Cathar Edisi Idul Qurban (part 1)

Saturday, December 13, 2008


Barangkali Ini Idul Adha Terakhirku Di Bumi para Nabi

Usai mengikuti ritual sholat Ied, khutbah dan ramah tamah yang diselenggarakan KBRI Kairo di Masjid Assalam, Nasr City, aku bersama kawan-kawan serumah segera pulang. Pada awalnya aku berniat untuk istirahat sejenak di rumah, karena setelah Dzuhur aku harus ke Muqattam untuk mengambil daging dari Syeikh Muhammad Khalid Tsabit, pemilik percetakan Darul Muqattam. Namun, di tengah perjalanan pulang yang kutempuh dengan jalan kaki, aku berinisiatif untuk menelpon beliau, memastikan apakah pengambilan daging benar hari ini. Ternyata, setelah aku menanyakan, beliau menjawab, pengambilannya ditunda esok. Kebetulan, bisa lebih longgar waktunya!

Sesampai di rumah, ada semacam perasaan gundah menelusup ke hati. Bisa jadi ini adalah Idul Adha terakhirku di sini, di negeri para nabi. Lalu apa yang harus aku lakukan dalam momen spesial ini? Otakku terus berpikir, mencoba mencari alternatif solusi yang bisa aku tempuh guna menenangkan hati. Andai saja aku punya kamera, aku ingin jalan-jalan di sepanjang jalan untuk memotret setiap aliran darah yang ditimbulkan oleh penyembelihan hewan kurban.

Sebab, sebagaimana yang kutahu selama ini, penyembelihan kurban biasanya dilakukan di sembarang tempat, di pinggir-pinggir apartemen, di pinggir jalan, dan anehnya mereka tidak membuat semacam kubangan untuk menampung darah hewan sembelihan. Namun mereka langsung saja menyembelihnya dan setelah itu darah yang mengalir di lantai-lantai atau di aspal-aspal diguyur dengan sentoran air dari pipa selang panjang. Walhasil, di pinggir-pinggir sepanjang jalan secara alami membentuk aliran darah yang memerah. Bagaimana tidak, tata kota yang ada memang tidak menyediakan selokan-selokan sebagaimana di Indonesia. Oleh sebab itu darah yang mengalir bisa menerobos ke mana saja, bahkan tumpah ke jalan raya sekalipun.

Tak hanya itu, terkadang beberapa orang iseng melumuri telapak tangan mereka dengan darah, kemudian distempelkan ke punggung-punggung mobil. Sebuah pemandangan yang sebenarnya mengerikan nan menjijikkan, namun di sini justru menjadi unik. Nah, pemandangan dan momen seperti inilah yang kali ini ingin kuabadikan sebagai kenangan kelak ketika aku telah kembali ke tanah air.

Beberapa saat setelah berfikir, aku menyalakan komputer dan meng-OL-kan YM. Ada Aan Zainul Anwar yang sedang Online di sekretariat NU, Bawwabah Dua. Juga ada beberapa kawan lain. Namun aku tertarik untuk menyapa Aan, mencoba iseng menanyakan kepadanya tentang peta perjalanan hari ini. Awalnya ia menjawab datar, belum ada rencana. Lalu aku utarakanlah niatku untuk mengajaknya jalan-jalan. Sebab, di sekretariat NU tentunya ada kamera yang bisa dipakai untuk jepret-jepret. Tawar menawar lewat chating.
“Jadi mau pergi ke mana nih?” tanya Aan.
“Aku juga belum tau, yang penting jalan aja. Memotret setiap tempat penyembelihan kurban yang banyak darah-darahnya” usulku agak konyol.
“Wah, asik juga tuh!” jawabnya cukup antusias. “Iya tapi kemana?” tanyanya lagi.
“Hem, ada usul?” aku kembali bertanya.
“Gimana kalo ke Mohandisin?”
“Wah, kalo Mohandisin kan daerah perkotaan, jadi kurang seru, kita nyari yang ada nuansa desa-desanya!”
“Yaudah kalo gitu ke Syubro aja!”
“Wah, terlalu jauh An!”
“Trus ke mana dunk?”
“Aku juga bingung. Tapi yang jelas kita harus berani jalan kaki kalau mau dapet foto!”
“Ah, kita naik bis aja Luth!”
“Iya tapi kemana?”
“Naik Jurusan Ahrom (Piramid) aja yuks, kan nanti lewat Tahrir, KBRI, Jami’ah Qahirah, dll. Gmn!”
“Terserah deh, asal kamu yang bayarin. Aku lagi nggak punya duit!”
“OK, nggak papa!” Aan setuju untuk take over ongkos jalan.

Namun, lagi-lagi aku belum merasa puas. Kalau cuma kamera NU rasanya kurang. Lalu muncullah keinginan untuk pinjam kamera di Rumah Budaya yang lebih keren. Aku telponlah Tabrani Basya, pengatur umum Rumah Budaya. Tapi sayang, jawaban yang aku dapat nihil. Sebab kameranya ternyata di bawa salah seorang anggota Rumah Budaya yang sedang menunaikan ibadah haji. Alternatif pertama gagal.

Aku mencoba mencari alternatif lain. Pinjam kamera Yanto, koordinator LSBNU, yang tipenya sama persis seperti kamera Bumah Budaya. Kemudian aku telpon Yanto. Deal! Alhamdulillah, akhirnya dapet juga kameranya. Kebetulan lagi nggak dipakai, jadi bisa aku pinjam. Ya, meskipun aku bisa ngambil kameranya baru pukul 1 siang, tak apalah meskipun molor. Yang penting dapet kamera bagus untuk potret-potret. Pukul 1 siang, aku masih belum beranjak dari kamar, hingga akhirnya Yanto menyapa lewat YM.
“Mas, kameranya dah bisa diambil nih, di TC (Tebu Ireng Center)”.
“OK To, nanti aku ambil. Kamu nggak ke mana-mana kan!”
“Enggak sih Mas, tapi kalo nanti saya pergi pun bisa kutitipkan sama orang di sini!”
“OK, seep, soalnya aku masih nunggu alarm dari Aan nih. Kayae tadi dia bilang mo Istirahat dulu sebentar.”
“Yaudah santai aja, Mas!”
“Thanks!”

Setelah itu aku sholat Dzuhur dan bersiap untuk meluncur ke TC. Pukul 2 siang aku baru keluar rumah, langsung menuju TC untuk mengambil kamera. Tak lama kemudian aku menuju Rumah Budaya yang bersebelahan dengan TC untuk mengambil Buletin MAKAR (Media Kebudayaan Rakyat) yang tadi sempat dibagikan di Masjid, namun aku pulang duluan sehingga tidak kebagian. Selepas itu aku menelpon Aan.
“An, sepuluh menit lagi kita ketemuan di depan market Habas Bawwabah tiga ya”.
“Wei, gitu ya, ok deh?!”
“Iya, aku sekarang sedang jalan melewati Suq Sayyarot (pasar mobil), bentar lagi sampai!”
“OK!”

Sembari berjalan, aku mengamati suasana sekeliling yang sepi. Meskipun tak dipungkiri juga masih banyak mobil yang lalu lalang, namun suasana lengang seakan menyergap alam kala itu. Masih pukul setengah 3 sore, namun langit terlihat gelap. Beberapa awan yang bergelantung di langit membentuk formasi acak yang sempat tertangkap kamera. Aku potret langit gelap, awan berarak dan jajaran tiang-tiang listrik yang menjulang di sepanjang Suq Sayyarot. Beberapa kakek tua dan nenek-nenek serta ibu-ibu duduk berjarak di setiap pinggir jalan. Apa yang mereka lakukan? tanyaku dalam hati. Oh, mungkin mereka sengaja parkir menunggu para dermawan yang membagikan daging atau sedekah uang! aku mencoba menerka-nerka. Ternya dugaanku benar, ketika aku melihat sebuah mobil yang berhenti di dekat mereka lalu memberikan bungkusan-bungkusan daging. Beberapa orang yang pada awalnya duduk lebih jauh berlari mendekati mobil, berharap mendapat bagian.

Tak lama kemudian aku sampai di Habas. Aku menunggu Aan yang sudah aku prediksikan datang terlambat. Aku belum sholat Ashar. Sementara adzan sudah berkumandang. Aku sholat dimana ya? Ah, di sini saja, biasanya juga para pegawai Habas kalau waktu sholat juga berjamaah di halaman depan market. Tapi kali ini, aku tunggu-tunggu mereka tak kunjung menggelar tikar untuk sholat. Oh, ternyata aku mendapati mereka sholat di dalam ruangan. Yah, nggak bisa ikutan sholat dunk kalo gini caranya. Lalu Aan datang.
“Sudah sholat?”
“Sudah, dunk!”
“Wah, aku belum nih An, sholat dimana ya?”
“Yaudah gini aja, kita naik angkot ke Sabi’ dulu, nanti kan di deket terminal sana ada masjid. Kamu sholat dulu aja di sana sembari nunggu bis jurusan Ahrom!”
“OK, yuk kita kemon!”

Lalu kami naik angkutan ke Sabi’. Sampai di sana langsung menuju masjid. Aku sholat Ashar. Setelah itu kembali ke terminal. Bus jurusan Ahrom sudah ada. Tapi ia diparkir tanpa ditemani sopir. Entah ia kemana. Kami tak langsung masuk, namun memilih menunggu di luar bus sambil motret-motret suasana sekitar. Di sebrang jalan berderet penjual kambing yang membiarkan kambing-kambingnya berkumpul tanpa diikat. Nampaknya mereka sudah sebegitu jinak, jadi tak butuh tali pengikatpun mereka tak bakal lari. Ughh, tak seperti di Indonesia!

Beberapa saat kemudian datanglah sang sopir. Lalu beberapa orang yang sebelumnya menunggu di luar bus segera naik. Begitu pula kami. Greng..greng.. sang sopir mulai menyalakan mesin bus. Lalu meluncurlah kami menelusuri jalan Kampung Tujuh, Rab’ah Adawea, Nadi Sikkah, Damardasy, Ghamrah, Ramsis, lalu sampailah ke Tahrir.

Nah, karena kami naik bus, akhirnya keinginan awal untuk jepret-jepret aliran darah gagal. Bagaimana bisa motret, sementara kami di atas bus yang berkaca buram, melaju kencang karena jalanan lengang. Oleh sebab itulah selama perjalanan kami berubah pikiran untuk mencari obyek jepretan di sunagi Nil, sebrang Tahrir. Maka turunlah kami di depan Mugamma, gedung departemen dalam negeri Kairo urusan kependudukan. Di situ kami mendapat view yang cukup bagus untuk bernarsis ria.

Setelah puas jeprat-jepter di depan Mugamma, kami berjalan menuju Nil. Tak kusangka ternyata di sana begitu ramai. Pagar sepanjang Nil sampai tak kelihatan karena penuh kerumunan manusia. Oh, baru tau aku, ternyata masyarakat Mesir juga suka menghabiskan waktu lebaran untuk berlibur atau sekedar refreshing di sunagi Nil.

Sampai di Nil pukul 4 lebih sedikit. Ah, masih ada beberapa saat menanti senja di sana. Lalu kami berniat untuk naik perahu menyusuri Nil. Di atas perahu itulah nantinya kami akan kembali bernarsis ria, berpose tanpa dosa, tak menghiraukan keramaian sekeliling. Ah, masa bodoh, jika tak sekarang kapan lagi bisa foto-foto di Nil, siapa tau lain waktu sudah tak sempat lagi.

Senja datang. Matahari merah merona. Aku mengabadikan Kairo senja di sungai Nil yang penuh berkah. Kuambil potret matahari yang mulai tenggelam di bebalik bangunan tinggi menjulang. Langit yang petang semakin menjadikan nuansa kontras antara hitam, kuning dan kemerahan. Kami melanjutkan perjalanan menyusuri tepian Nil dengan jalan kaki. Di bawah payungan awan yang kehitam-hitaman, membentuk arsiran hitam putih di lembaran langit. Aku kembali bergumam syukur untuk kesempatan senja ini. Sungguh indah karya agung Tuhan; matahari, sungai Nil dan Mesir.

Meskipun tak berhasil merealisasikan niat awal mengambil gambar-gambar darah, tapi Tuhan menggantinya dengan kesempatan mengambil potret senja di sungai Nil. Dan, sekali lagi hal ini lebih baik ketimbang aku hanya duduk bermalasan di kamar. Sebab dengan bergerak, kita akan mendapatkan sejuta hikmah yang luar biasa mahalnya. Lebih mahal dari sekedar uang transport. Lebih mahal dari sekedar biaya beli batrei kamera. “Dan sesungguhnya dalam setiap gerak akan ada barokahnya!”[]

Kampus biru Misykati; Senin, 8 Desember 2008.

0 Komentar: