Senandung Gerimis

Saturday, October 25, 2008


Kala Hujan Mengisahkan Kerinduan
Cathar: Jum’at, 24 Oktober 2008/24 Syawal 1429

[Bawwabah 2, Pukul 10.00 CLT.]
Aku terbangun ketika ponselku berdering. Aku amati layarnya, yang tertangkap olehku adalah nomer baru yang asing. Tak berpikir panjang, langsung kuangkat…

“Halo!”
“Halo!”
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”
“Dik, ini saya mau kirim uangnya tapi saya masih ragu nama adik pake ‘o’ atau ‘u’, soalnya takut salah, nanti tidak bisa diambil!?”
“Oh, pake ‘o’ Mbak, Mohammad!”
“Baik, terimakasih! Wassalam…”
“Wa’alaikum salam…”


Percakapan via telpon yang singkat. Antara aku dan Mbak Hartati yang ada di Yunani. Selanjutnya aku menuju kamar mandi dan cuci muka. Aku kembali ke kamar tempat aku tidur tadi, Studio NUR Radio Mesir, lalu kuhampiri komputer yang sudah hidup. Aku membuka YM dan Email. Kubaca offline message yang masuk dan beberapa postingan di Millist. Lalu datang seorang teman, namanya Adon. Dia bertanya bagaimana memasang radar untuk mendeteksi lokasi pengunjung di blog. Aku mencoba membantunya semampuku. Tak terasa sudah setengah dua belas. Itu tandanya Sholat Jum’at segera dimulai. Aku minta izin untuk pulang ke rumah.

[Musallats, Pukul 11.45 CLT.]
Meskipun jarak antara Studio NUR Radio dan rumahku tak begitu jauh, namun jalanan yang akan kulalui pasti macet. Sebab setiap hari Jum’at ada pasar mobil yang selalu menyebabkan kemacetan.

Sesampai di rumah aku mendapati sepi. Kawan-kawan telah pergi ke masjid. Masih ada 3 kawan yang tersisa, namun mereka juga telah siap untuk berangkat. Ternyata tidak, hanya 2 orang yang benar-benar berangkat. Sementara yang satu masih berada di rumah, dia Makhasin. Mungkin karena dia sedang sakit, sehingga memilih mendengarkan khutbah dari kamar, karena jarak rumah dengan masjid cukup dekat. Dia memang perlu banyak istirahat. Entah ia sedang sakit apa(?), yang jelas dia terpuruk dan meringkuk tak begitu berdaya seperti biasanya. Ketika itu tinggal kita berdua yang tersisa di rumah.

Sejak aku terbangun tadi, aku memang telah merasakan cuaca hari ini yang mendung. Langit gelap. Terbukti, beberapa saat setelah aku sampai di rumah, gerimispun berjatuhan dari langit kelam. Spontan bibirku tersenyum gembira, hatiku bahagia, entah kenapa? Aku sedikit berteriak kepada Makhasin, “Sin, Hujan, Sin! Jarang-jarang kita menemui hujan di sini!”. Sementara Makhasin tak menunjukkan respon yang seimbang. Aku maklumi, dia lagi sakit. “Eh, bukannya di jemuran ada baju?! Aku ambilin ah, kasihan nanti kalo habis dijemur dan hampir kering tapi basah lagi!”

Tak lama kemudian gerimispun reda. Aku masih di rumah menemani Makhasin yang ragu apakah dia akan berangkat ke Masjid atau tidak, mengingat kesehatannya yang kurang baik. Hingga melewati khutbah kedua, dan akhirnya ia memutuskan dan memberanikan diri untuk berangkat. Bismillah, La Haula…!

[Musallats, Pukul 13.00 CLT.]
Sholat Jum’at usai dan gerimis makin reda. Bahkan bertambah menit, matahari kembali menampakkan sinarnya. Dunia kembali terang, bahkan aku merasakan kembali hawa panasnya. Tak hanya itu, udarapun terasa pengap akibat gerimis yang turun tak seberapa, sehingga ia justru hanya menerbangkan debu yang sebelumnya bertumpuk tebal di atas jejalanan, menyatu dengan udara. Itulah pula yang dikeluhkan Makhasin ketika kami berjalan pulang dari Masjid. “Ah, aku ngerasa nggak enak dengan udaranya. Kalo cuma gerimis justru jadi pengap dan bikin sesak dada!” katanya mengeluhkan udara.

Sesampai di rumah aku mendapati Ajib yang sedang Chatting menggunakan komputerku. Ia selesai sholat Jum’at lebih dulu, sebab ia mimilih masjid yang satunya lagi, lebih cepat. Aku biarkan ia sembari menyantap Tho’miyah bil Beidh yang dibeli Fandi. Katanya itu hadiah untukku sebagai imbalan jasa karena telah menyelamatkan bajunya dari rintikan gerimis. Setelah Ajib usai, aku segera menggunakan komputerku dan kubukalah YM. Tiba-tiba kawanku Ari nge-buzz. Aku cukup kaget, lalu kutanyai dia:
“Ada apa?”
Gak ada apa-apa!” jawabnya datar.
“Tapi kok kayae ada hal penting gitu!?” selidikku.
“hehe,… pokoknya hari ini aku lagi seneng banget. Biarlah orang mau bilang apa. Mau bilang aku seperti anak kecil juga terserah. Yang jelas hari ini aku bahagia!”
“hem…” jawabku singkat, sambil berfikir ada apakah gerangan yang terjadi.
“Eh, Thing,… keluar yuuk!” ajaknya.
“Kemana?” tanyaku.
“Terserah deh kemana aja!” pasrahnya.
“Heh, gak mau ahh… kemana dulu, tujuannya harus jelas!” desakku.
“Udah deh, masalah kita mau kemana kita tentukan saja ntar, yang penting sekarang aku langsung turun dan menuju rumahmu!” jawabnya diplomatis.

Beberapa menit kemudian Ari sampai ke rumahku. Aku tawarkan kepadanya gimana kalau pergi ke Abbas el-Akkad saja, menemaniku mengambil uang. Ternyata ia setuju karena kebetulan ia juga mau mengambil uang di ATM.

[Mutsallas, Pukul 14.00 CLT.]
Sebelum pergi, aku menanyakan ke Ari apakah dia tau tempat kantor Western Union (WU), atau setidaknya tempat mana sajalah yang menyediakan layanan WU. Ari berinisiatif mencari alamat-alamat agen WU di Cairo melalui google. Setelah searching beberapa saat akhirnya ketemu juga. Ada beberapa lokasi, namun kita memilih yang lebih dekat, yaitu Abbas el-Akkad, sebagaimana yang sudah kuduga sebelumnya. Ternyata tepat sekali tadi aku mengajak Ari ke Abbas, karena ternyata salah satu agen WU memang bertempat di sana.

Sebelum pergi, Ari membuka sebuah Friendster, memberitahuku tentang profil dan foto seseorang yang ada di sana. Oh, aku cukup terhenyak, sebab yang ditunjukkannya adalah dia, pujaan hatinya. “Oh, akhirnya terobatilah sudah sedikit kerinduanmu padanya!” gumamku dalam hati.

Aku dan Ari akhirnya keluar rumah. Saat itu cuaca masih terlihat panas. Ari saja menggunakan kaos oblong lengan pendek biasa. Aku menggunakan kaos panjang rangkap kaos pendek. Meskipun panas, tapi aku takut masuk angin. Kami menuju halte yang terletak tidak jauh dari rumah. Menuggu bus sekitar 10 menit dan akhirnya datanglah. Kami naik bus dan ternyata ia tidak melaju melewati jalur sebagaimana mestinya karena takut terjebak macet. Tak apalah, yang penting bus yang kami tumpangi tidak melewatkan jalur yang kami tuju. Baru melaju beberapa saat, tatkala langit kembali terlihat suram, Ari pun mulai membuka pembicaraan. Ia bercerita tentang kebahagiaan yang ia rasakan pagi tadi karena seakan ia kembali mendapatkan harapan. Bagai tertimpa durian. Gersang yang sebelumnya ia rasakan, kini seakan bak diguyur air hujan, bukan hanya gerimis seperti yang baru saja terjadi. Harapan akan cintanya yang telah sekian lama terpendam, kini sedikit memperoleh cahaya terang, sebagaimana langit yang kembali cerah siang ini. Ia bercerita bahwa pagi tadi ia berjumpa dengannya, gadis impiannya, meskipun hanya via Chatting.

Selama perjalanan, wajahnya tampak begitu berseri. Sungguh telah lama aku tak mendapatinya sebahagia hari ini. Akupun turut senang melihatnya bahagia, meskipun hatiku juga khawatir, akankah kebahagiaannya akan terus berlanjut. Ataukah ini hanya kebahagiaan sesaat. Ah, tapi tak apalah, toh dia juga menyadari hal itu, bahwa belum tentu kebahagiaannya itu akan terus berlanjut, tapi setidaknya, baginya, hari itu merupakan salah satu episode terindah dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama tak berkomunikasi satu sama lain, akhirnya pagi tadi ia menemukannya, meskipun hanya melalui alam maya. Tapi setidaknya ia puas karena bisa melihat wajahnya melalui webcam dan bisa mendengar suaranya melalui headset. Oh, kerinduannya terobati.

Ari betul-betul terlihat gembira. Hal itu terbukti ketika ia merespon perkataanku: “Wah, siang ini langit begitu gelap, debu dan sampah berhamburan ditiup angin berkawan debu. Udaranya juga semakin dingin!” dengan ungkapannya: “Ah,… mungkin hal itu disebabkan karena sang mentari saat ini berada di hatiku. Jadi meskipun dunia gelap, tapi hatiku terasa begitu terang. Dan meskipun angin begitu dingin nan liar, tapi aku tetap merasakan kehangatan dalam hatiku!” sahutnya melankolis. Aku semakin heran, anak ini jadi seperti anak kecil, atau bahkan seperti orang gila? Memang, power of love!

[Abbas el-Akkad, 14.40 CLT.]
Sekitar 30 menit kemudian, ketika kami hampir sampai di tempat tujuan, hujan deras justru datang. Kami turun dari bus sambil berlari menuju pinggiran sebuah apartemen untuk berteduh. Di pinggiran apartemen itu kami kembali melanjutkan cerita sembari menunggu hujan reda. Kali ini memang lebih deras dan lama, tidak seperti tadi yang hanya gerimis dan singkat. Kami bercerita ke sana ke mari. Mengingat masa-masa di SMA. Apalagi aku, setiap kali hujan turun, aku seakan terseret ke masa lalu, mengingat sebuah kenangan manis bersama seseorang yang aku cintai.

Hujan sedikit reda, meskipun tak sepenuhnya, dan kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju ATM City Bank yang berada di seberang jalan. Konsekuensinya kami harus menyebrang, dalam kondisi jalan yang digenangi air dan lalu lalang mobil yang tak kunjung lengang. Ah, kami terjebak oleh genangan air. Rasanya seperti sedang tersesat di sebuah pulau kecil di kelilingi samudra. Jika nekat menyebrang, ada kemungkinan sepatu kami akan basah. Kami mencari alternatif jalan yang tidak digenangi air, namun syaratnya agak muter dan sedikit jauh. Tak apalah, yang penting aman. Namun ketika menyebrang dan sampai di tengah jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju kencang dan seketika genangan air itu terpercik, membasahi sebagian sisi celana dan sepatuku. Ughh… rasanya ingin aku keluarkan kata umpatan kepada sopir mobil itu yang tak mau menyetir pelan. Sungguh tak berperasaan! Namun tak ada gunanya karena ia telah jauh. Sabar!

Kemudian kami bergegas menuju ATM. Ari mesuk ke dalam mengambil uang dan aku menunggunya di luar sambil bertanya kepada satpam. “Permisi, numpang tanya, apakah anda tau di mana letak jalan Mohamed Husein Haikal?” Dia menggelengkan kepala lalu menanyakan petugas yang ada di Kantor City Bank.
Petugas itu menghampiriku lalu aku bertanya kepadanya, “Aku mencari jalan Mohamed Husei Haikal!”
“Oh, kamu tau rumah makan GAD yang ada di sisi jalan sebrang sana?” tanyanya.
“Iya, saya tau!” jawabku berseri.
“Nah, nanti sebelum GAD ada gang masuk, kamu masuki saja gang itu lalu belok kiri di tikungan pertama. Itulah jalan Mohamed Husein Haikal!” jelasnya mantab.
“OK, syukron!

Setelah beres mengambil uang di ATM, kami bergegas menuju jalan Mohamed Husain Haikal sesuai petunjuk sang petugas. Ternyata ia benar, baru memasuki gang lalu belok kiri, lamat-lamat aku telah melihat lambang Western Union, tempatku mengambil uang. Akhirnya sampailah kami di kantor WU.

“Ah, sudah jam tiga lebih lima, Ri. Berarti sudah buka! Ada untungnya juga tadi hujan lalu kita berteduh, sehingga kita samapi di WU pas ketika ia telah buka!”
“Iya, berarti emang ada baiknya juga!”

Pertamanya aku agak canggung. Namun dengan gaya sok mantab aku masuk ruangan sembari melirik kiri-kanan, mempelajari kondisi yang ada di sana. Oh,… untuk mengambil uang aku harus mengisi sebuah kertas khusus yang disediakan untuk pengambilan. Aku isikan data yang diminta, lalu aku sodorkan ke petugas. Tak lama kemudian, uang pun bisa cair. Alhamdulillah!

Kami berdua pergi meninggalkan kantor WU, kembali ke tempat semula di mana kami berteduh dari hujan. Di situ kami berunding, perihal mau melanjutkan perjalanan ke mana. Mengingat kondisi baju kami yang basah sehingga tidak nyaman, kami memutuskan untuk pulang saja. Dan, konsekuensinya kami harus kembali menyebrang dan menghindari genangan air sebagaimana yang kami lakukan tadi ketika hendak menuju ke kantor City Bank. Ah, semoga aku tidak terkena cipratan air hujan lagi akibat ditekan ban mobil yang melaju kencang.

Kini, jalanan sedikit sepi. Terutama sepi dari kendaraan angkutan umum. Kami berteduh di halte bus agar tidak kejatuhan rintikan hujan yang tinggal gerimis. Kami hanya berdua. Kemudian datang seorang pemuda Mesir, bergabung dengan kami untuk berteduh. Di halte itu, aku menulis sms untuk seseorang yang dahulu pernah menorehkan kenangan manis di hatiku tentang hujan. “hei, lg ngapain?km gak pnya plsa ya?aku lg kehujanan berdua nih sama Ari.Bertduh disebuah halte!” Kukirimkan. Tak langsung dijawab. Baru setelah aku menaiki sebuah angkot, ada sms balasan datang. Aku tersenyum, dan bahagia menyertai kami berdua sepanjang perjalanan.[]


Kampus Biru-Kairo, 24 Oktober 2008

0 Komentar: