dan terus menumpuk sehingga semakin sulit untuk memilahnya. Insiden demi insiden, tragedi demi tragedi, tuntutan demi tuntutan, tak ada yang diputuskan secara tegas. Walhasil, bumi pertiwi seakan hanya menjadi wadah tumpukan masalah bahkan berbagai tragedi berdarah.

Penyebab dari itu semua antara lain adalah ketidak-arifan pemerintah, sang pemangku kebijakan (stake-holders). Setelah bermula dari ketidak-tahuan akhirnya berimbas pada ketidak-tegasan. Karena tidak tahu pasti mana yang benar dan mana yang salah, akhirnya kebingungan merasuki fikiran. Nah, puing-puing itulah yang akhirnya menyebabkan alur pemerintahan seakan tak tentu arah, tak punya pijakan.

Lebih ironisnya, lagi-lagi yang menjadi korban tetap rakyat kecil. Si kecil yang tak punya uang lalu mencuri ayam. Na’asnya ia tertangkap basah oleh penduduk kampung lalu dipukuli hingga babak-belur. Sementara Si besar, mereka tetap nyaman menggerogoti uang dari balik kursi kehormatannya. Sayangnya, ia punya akal yang brilian hingga aksinya tak kelihatan. Atau misalkan kelihatanpun ia bisa memutar-balikkan fakta dengan uang.

Celaka! Inilah awal mula musibah yang begitu deras melanda negeri kita. Ketika rakyat kecil bersalah secepat mungkin fonis dijatuhkan. Tapi jika para pembesar yang bersalah, ahh, nanti saja kita tunggu salam tempelnya? Sunguh tak adil! Dimanakah ketegasan sikap dalam hukum Indonesia?

Benar apa yang telah diisyaratkan oleh kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “Wahai para manusia, sesungguhnya penyebab musnahnya orang-orang sebelum kalian adalah: ketika ada pejabat di antara mereka yang mencuri mereka diamkan, dan ketika ada orang kecil yang mencuri mereka hukum. Demi Allah seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, maka aku akan memotong tangannya!” (HR. Bukhari-Muslim).

Allah SWT berfirman: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi kalian...” (QS. al-Ahzâb [33]: 21). Jika Rasulullah telah mengajarkan sebuah sikap ketegasan bagi kita semua, maka patut rasanya jika para ulil amri di negeri kitapun mencontoh dan mempraktekkannya. Dengan harapan, semoga dengan ketegasan yang dibarengi kearifan, segala permasalahan, permusuhan dan perpecahan bisa diangkat dari bumi pertiwi tercinta.Wallahu A’lam!

Baca Selanjutnya...!...

Berdakwah dengan Hati

Friday, July 04, 2008


Dalam disiplin Ilmu Dakwah disebutkan bahwa, profesi da’i itu bukanlah profesi yang mudah, bahkan sangat sulit. Pasalnya, seorang da’i dalam Islam laksana penerus perjuangan para nabi yang bertugas menyampaikan risalah dan ajaran-ajaran Islam ke segenap umat manusia. Oleh karena itu, ia dituntut untuk menguasai Islam secara kaffah (sempurna). Bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam secara teori (nadzariy), tetapi juga harus mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari (‘amaliy). Sebab, ketika seseorang telah disebut sebagai da’i, maka secara alami ia akan menjadi public figure yang akan selalu dilihat dan dicontoh oleh masyarakat.

Da’i dalam Islam juga laksana dokter, yang bertugas untuk mendiagnosa penyakit-penyakit masyarakat, sehingga dapat mencarikan obat yang tepat untuk menolong dan menyembuhkan mereka. Oleh sebab itulah seorang da’i seyogianya mempunyai hati yang bersih (ikhlas), nurani yang tajam (kepekaan), fikiran yang jernih (kearifan), dan mata yang jeli (bijaksana). Sehingga dengan itu, ia mampu membaca setiap fenomena yang muncul di masyarakat, menganalisa setiap gejala yang ada, lalu memilih solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Jika ia salah cara (salah memberikan obat atau dosis), maka usaha dakwahnya bisa jadi tak akan sampai ke masyarakat. Alih-alih ingin berdakwah, yang terjadi justru menambah runyam masalah, menambah bingung masyarakat bawah.

Selanjutnya, mari kita simak sebuah kisah tentang usaha dakwah yang dilakukan seseorang dengan modal hati dan kelembutan, bukan dengan paksaan dan kekerasan.
Adalah KH. Robbach Ma’shum, yang hingga kini masih menjabat sebagai Bupati Gresik, sosok teladan yang baik bagi para da’i dan pendidik, yang mampu melakukan proses pengajaran serta dakwah dengan hati dan kelembutan. Suatu ketika, beliau melakukan lawatan ke Mesir untuk membeli buku-buku yang digelar dalam rangka “Pameran Buku Internasional di Kairo”. Hal itu semata-mata didasari atas kecintaan beliau terhadap buku. Pada kesempatan itu, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama’ (PCINU) Mesir berhasil menyelenggarakan dialog publik bersama Kiai Robbach yang dihadiri oleh warga nahdliyyin di Mesir.

Dalam pidatonya, Kiai Robbach tidak menyampaikan mauidhah hasanah layaknya para da’i. Namun beliau hanya bercerita seputar pengalaman pribadi beliau, baik sebelum maupun ketika menjabat sebagai Bupati. Cukup banyak hal-hal menarik nan menggugah yang beliau sampaikan. Namun dalam konteks ini, penulis hanya akan memaparkan salah satu bagian dari cerita beliau yang terkait dengan dunia dakwah.

Alkisah, sebelum menjadi seorang Bupati, beliau telah dikenal sebagai sosok yang ramah dan akrab dengan masyarakat bawah. Hal itu disebabkan karena beliau telah aktif di berbagai kepengurusan cabang NU di daerahnya, sehingga membuatnya sering bersinggungan dengan masyarakat secara langsung. Dengan kondisi tersebut, beliau mampu merasakan sebuah keprihatinan akan moral dan nasib para pemuda yang semakin jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Betapa banyak para pemuda yang suka mabuk-mabukan, berapa banyak anak-anak jalanan yang terjerembab dalam kubangan narkoba, dan berapa banyak generasi muda yang melakukan tindakan asusila.

Bagi Kiai Robbach, hal itu beliau sikapi sebagai sebuah panggilan jiwa, sebuah bisikan nurani yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu guna menolong mereka, dan mengentaskan mereka dari jalan yang sesat. Namun langkah apakah yang akan beliau tempuh? Strategi apakah yang akan beliau terapkan untuk dapat mengajak mereka kembali ke jalan yang benar?

Jawabannya: “kelembutan dan hati!” Ya, beliau memilih metode persuasif. Beliau tidak secara langsung mendatangi gerombolan mereka untuk diceramahi atau bahkan dimarahi, namun beliau datang layaknya seorang teman yang mencoba mendekati dan mengakrabi. Tentunya dengan segenap kesabaran dan kehati-hatian, sehingga beliau bisa diterima oleh mereka. Beliau datang ke kantin-kantin, ke toko-toko, di tempat-tempat di mana mereka sering berkumpul. Beliau ikut minum kopi, turut kongkow bareng bersama mereka. Pembicaraan awal beliau kepada mereka tentu bukan soal agama, namun lebih kepada pembicaraan tentang hal-hal lain yang sifatnya lebih umum, atau soal pribadi mereka masing-masing. Pada fase ini beliau hanya bertujuan bagaimana agar mereka bisa menerima beliau sebagai seorang teman, teman curhat.

Nah, setelah melalui proses pendekatan yang cukup panjang dan membutuhkan kesabaran, lambat laun beliau semakin akrab dengan mereka. Barulah dalam kesempatan seperti ini beliau mulai berbicara soal agama. Dan yang jelas beliau tetap sangat hati-hati, sehingga tak ada sedikitpun kata-kata yang menyakiti hati mereka. Singkat cerita, setelah sekian lama proses itu berlangsung secara berkesinambungan, datanglah petunjuk dan cahaya dari Allah yang memasuki hati mereka. Akhirnya, bersama Kiai Robbach mereka justru berniat untuk membentuk semacam kelompok pengajian. Anggota mereka terdiri dari para mantan pecandu, morfinis, pemabuk, hingga para pezina.

Suatu ketika, mereka berkumpul di sebuah tempat guna melakukan sebuah konggres. Hal itu dimaksudkan untuk menentukan nama jama’ah mereka, sekaligus berbagai perangkatnya. Ketika proses pengusulan nama mulai dibuka, ada sebagian dari mereka yang mengusulkan nama-nama bercirikan Islam seperti; Al-Hikmah, Al-Hidayah, At-Taubah dan lain sebagainya. Namun pada saat itu, ada satu orang di antara mereka yang mengusulkan nama yang asing dan aneh, yaitu “Al-Koboi”. Sepontan mereka bertanya, apa alasannya sehingga ia memilih nama tersebut? Ia pun menjawab: “Sejauh ini, saya telah banyak melihat nama-nama jama’ah yang bercirikan Islam, namun yang terjadi justru mereka hanya mengotori dan menodai nama itu dengan prilaku yang tidak Islami. Maka lebih baik kita menggunakan nama yang tidak Islami namun kita mampu menerapkan ajaran-ajaran Islam, ketimbang menggunakan nama Islam hanya untuk kita cemari!”

Ohh..sebuah alasan yang cukup logis dan sesuai fakta nampaknya, sehingga membuat mereka bersepakat untuk memilih nama itu sebagai nama jama’ah mereka. Pada fase-fase selanjutnya, Kiai Robbach senantiasa bermu’amalah dan beramah-tamah dengan mereka, sembari mengajarkan nilai-nilai Islam sehingga menjadi semakin akrab dan dekat. Salah satu caranya adalah dengan membukakan pintu rumah selebar-lebarnya untuk mereka, apalagi ketika bulan Ramadhan. Beliau sering mempersilahkan mereka untuk berbuka dan sahur di rumahnya. Walaupun mungkin masih ada juga dari mereka yang belum berpuasa.

Secuplik kisah di atas tampak jelas memberikan gambaran kepada kita, bahwa berdakwah dengan hati dan kelembutan akan bisa lebih mengena dan berhasil, dari pada melalui kekerasan dan paksaan. Taruhlah misalkan, hari ini kita mampu meluluh-lantahkan tempat-tempat maksiat, namun bisa jadi esok mereka mendirikannya lagi di tempat yang lain. Sebab dakwah itu tak sampai ke hati mereka, namun hanya sampai ke tempat-tempat di mana meraka melakukan maksiat. Berbeda dengan kisah di atas, di mana dakwah yang dilancarkan langsung menembus pusat kontrol aktifitas manusia, yaitu hati. Sehingga ketika hati sudah terkontrol, maka seluruh bagian tubuh yang lain pun tunduk dan mengikuti.

Benar apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghozali tentang strategi seorang da’i: “Wajib bagi seorang da’i menatap mereka (obyek dakwah) dengan tatapan mata rahmat, kasih sayang dan penghormatan. Juga, agar ia bisa mendekati masing-masing person dari mereka maupun kelompok mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Dan, seorang da’i sangat dilarang untuk memandang mereka dengan tatapan sinis atau berbicara kepada mereka dengan perkataan yang menyakiti perasaan. Sebab jika ia melakukannya, maka mereka akan tetap berpegang teguh dengan keyakinan yang semula. Bukan karena ia merasa bahwa keyakinannya telah benar sehingga mereka mempertahankannya, namun semata-mata hal itu mereka lakukan karena pembelaan atas harga diri yang telah dihina!”.

Allah SWT berfirman: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta berdebatlah dengan mereka melalui jalan yang baik...”
(QS. An-Nahl [16]: 125). Dari ayat tersebut kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Tuhan Yang Esa telah mengajarkan kepada kita tentang tata cara berdakwah yang baik. Yaitu yang dilandasi atas ketulusan hati serta kesabaran yang tinggi guna mencapai hasil yang diinginkan.[]

Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Baca Selanjutnya...!...