Si Bisu (1)

Wednesday, September 24, 2008

Cerpen by: Sabdapena

Di kampung kelahiranku hanya dia satu-satunya yang bisu. Usianya hampir seumuran denganku. Kini, aku sudah 20 tahun dan kuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir. Sejak di bangku Madrasah Ibtida’iyyah (MI) ia sempat menjadi teman sekelasku. Walaupun bisu, ia seakan tak menghiraukan kebisuannya. Ia tetap bersikeras untuk ikut sekolah sebagaimana teman-teman sebayanya. Namun apalah daya? Karena kebisuannya itu, ia terpaksa harus putus sekolah ketika masih di bangku kelas 1 MI. Bagaimana tidak!? Ternyata bisu yang ia derita adalah pengaruh tulinya sejak lahir. Ia bukan bisu suara. Namun hanya bisu aksara dan bahasa, karena sejak lahir ia tak bisa mendengar dan menyerap bahasa manusia di sekitarnya. Tentu saja proses transformasi ilmu dari para guru tidak bisa ia terima. Hanya sia-sia ia meminta tanpa pernah menerimanya. Bahkan ditolak mentah-mentah oleh telinganya sendiri.

Putus sekolah bukan berarti kelana pencarian ilmunya berhenti sampai di situ. Selanjutnya, oleh kedua orang tuanya yang terhitung hanya seorang petani dan buruh bangunan, ia disekolahkan di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) yang berlokasi di kota. Ia rajin sekolah, masuk kelas dan mencoba mendengarkan. SA’ID. Begitulah nama singkat yang diberikan kedua orang tuanya. Memang singkat, namun mengandung makna besar yang terkadang sulit didapatkan dalam kehidupan. “Orang yang bahagia”.

*** ***

Aku jadi teringat sebuah pertanyaan yang diberikan oleh guru bahasa Inggrisku waktu SMA: “what is the important thing in this world?”. Teman-temanku kala itu menjawabnya dengan ungkapan yang berbeda-beda dan beranekaragam. Namun ternyata guruku telah menyiapkan sebuah jawaban untuk pertanyaannya tadi. “It’s happiness!” begitulah guruku menjawab pertanyaannya sendiri.

“Kebahagiaan”. Satu kata yang mudah diucapkan namun sulit didapatkan. Kebahagiaan bukan hak paten milik orang kaya. Kebahagiaan bukanlah jelmaan dari harta banyak yang bergelimang. Kebahagiaan tak mengenal kasta. Kesuksesan, karir, belum tentu menghadirkan bahagia. Ahh... ada dimanakah kebahagiaan? Mungkin saja ada di hati orang miskin. Mungkin saja hanya ada di jiwa para bayi dan anak-anak kecil yang bermain riang di taman kebebasan. Mungkin juga kebahagiaan itu ada di setiap sudut masjid, gereja, biara, wihara, kuil, atau bahkan ada di jalan tol?.

Entahlah...! Bahkan terkadang, Masjid justru hanya menjadi arena-arena pelarian untuk mengusung segenap duka nestapa yang sedang mendera. Atau mungkin ia hanya sarana untuk menggugurkan kewajiban, lalu sudah lancang mengharapkan balasan!?

Atau memang kebahagiaan itu dimiliki orang kaya? Kaya harta, kaya rasa, kaya hati dan kaya arti? Ughhh.... jangan-jangan kebahagiaan hanya ada di sorga. Sorga akheratkah? Bukankah itu masih sangat jauh!? Namun rasanya aku pernah mendengar ada seorang sufi bertutur pada muridnya, “Nak, ketahuilah bahwa sesungguhnya sorga dunia itu ada. Ia bisa saja terletak begitu jauh darimu. Namun jika kamu mau dan mampu, sorga kecil itu akan menjadi sangat dekat denganmu. Bahkan ada dalam dirimu. Dialah hatimu. Jika kamu mampu mengendalikan hatimu, mampu menstabilkan sistem kerjanya dan mampu untuk senantiasa merawat kebersihannya, kerapiannya, maka kamu akan menjadi orang terkaya di dunia. Kekayaan hati adalah kekayaan rasa. Maka dengan hati yang sehat, kamu akan hidup dengan sehat pula. Lain halnya dengan manusia yang sering sakit hati atau disakiti hatinya. Dan lain pula dengan orang-orang yang setia mengumpulkan duri sembari makan hati. Ohh... kebahagiaan mereka boleh dipertanyakan!”.

*** ***

Sa’id terpaksa harus putus sekolah lagi dari SDLB, sekolahnya yang baru dan lebih modern itu. Di sana setiap siswa mendapat fasilitas berupa alat bantu sesuai dengan kondisi fisik masing-masing. Sa’id sendiri, karena dia tuna rungu dan tuna wicara, pihak sekolah pertama kali melakukan proses tes terhadap alat pendengarannya. Dengan memanfaatkan fasilitas yang ada, tes itu telah dilaksanakan beberapa kali namun hasilnya nihil. Telinga Sa’id sudah sulit untuk ditolong. Dengan berat hati pihak menejemen sekolah menyatakan tidak sanggup untuk mendidik dan menerima Sa’id untuk tetap belajar di sekolah itu.

Akhirnya Sa’id kembali menjadi anak pengangguran. Ketika teman-teman sebayanya tengah belajar di sekolah masing-masing, ia hanya bisa bermain sendiri atau sesekali melihat teman-temannya di sekolah. Sungguh malang nasibnya. Meskipun demikian, ia bukan tipe anak yang mudah menyerah dan putus asa. Dari wajahnya terpancar sebuah cita-cita besar yang ingin diraihnya di kemudian hari.

Aku termasuk teman mainnya sejak kecil. Sehingga meskipun ia tuli dan bisu, aku masih bisa berkomunikasi dengannya melalui bahasa isyarat, yaitu dengan bahasa gerak tubuh. Kami, sekumpulan anak-anak yang sebaya dengannya di desa kami tidak pernah mengucilkannya karena cacat. Kami semua bisa menerimanya sebagai teman yang bisa diajak bermain bersama, bahkan berbagi cerita dan pengalaman menarik yang pernah kami punya.

Desa kami terhitung salah satu desa yang masih sangat kental nuansa religinya. Di banding desa-desa sekitar, desa kami termasuk yang paling syi’ar dalam hal keagamaan. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Begitu pula para pemudanya, sebagian besar masih menjaga akhlak yang baik. Berbeda dengan desa-desa lainnya, yang telah banyak terkontaminasi dengan budaya-budaya jahili seperti judi, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.

Meskipun kecil dan tidak begitu luas, namun desa kami memiliki berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtida’iyyah (MI), Madrasah Diniyyah (dilaksanakan sore hari), hingga Madrasah Tsanawiyyah (MTs) dan pondok pesantren. Desa kami bernama “Badeg”. Barangkali dahulu nama aslinya adalah “Badi’” yang mempunyai arti indah. Namun karena lidah orang Jawa yang mungkin agak sulit dan berat mengucap kalimat Arab, akhirnya berubah jadi “Badeg”. Mungkin dengan ditunjang berbagai lembaga pendidikan itulah desa kami menjadi salah satu desa percontohan dalam hal keagamaan.

Maka menurutku menjadi sebuah anugrah dan nikmat tersendiri karena Sa’id hidup di lingkungan yang baik. Sebab, sedangkal hematku, seseorang yang diuji dengan kekurangan semacam itu karakter dan sifatnya akan sangat ditentukan oleh lingkungan sekitar di mana ia tinggal. Karena Sa’id besar dan tumbuh di lingkungan yang religius, ia pun mempunyai karakter tersendiri sesuai kadarnya dalam bidang keagamaan. Salah satu contoh misalkan, meskipun ia tuli dan bisu, namun ia masih saja selalu mengikuti kegiatan mengaji al-Qur’an (tahsînul qirâ’ah) di masjid jami’ desa kami. Kebetulan guru ngajinya ayahku sendiri. Dan beliau dengan sabar membiarkan dan mengizinkan Sa’id untuk tetap ikut mengaji. Entah apa yang ia baca dan apa yang ia ucapkan, ayahku tetap mendengarkannya.

Suatu ketika, tanpa ada yang menyuruh, karena ia merasa waktu sholat Isya’ telah tiba, ia menyalakan pengeras suara masjid lalu mencoba melantunkan adzan. Sepontan orang-orang yang ada di masjid kaget. Ada yang marah, ada juga yang hanya tersenyum melihat kelakuan anak itu. Ia terkadang memang agak aneh. Keanehannya itu bukan karena ia gila, tapi keinginan dan persepsinya bahwa ia merasa seperti orang normal lainnya itulah yang membuatnya agak aneh. Ia sebenarnya cacat, tapi sesekali ia tak menghiraukan kekurangannya itu. Sehingga seakan-akan ia bebas melakukan apa saja seperti teman-teman yang lainnya.

*** ***

Di suatu siang, kala itu aku telah duduk di bangku kelas 5 MI, sungai di pinggiran desaku sedang banjir besar. Bahkan airnya hampir meluap ke area perumahan warga. Hal itu disebabkan karena beberapa hari sebelumnya hujan deras mengguyur desaku. Kebetulan rumahku terletak di ujung paling utara desa Badeg, tepat satu meter di samping masjid Jami’ Al-Falah. Tak tau juga dahulu bagaimana sejarahnya, sehingga rumahku begitu berdempetan dengan masjid.

Segerombolan orang datang dari arah selatan desa. Orang-orang itu adalah tetangga Sa’id. Mereka terlihat panik dan cemas. Aku masih bertanya-tanya dalam hati, gerangan apakah yang terjadi. Karena sungai itu terletak beberapa meter di belakang rumahku, mereka bergegas menuju pinggiran sungai. Mata mereka menyisir dan memelototi aliran air deras sungai itu.

Ternyata Sa’id terbawa arus deras sungai ketika sedang buang hajat. Kata mereka siang itu ia bersama beberapa temannya sedang bermain di pinggiran sungai di belakang rumahnya. Si Sa’id buang hajat di pinggiran sungai yang cukup licin, sehingga ketika keseimbangan tubuhnya oleng, otomatis ia akan tergelincir dan terseret arus. Orang-orang semakin berteriak histeris ketika mereka tak mendapati tubuh Sa’id di antara gulungan air deras sungai.

Mereka menuju ke pinggiran sungai belakang rumahku sebenarnya bertujuan untuk mencegat Sa’id, siapa tau dia terdampar di situ. Sebab aliran sungai itu memang mengalir dari arah belakang rumah Sa’id yang terletak di pinggir selatan desa, menuju arah pinggir utara desa, yaitu di dekat kawasan rumahku. Setelah menunggu beberapa saat dengan perasaan tak menentu, orang-orang akhirnya mendapat kabar bahwa si Sa’id selamat dan sekarang telah dirawat di rumahnya.

Aku dan orang-orang itu segera berlari ke rumah Sa’id untuk melihat keadaannya…

Bersambung…!


4 Komentar:

Anonymous said...

mo disambung kapan fi?

Sabdapena said...

hehe..
iya nih, lom sempet nyambung ceritanya! Lagi rada sibuk...(sok sibuk kalie..)
mm..tapi aku jadi kembali bersemangat kok karena sudah diingatkan, Makasih..
Btw, yang kasih komen di atas siapa yah??
Wanted!..hehe

Anonymous said...

saya juga nunggu loh mas kelanjutannya :D

Anonymous said...

caakep euy, nyata nggak tuh ?