Ibu, Izinkan Aku Bertadarus Rindu!

Monday, December 22, 2008

Ibu. Hingga saat ini aku masih begitu mengingat akan hari-hari kecilku. Ketika aku mulai bisa merangkak dan berlari, ketika siku dan lututku sering lecet karena terjatuh. Engkau yang menyulamkan kancing bajuku yang lepas karena aku tak hati-hati. Engkau yang menyeka lukaku dengan obat merah betadine. Lalu aku meringis perih dan kesakitan.

Ibu. Engkau yang mengajariku berdiri, berjalan, cara memakai baju, cara membuang ingus. Cara makan yang benar. Cara mengunyah yang benar. Dan engkau yang memarahiku jika aku melakukan hal-hal yang kurang sopan, kurang beradab. Meludah di depan orang tua aku kau tegur. Memberikan sesuatu kepada orang dengan tangan kiri aku kau ingatkan.

Bukankah aku paling suka menangis ketika ditinggal pergi. Aku selalu ingin ikut. Setiap kali melihat bapak hendak menyalakan mesin vespanya, aku segera berlari mendekati. Jika bapak diam-diam menyetater vespa di luar rumah lalu melaju cepat-cepat meninggalkan halaman, aku segera berlari, mengejar, hingga capai sendiri. Setelah menyerah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak tahu apa yang mendorongku berbuat seperti itu. Bukankah aku masih kecil, belum bisa berfikir. Tapi sudah bisa merasakan!

Umur 4 tahun engkau mengantarku ke taman kanak-kanak. Aku terhitung masih sangat kecil dibanding teman-teman lainnya. Oleh sebab itu aku tak langsung sekolah secara resmi. Hanya ikut-ikutan. Tapi Bu Guru saat itu menerimaku. Semua anak seumuranku yang ingin ikut-ikutan sekolah dibiarkan saja. Bu Guru memang sabar dan bijaksana.

Baru ketika menginjak umur 5 tahun aku resmi menjadi murid taman kanak-kanak. TK Kecil istilahnya. Karena sekolah TK di desaku terbagi dua kelas. TK Kecil dan TK Besar. Namanya TK Al-Falah. Nah, baru setahun kemudian aku naik TK Besar. Engkau selalu mengantarku sekolah, dan menjemputku ketika pulang. Mulai waktu itu aku bertambah pintar. Ketika ada perlombaan TK antar desa, aku maju mewakili teman-teman TK-ku dalam lomba deklamasi. Seingatku waktu itu aku menang. Entah kalau ternyata kalah. Tapi setidaknya aku bangga mewakili TK-ku. Dan engkau pasti juga bangga melihat anakmu sudah berani beraksi.

Usia 7 tahun aku masuk Madrasah Ibtida’iyyah atau MI. Namanya MI Miftahul Falah Sridadi. Seragam putih-hijau membuatku makin gagah. Selain itu aku semakin nakal. Kenakalan lumrah seorang bocah. Kepala MI saat itu adalah kakekku sendiri. Beliau pula yang sejak itu membiayai sekolahku. Bukan engkau yang meminta, ibu, tapi kakek sendiri yang bersedia. Waktu itu, kakekku berkata kepadaku: "An, simbah tidak minta balasan apa-apa darimu meskipun simbah yang membayari sekolahmu. Simbah hanya berharap, jika simbah telah tiada nanti, jangan lupa kamu mengirim do'a selepas sholat. Atau jika sempat, tengoklah kuburan simbah dan do'akanlah simbah!" Saat itu aku hanya manggut-manggut saja.

Mengingat posisi kakekku yang kepala MI, ibu saat itu memesaniku setengah mengancam: “awas kalau tidak rangking satu, malu-maluin ibu dan kakekmu!” Mendengar ucapan itu aku jadi takut. Lebih tepatnya aku terbebani untuk jadi rangking satu. Konsekuensinya aku harus rajin belajar. Tak boleh banyak main.

Dasar anak nakal. Di usia MI aku makin suka bertengkar. Suka berkelahi dengan teman-teman sekelas. Mungkin saat itu terpengaruh film-film laga Indonesia dan film India. Isinya pertunjukan orang-orang berkelahi. Makanya anak-anak seusiaku waktu itu juga suka menirukannya. Perang-perangan. Akhirnya kalau tertonjok atau terpukul jadi pada nangis. Jika aku kalah dan menangis, pasti aku mengadu padamu, ibu. Dan engaku segera memarahi mereka yang membuatku menangis.

Menurutku sendiri engkau memang termasuk ibu yang galak. Di samping aku yang menakutimu, teman-teman sebayaku juga takut jika engkau sudah marah. Engkau begitu keras dan ketat. Selalu membatasi ruang gerakku. Tak boleh inilah, tak boleh itulah. Jika teman-temanku bisa memancing dan mandi di sungai sesuka mereka, aku kau larang untuk ikut-ikutan. Katamu di sungai airnya kotor, banyak ular, banyak nyamuk. Belum lagi juga banyak setan dan jin. Nanti kamu bisa sakit kulit, gatal-gatal, digigit nyamuk demam berdarah. Jadi lebih baik tak usah memancing di sungai. Kalau mau makan ikan kan bisa beli. Lebih aman.

Pokoknya saat itu aku paling takut sama engkau, ibu. Jika aku nakal dan berbuat salah, engkau langsung memukulku. Sekencang-kencangnya. Terkadang dengan sapu atau kayu. Tentu aku merasa kesakitan. Terkadang engkau menjewer telingaku. Jika sudah seperti itu aku pasti nangis. Sesenggukan hingga waktu yang lama. Bapak orangnya pendiam. Beliau jarang ngomong jika tak begitu perlu. Beliau sibuk bekerja, ngajar di sekolah dan sesekali ke sawah. Jadi yang lebih sering memantauku adalah engkau. Tapi meskipun begitu, aku tau engkau menyayangiku, ibu. Sangat menyayangiku. Karena yang engkau lakukan bukan menghukumku, tapi mendidikku.

Buktinya, meskipun nakal, tapi nakalku sebanding dengan prestasiku. Ancaman ibu justru membuat otakku makin cerdas. Maka setiap kali menerima rapot di akhir catur wulan, aku selalu rangking satu sekelas, hingga kelas 6. Ternyata aku tidak malu-maluin ibu dan kakekku.

Masih di usia MI pula, seingatku sejak kelas 3, aku tak pernah lagi tidur di rumah bapakku-ibu. Aku tidur di rumah kakek-nenekku. Katanya, aku diminta untuk menemani mereka. Sebab anak-anak dari kakek-nenekku, selain yang sudah berkeluarga, sisanya pada kuliah dan mondok di kota. Jadi mereka jarang pulang. Akhirnya aku menuruti tawaran itu. Sejak saat itu, aku selalu menjalani ritual keseharian yang monoton, namun bagiku tak begitu membosankan.

Pagi jam 7 masuk MI, pulang jam 1 siang. Setelah itu jam jam 2 siang masuk Madrasah Diniyyah hingga jam 5 sore. Setelah itu pulang ke rumah bapak-ibu, persiapan sholat Maghrib. Usai sholat Maghrib ngaji al-Qur’an di masjid. Gurunya adalah bapakku sendiri. Beliau lulusan pesantren. Bacaan al-Qur’annya bagus dan fashih. Tajwidnya juga menguasai. Hingga datanglah Isya’.

Setelah itu mulailah aku siap-siap untuk berangkat ke rumah kakek-nenek yang terletak tidak sampai setengah kilometer dari rumahku. Aku naik sepeda yang dibelikan bapakku. Sampai rumah kakek-nenek aku belajar, tidur, bangun pagi lalu sarapan. Setelah itu aku kembali ke rumah bapak-ibuku, ganti seragam sekolah lalu dikasih uang saku. Berangkatlah aku ke MI yang terletak 100 meter di depan rumah bapak-ibuku. Jadi di rumah kakek-nenekku aku hanya numpang belajar dan tidur, juga minum kopi dan sarapan. Hehehe...

Pada masa-masa itu, di desa tetangga sering menyelenggarakan hiburan-hiburan. Mulai dari dangdut ria, karaoke, pemutaran video, layar tancep, seni ketoprak, wayang kulit dan lain-lainnya. Namun engkau, ibu, selalu melarangku untuk ikut nonton. Aku kau larang untuk ikut-ikutan teman sebayaku yang bebas melakukan sesuka mereka. Mau nonton sampai malam hingga pagipun bebas. Orang tua mereka tidak melarang. Sementara aku, aku masih saja kau batasi. Hingga aku kelas 6 MI pun, masih selalu kau atur. Saat-saat itu, ada perasaan dongkol dan ingin berontak. Kenapa aku tidak boleh ini dan itu. Aku kan sudah besar. Aku kan malu sama teman-teman, masak tak pernah gaul? Meskipun aku juga bergaul dengan mereka di madrasah, tapi kan aku juga pingin ikut bareng-bareng dengan mereka, sekedar melihat dunia luar. Gumamku saat itu.

Kelak, semua hukumanmu, setiap batasan-batasan yang kau buatkan untukku justru begitu aku syukuri. Bahkan, kelak aku sangat berterima kasih kepadamu karena telah menjaga masa kanakku. Engkau menjagaku dari penyakit, menjagaku dari pergaulan, menjagaku dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik.

Lulus dari MI, aku masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Falah. Lagi-lagi di fase ini kau mengancamku. “Bapakmu kan kepala MTs, jika kamu tak dapat rangking, lebih baik tak usah sekolah. Aku belikan saja kamu kambing dan jadi gembala saja!” Wah, ancaman ibu semakin ganas. Masak aku disuruh jadi gembala kambing? Ya sebenarnya dari kecil memang sudah jadi gembala, tapi kan pada saat libur sekolah saja. Kalau ini, fuiih... jadi gembala selamanya. Ohh.. tidak! Tentu saja aku semakin tertekan. Bagaimana tidak, ketika awal masuk MTs, nilai UAN-ku saja masih kalah dengan teman-teman lain yang berasal dari berbagai desa sebelah. Tuntutanku makin berat. Kalau mengalahkan nilai teman-teman satu desa mungkin aku bisa, tapi kali ini kompetisinya lebih ketat. Bismillah..., daripada jadi gembala.

Kenakalanku mulai berkurang. Aku memasuki masa remaja yang menyenangkan. Mengingat ancaman ibuku aku jadi semakin rajin belajar. Walhasil, nilai tes caturwulan pertama turunlah sudah. Karena yang menerima rapor adalah wali murid, aku tidak langsung tau hasilnya. Tapi bapakku yang lebih dulu tau. Beliau ternyata bisa juga bikin surprise. Pertamanya, ketika sampai rumah, beliau berbohong kalau aku tak dapat rangking. Tapi ternyata, aku dapat rangking satu! Ugh.. betapa senang diriku.

Saat itu, yang mendapat rangking satu dapat beasiswa berupa gratis SPP. Hingga akhir kelas 3, aku selalu dapat rangking, meskipun sempat turun jadi rangking 2 selama 2 kali. Lumayan, kakekku tak harus bayarin biaya sekolahku lagi. Tapi kakekku tetap memaksa. Meski tak bayar SPP, beliau masih memberikan jatah SPP. Oleh karena itu, aku punya inisiatif untuk menabung. Di akhir tahun kelas 3, tabunganku lumayan banyak, jadi bisa buat bayar biaya tamasya sekaligus untuk bekal saku.

Oh, ibuku yang galak! Ternyata sikap ibu itu ada manfaatnya juga. Meskipun anakmu ini jadi takut setengah mati padamu, tapi hal itu malah membantuku dalam berprestasi. Di samping galak, ternyata ibuku juga sangat cengeng. Hal itu terbukti ketika lulus dari MTs, aku hendak merantau ke kota budaya, Solo. Tepatnya aku melanjutkan ke Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Solo. Saat itulah justru aku melihat ibu cengeng. Beliau merasa berat aku jauh dari rumah. Beliau menangis ketika hendak meninggalkan aku di asrama. Mungkin ibu berpikir, bagaimana aku bisa mencuci baju sendiri, bagaimana bisa nyetrika, bagaimana ini dan itu. Sebab, sejak dulu selalu ibu yang melakukan itu semua. Ketika masih di rumah, aku sangat malas untuk belajar mandiri.

Meskipun begitu, aku malah senang bisa sekolah di tempat yang jauh dari rumah. Rumahku terletak di desa Sridadi, kabupaten Rembang. Mungkin karena aku tak akan mendengar omelan ibuku lagi. Tak akan mendengar beliau bentak-bentak jika aku malas-malasan dan sering nonton TV.

Namun di samping itu, diam-diam aku juga mengagumi ibu. Meskipun juga sedikit ‘membenci’nya karena galak. Yaitu ketika setiap habis Subuh dan Maghrib, beliau selalu membaca al-Qur’an, terlebih surat Yasin, Waqi’ah dan ar-Rahman. Tak terasa kebiasaan ibu ini sangat bermanfaat bagiku. Pasalnya, ibu selalu membaca surat-surat itu dengan suara cukup keras sehingga bisa di dengar oleh seisi rumah. Ibu ternyata punya bakat sebagai qori’ah. Suaranya merdu. Pantas setiap kali apa pengajian ibu-ibu di desa, ia selalu diminta untuk membawakan tilawah al-Qur’an.

Dengan seperti itu, karena selalu mendengar ibu ngaji, lama-lama tak terasa aku hafal juga dengan surat-surat itu. Jika tak hafal 100%, setidaknya aku sangat akrab, karena sering kudengar. Sehingga, ketika aku sudah sekolah di Solo, hal tersebut cukup membantuku dalam proses belajar. Minimal, ada beberapa dalil al-Qur’an yang sudah terekam di otakku melalui rutinitas ibu mengaji.

Setamat dari Solo, ibuku lebih merana lagi. Sebab aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aku berniat untuk hijrah dari tanah air untuk menuntut ilmu. Karena cita-cita ini sudah ada sejak lama, ibu pun dengan berat hati mengizinkan. Dan atas berkat rahmat Allah aku diterima di Universitas al-Azhar Mesir, setelah melalui ujian seleksi DEPAG. Namun keberangkatanku harus menunggu selama setahun dulu. Aku tak tahu. Masalah birokrasi. Urusan pejabat.

Dalam masa penantian menuju keberangkatanku ke Mesir, ibu memintaku untuk tinggal di rumah saja. Ibu tidak mengizinkan aku mondok atau kursus dulu entah di mana. Ibu menginginkan agar sebelum berangkat jauh, aku di rumah saja. Mungkin bisa sambil menghafal al-Qur’an di rumah. Agar nanti ketika di Mesir sudah punya tabungan hafalan. Usul ibu aku terima juga. Permintaan ibu ini semakin memberikan kesan kepadaku bahwa ibu sangat menyayangiku. Ibu tidak ingin aku jauh darinya. Di balik wataknya yang keras, ibuku ternyata juga mempunyai “hati lemah”. Yaitu sebuah perasaan normal seorang ibu, yang sangat menyayangi anaknya. Sehingga, ketika perasaan itu menguasainya, ia akan sangat merasa kehilangan ketika ditinggal pergi jauh oleh anaknya. Nah, ibuku sepertinya juga begitu. Berat melihat anaknya pergi jauh ke negeri sebrang.

Di hari keberangkatanku, di bandara Soekarno-Hatta, ibuku menangis sejadi-jadinya. Beliau memelukku erat. Akupun memeluknya. Sebenarnya aku juga ingin ikut menangis. Tapi aku malu dengan teman-teman serombongan. Aku anak laki-laki, masak cengeng. Ternyata bukan hanya ibuku yang menangis, ibu kawan-kawankupun pada nangis. Oh, tangis haru para ibu adalah do’a yang mengiring kepergian para duta bangsa. “Cung, nanti kan kamu di sana lama, jaga diri yo Cung, hati-hati, jaga kesehatan. Belajar yang sungguh-sungguh. Ibu akan selalu mendo’akan. Jangan lupa kalau sudah sampai kirim kabar!” begitulah kira-kita pesan ibu ketika memelukku. Air matanya semakin deras meleleh dari kedua bola matanya. Sesenggukan. Sementara bapakku, beliau tentunya lebih tegar. Sebagai sesama cowok, aku memeluk bapakku penuh bangga, pundakku ditepuk-tepuknya sambil berpesan untuk jaga diri dan belajar yang rajin.

Sesampai di Mesir, aku jarang menelpon ibu. Paling Cuma bisa sms. Sebab tarif telpon internasional tentu mahal. Mungkin momen-momen tertentu saja aku menelpon ibu. Antara lain ketika mau ujian dan hari raya. Bisa jadi justru ibuku yang menelpon dari Indonesia. Tergantung siapa yang duluan. Tapi satu yang tak pernah berubah dari ibu. Ia selalu menangis setiap kali menelpon aku. Meskipun terkadang beliau berusaha menahan, tapi suaranya yang parau dan bergetar tak bisa membohongiku, beliau menangis. Selalu menangis. Maka dari itu aku akan rada enggan untuk menelpon ibu. Bukan karena apa-apa, tapi karena aku tak kuat mendengar tangisnya.

Dan, satu lagi yang selalu ibu tanyakan ketika di telpon: “Cung, Qur’anmu gimana?” dan aku selalu menjawab diplomatis: “iya Bu, insya Allah aku jaga, masih seperti dulu, 8 juz, belum bisa nambah, Bu, karena tersita untuk belajar mata kuliah. Tapi insya Allah saya usahakan bisa nambah hafalan!” Awal-awal aku di Mesir, ibuku selalu menanyakan hafalan Qur’anku setiap kali telpon. Lagi-lagi aku merasa terbebani. Sebab, jujur aku belum bisa nambah. Maafkan aku ibu, aku hanya beralasan saja. Sebenarnya, aku belum bisa menambah hafalan adalah karena malas. Bukan karena pelajaran yang terlalu berat sehingga menyita waktu dan fikiranku. Sekali lagi, maafkan aku untuk masalah ini. Aku takut, semakin banyak aku menghafal, semakin sulit aku menjaganya.

Setelah beberapa tahun mendiami negeri para nabi, aku semakin merindukanmu ibu. Aku rindu masakanmu yang enak. Yang selalu cocok dengan lidahku. Aku rindu kau marahi, kau bentak jika tak segera ke masjid ketika adzan. Aku merindukan bacaan ngajimu, suara merdumu. Aku merindukan air matamu yang tiap malam kau teteskan, menangis kepada Tuhan untuk keselamatnku, keberhasilanku di sini. Diam-diam kau sangat menyayangiku. Engkau dan bapakku yang secara kompak senantiasa mengirimkan kucuran do’a dan semangat. Agar aku rajin belajar, agar aku cepat kembali ke pangkuanmu. Ibu, aku merindukan seluruh dirimu, jiwa dan raga. Semoga Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu. Sebab, aku belum bisa membalas apa-apa akan jasamu. Ibu, do’akan aku bisa segera kembali kepadamu. Mengabdikan diriku![]


Note: “Spesial kutulis surat ini untuk engkau, ibu Isti’anah, di hari dimana orang-orang menyebutnya hari ibu. Semoga Allah Yang Maha Kuasa selalu menjagamu, agar kau terus ada untuk mendo’akanku!”

Kairo, 22 Desember 2008
Anakmu

2 Komentar:

Anonymous said...

naes blug brader?

hm....saiia jadi terharu:(
(ibu...)
in de nem of loph

...miss U...

Usqi Krizdiana said...

,jadi kangen sm ibu..hikz..,