Cathar Edisi Idul Qurban (part 3)

Sunday, December 14, 2008


Semburat Senja di Balik Menara

H+2 Idul Qurban aku berniat istirahat di rumah. Flu yang sedari kemarin menyerang semakin garang. Kini tubuhku bertambah meriang. Maka pada hari tasyrik kedua ini lebih baik aku berdiam diri di kamar, menghindari hawa dingin di luar sana. Seperti biasa aku hanya beraktivitas di depan komputer, chating, browsing dan membaca berita-berita terkini. Hingga di sudut siang, sekitar pukul 13.00 CLT, tiba-tiba ada yang menyapaku lewat YM.
“Ting, jalan-jalan yuk!” Exan yang ada di Gami’ mengajakku.
“Hem, ke mana emang?” tanyaku memberi harapan.
“Ke Azhar Park.” Exan menjawab lugas.
“Emang kenapa kok tiba-tiba ngajak keluar?” selidikku lebih jauh.
“Lagi stress...” keluhnya.
“Stress kenapa?” desakku ingin tau.
“Ada dech...!” kali ini jawabannya nggak lugas, menyembunyikan sesuatu.
“Wah, sebenere seh aku lagi gak enak badan, lagi flu. Tapi kalo ada yang ngajak jalan-jalan, trus mau bayarin ongkos naik bus plus tiket masuk Azhar Park, siapa taakuuut!”
“Ok, kalo gitu aku siap-siap dulu, nanti aku ke rumahmu!”
“Siiip, aku juga mau sholat Dzuhur dulu! Eh, jangan lupa juga beli batrei kamera dua pasang yaw, nanti kita jepret-jepret di sana!”
“Ok, beres boss!”

Lagi-lagi aku tak ingin membuang kesempatan untuk dapat merasakan momen lebaran di Azhar Park, sebuah taman di Kairo yang menurutku paling eksotik dibanding yang lainnya. Maka kali ini aku tak menghiraukan sakitku. Siapa tau dengan jalan-jalan, melihat pemandangan hijau daun di taman aku justru sembuh.

Pukul setengah dua Exan datang. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk kamera dan syal yang aku masukkan tas, kamipun berangkat. Jika ingin mencari jalur langsung, berarti kami harus naik bus nomer 65 kuning, yang memang melintas di depan Azhar Park. Kalaupun tidak, kami juga bisa naik bus 80 coret, turun di depan gedung Masyikhoh Azhar, Darrosah, lalu jalan kaki ke Azhar Park.

Siang ini panas, cerah. Tak seperti dua hari sebelumnya yang gelap. Sesampai di halte bus Musallats, aku mulai membuka pembicaraan.
“Emang ada apa nih, kok tadi katanya lagi stress?”
“Ya lagi ada problem aja.” Jawab Exan datar.
“Tapi bukan sama 'Jamela', kan!” aku coba menebak.
“Iya, sama 'Jamela'. Cuma salah faham kok!” Exan mengiyakan.
“Oh, ya biasalah, namanya juga sedang menjalin hubungan, tentunya salah faham adalah bumbu keseharian yang akan mendewasakan.” Lalu aku melanjutkan, “Eh, tau nggak? Dulu aku sama Ari, ketika sempet kehujanan di Abbas el-Akkad, aku sempat berujar: wah, langitnya gelap, udaranya dingin! Kemudian Ari menjawab: memang langit gelap dan angin dingin, tapi hatiku terasa hangat karena mentari saat ini sedang bersarang di hatiku!”
“Trus, kalo untuk mengungkapkan suasana saat ini gimana?” Exan bertanya menguji.
“Ya berarti kebalikannya. Langit begitu terang dan udara cukup hangat. Sementara hatimu gelap dan dingin karena siksaan cinta!” aku mengejeknya, dan kami berdua tertawa.

Aku tak melanjutkan pembahasan soal penyebab stresnya Exan. Dan ternyata dia punya topik pembicaraan lain sembari menunggu bus. Yaitu tentang prosesi kurban. Beberapa hari sebelumnya dia memang sempat menelponku, menanyakan tentang hukum kulit binatang kurban. Apakah boleh jika seandainya kulit itu dijual, lantas dibelikan daging, kemudian dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan? Apakah itu juga terhitung kurban?

Kala itu aku yang masih dalam kondisi setengah sadar dari tidur berusaha menjawab sekenanya. Aku bilang bahwa, jika kulit binatang kurban itu dijual lalu dibelikan daging untuk dibagi-bagikan, tidak bisa disebut bagian dari kurban. Namun lebih mendekati sedekah biasa. Saat itu ia mengiyakan jawabanku, karena nampaknya sedang tergesa-gesa.

Tapi kali ini dia mencoba menyampaikan beberapa argumennya, mungkin dia sudah membaca. Bahwa hal semacam itu tidak boleh dilakukan. Intinya, bahwa segala bagian dari tubuh binatang itu wajib dibagikan terlebih dahulu kepada para mustahiqnya. Termasuk kulit binatang dan kepalanya. Sebab sebagaimana yang jamak terjadi di Indonesia, masyarakat seakan telah salah kaprah, bahwa kepala binatang kurban selalu dijadikan upah bagi si penyembelih. Padahal, menurut syari’at, hal semacam itu kurang tepat. Yang lebih absah adalah, sang pengurban (mudhahhi) harus menyediakan upah berupa uang kepada penyembelih. Sementara seluruh bagian tubuh binatang harus diberikan cuma-cuma, dengan tanpa dihitung sebagai upah.

Diskusipun terus berlanjut, 10 menit, 20 menit, 30 menit hingga 40 menit kami berdiri di halte. Bus bernomer 65 dan 80 tak kunjung datang. Kami sempat berfikir untuk mencari alternatif jalur lain. Artinya kami bisa naik jalur tak langsung. Namun kami urung. Sudah terlanjur lama kami menunggu. Bisa jadi nanti kami naik jurusan lain, tiba-tiba 65 datang di belakang kami. Pasti menyesal.

Tak lama setelah itu, yang ditunggu akhirnya datang juga. Dari kejauhan terlihat bus 65 kuning yang sudah tampak renta. “Ah, untung tadi kita tak jadi naik angkot, pasti bakal nyesel. Alhamdulillah, penantianpun berujung. Sudah hampir jam 3. Yasudah nanti sesampai di sana kita langsung sholat Ashar”.

Pada awalnya kami berdiri. Tak ada tempat duduk. Namun di tengah perjalanan kami bisa duduk juga. Sampai di daerah Darrasah jalan mulai macet. Ada apakah gerangan? Tanyaku dalam hati. Bus melaju pelan menuju arah Azhar Park yang sudah terlihat dari kejauhan. Aku melihat deretan mobil cukup panjang di depan bus yang aku tumpangi. Kamipun memutuskan untuk turun dan jalan kaki.

Sesampai di depan gerbang Azhar Park aku cukup surpraise melihat ratusan orang mengantri di depan loket pembelian tiket. Kemacetan jalan di depan Azhar Park ternyata disebabkan oleh banyaknya mobil yang akan masuk kawasan taman, mengantri, sehingga menyebabkan macet. Sungguh ramai Azhar Park kali ini. Aku baru tahu jika pada hari-hari lebaran suasana semakin ramai. Tak hanya itu, aku juga kaget melihat tarif tiket yang lebih besar dari biasanya. Jika pada hari-hari biasa kita cuma perlu mengeluarkan 3 Pound untuk dapat masuk, kali ini harga satu tiket senilai 7 Pound.

Setelah melewati petugas pemeriksa di pintu masuk, kami segera menuju ke musholla untuk sholat Ashar. Mengingat angka jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 16.00, seusai sholat kami langsung hunting mencari tempat strategis untuk memotret senja hari yang begitu menawan.

Pantas saja kalau tiketnya mahal. Ternyata di dalam taman ada berbagai pertunjukan yang dibuka untuk umum. Di antara pertunjukan yang digelar adalah musik plus tarian sufi ala Turki, drama-drama singkat yang lucu nan kocak, juga ada penampilan musik klasik ala Ummi Kulsum. Mungkin karena inilah tiket lebih mahal, karena telah dihitung dengan biaya pertunjukan yang digelar di dalam taman, di ruang terbuka.

Untuk sementara aku dan Exan tak menghiraukan pertunjukan itu, karena kami disibukkan dengan acara potret-potret dan narsis ria. Tinggal ada waktu satu jam menanti senja. Oleh sebab itu kami segera naik ke dataran tertinggi di Azhar Park. Dari situ kami dapat menikmati panorama kota tua Kairo Fathimiyyah yang dikelilingi tembok. Aku jadi teringat akan tembok besar China. Namun tentunya yang di sini lebih kecil, lebih tipis.

Tiga gerbang utama; yaitu Bab al-Futuh, Bab al-Nasr dan Bab Zuwayla yang merupakan pintu gerbang Kairo Fatimiyyah terlihat gagah. Dari situ pula kami dapat melihat masjid al-Azhar, masjid Husein, dan masjid-masjid lainnya yang bedara di kawasan Kairo Fathimiyyah. Gedung-gedung hotel yang tinggi menjulang di kawasan Tahrir dan Nil juga terlihat megah. Di sisi lain, kami dapat menikmati pemandangan Jabal (gunung) Muqattam, lalu benteng Sholahuddin al-Ayyubi, dan yang paling terlihat megah adalah masjid Ali Pasha yang terletak di dalam benteng. Menelisik lebih jauh lagi, lamat-lamat kami mendapati dua sosok piramid yang lancip menusuk langit.

Sungguh pemandangan yang eksotik. Di atas daratan tinggi Azhar Park, kami berfantasi jeprat-jepret matahari senja, yang hampir berpulang ke peraduannya. Semakin petang matahari kian tenggelam di balik menara. Kami sempat mengabadikan ketika sang surya menancap di pucuk menara. Namun pemandangan itu tak berlangsung lama. Ia terbenam di balik piramida. Di ufuk barat negeri seribu menara.

Oh, sungguh indah panorama negeri senja. Aku tak pernah jemu untuk selalu menanti dan memburu matahari senja. Mengabadikan ronanya, lalu aku simpan dalam kelopak mata dan hati. Agar indahnya tak kunjung sirna. Hingga aku kembali ke tanah air. Lalu menceritakan keindahan-keindahan itu, kepada mereka semua yang kucinta. Semoga tak hanya indahnya mentari senja yang kuraup di sini. Namun juga mutiara-mutiara lain yang berserakan di bebalik bulir-bulir pasir gurun sahara.

Malam itu, di taman al-Azhar, udara begitu dingin. Aku dan Exan menggigil menahan terpaan angin yang menusuk pori-pori. Namun rasa itu dapat kami usir dengan melarutkan diri di antara kerumunan para pendatang yang menyaksikan pertunjukan. Sebagian berjoget, menari dan bertepuk tangan. Di hari lebaran ini, lagi-lagi aku larut dalam kebahagian, mensyukuri kejutan-kejutan dari Tuhan. Nikmat apalagi yang akan aku temui esok? Mampukah aku mensyukurinya? Dan, dalam gelapnya malam aku menyadari bahwa esok adalah misteri. Namun di saat yang sama esok berarti mimpi. Betulkah?


Kampus biru Misykati; Rabu, 10 Desember 2008

1 Komentar:

POTRET ZAMAN said...

mantap dan salam kenal
Bahren Nurdin