Engkaukah Sang Musim, Potret Pilu Hatiku?

Friday, October 31, 2008


Sekilas, jika kugambarkan iklim di Mesir dalam setahun ini (akhir 2007-sekarang), bisa kuungkapkan dalam beberapa kalimat berikut: musim dingin berlalu di Januari, konon dingin sekali -> dilanjutkan musim semi yang tak kunjung bersemi -> lalu segera diterjang panas, garang sekali, di akhir Mei-Juni -> Muncullah musim gugur, di mana bunga-bunga layu, dedaunan berjatuhan, berserakan di sepanjang September-Oktober -> Lalu datanglah kembali musim dingin, yaitu kali ini, di awal November, belum begitu beku, namun aura hening, gelap dan pekat sering menyergap bumi. Dan dalam kegelapan, segala yang buruk mulai terjadi!

Membayangkan perjalanan iklim setahun ini, aku seakan mendapati diriku dalam ketidak-nyamanan. Bagaimana tidak? Coba sekarang aku analogikan kondisi diriku dengan kondisi iklim di atas...

Pertama, pada puncak musim dingin yang lalu, tepatnya di sepanjang bulan Desember-Januari yang notabenenya adalah waktu-waktu ujian termin pertama, justru angka kejahatan meningkat. Parahnya, kebanyakan korban adalah dari kalangan mahasiswa asing, khususnya Indonesia. Nah, dalam situasi seperti ini, tentunya kondisi psikologis kita sedikit banyak terganggu, sehingga kurang bisa maksimal dalam belajar.

Kedua, ketika musim semi semestinya datang, namun pada kenyataannya ia tak kunjung datang. Tak ada bebungaan yang bermekaran di pinggiran jalan. Bahkan, pohon yang ada di belakang flat tempatku tinggal tak kunjung berbunga. Padahal biasanya setiap tahun ia selalu memunculkan bunga di pucuk-pucuk rantingnya. Perasaan tak nyamanku karena aku merasa malu pada adik-adik kelasku. Sebab ketika masih di musim semi, aku bercerita kepada mereka menggambarkan suasana musim semi yang asri. Namun pada kenyataannya, ceritaku itu tidak terbukti. Biasa saja, tak ada yang istimewa di musim semi.

Di samping itu, tak munculnya bebungaan di musim semi tenyata juga mengisyaratkan kondisi hatiku yang tak jua mekar. Seakan ia kehilangan gairah, meskipun tidak secara total, namun setidaknya ia menjadi lemah. Ada sepercik cahaya yang hilang darinya. Cinta! kemanakah ia??

Ketiga, tatkala musim panas dengan begitu garang menindas musim semi, akupun bagai musim semi yang tertindas itu. Seharusnya aku bersemi setelah usai masa ujian termin pertama, namun kenyataannya hatiku ditindas perasaan tak berdaya. Menghadapi ganasnya cinta yang menyiksa. Aku dihujam panas yang mendera. Seakan hatiku menganga seperti tanah di negeriku kala diterkam kemarau. Aku terbakar, oleh sebuncah amarah, egoisme buta, perasaan tidak menerima, akan semua episode yang harus kujalani kala itu. Oh, dosa apa wahai cinta...

Dan keempat, hadir musim gugur yang disambut kembali oleh dingin yang sekat. Kali ini hatiku benar-benar gugur. Setidaknya untuk saat ini, tatkala kudengar, bahwa sepercik cahaya cinta benar-benar telah meninggalkanku. Di sini, aku tersekat dalam sunyi, berkawan dedaunan kering yang berjatuhan ke bumi. Entah aku hanya akan hilang diterpa angin, melayang, terombang-ambing hingga akhirnya lenyap, atau aku akan terpendam di perut bumi? Menjadi pupuk yang kan menumbuhkan tunas baru nan subur!

Arrrghhh... aku sedang tak ingin memikirkan bagaimana aku nanti! Yang jelas sementara ini aku ingin menikmati sepi, dalam penderitaan hati yang kubuat sendiri. Yaitu ketika mendengar suara bidadari, sama saja menyiram garam dalam luka hati. Sebab itu semua hanya mimpi, dan bidadari itu kini telah pergi dari alam mimpiku. Ia hanya akan menjadi mimpi. Indah, namun kemudian meninggalkan perih di hati. Perih seperti tawa yang menyimpan tangis!

Kini musim dingin semakin bertahta. Sebagaimana tahun sebelumnya, kejahatan demi kejahatan kembali terjadi. Gelap, pekat dan sekat. Ada yang jahat, ada yang laknat, ada yang tersekat. Aku, kamu dan mereka tersekat dalam bilik-bilik flat. Takut menghadapi senyap, ngeri menerobos gelap! Ada orang-orang gelap yang siap merampas hak kita!

Dan, di musim dingin ini, air mataku tak padat maupun beku. Justru ia sering meleleh keluar meninggalkan kelopak. Aku tak tahu. Mungkin ia keluar mengiring kepergian cinta yang kupuja. Mungkin ia meleleh bersama perpindahan bidadari ke alam mimpi lain. Atau justru ia menjelma ke alam nyata, sebagai bidadari lain, yang kan menghiburku di kala duka. Ah,... rasanya tak mungkin. Sejak kapan air mata menjelma bidadari? yang ada ia justru dititah menjadi magma!

Wahai,...
engkaukah sang musim,
yang begitu setia menemani perjalananku; dalam dinginmu aku tersekat beku, dalam semimu yang tak bersemi aku mulai layu, dalam panasmu aku terbakar lebur, dalam gugurmu akupun bak dedaunan berjatuhan dan dalam dinginmu lagi aku semakin pilu.

Maka untuk segenap rasa itu,
aku pasrahkan kembali kepada-Mu,
juga kepada musim tahun ini,
semoga yang dingin tak menyebabkan beku, yang semi betul-betul bersemi, yang panas tak membakar ganas, yang gugur satu kan tumbuh tunas seribu dan yang dingin tak lagi menyebabkan pilu!

Kairo, 1 November 2008, at: 2.45, dini hari yang sendu.

3 Komentar:

mademoiselle*bee said...

waw! gambarnya keren abiss!!!!!

syp tu yg nggambar??

Sabdapena said...

hem... iya dunk, gambarnya keren. Tapi gak tau tuh yang gambar siapa!hehe
soalnya pas tak tanya, "hei gambar, kamu yg gambar siapa?" Tapi dia bisu, gak mau menjawab.
jadi gitu bee ceritana...

Anonymous said...

Hi all. How are you?