Ramadhan dan Mukjizat Al-Qur`an

Tuesday, September 15, 2009

Suatu ketika, tatkala Ramadhan telah tiba, Rasulullah SAW berkata kepada para Sahabatnya: “Sungguh telah datang kepada kalian sebuah bulan penuh berkah, yang di dalamnya Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat satu malam yang (pahalanya) lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa mendapatkan keberkahannya, maka beruntunglah ia!” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi)

Melalui sabda Nabi di atas, kita dapat memetik sebuah pelajaran akan keagungan bulan suci Ramadhan. Tak ada bulan lain yang keberkahannya melebihi Ramadhan. Ia ibarat seorang utusan dari Sang Maha Raja alam semesta untuk mendatangi rakyatnya dengan membawa sebongkah hadiah dan cindera mata. Namun, hadiah itu barangkali tersembunyi di dalam sebuah kotak tertutup yang dibawa serta oleh sang utusan. Sehingga, tak semua orang bisa melihat dan mengetahui maksud kedatangannya. Alhasil, di antara para rakyat ada yang menyambutnya penuh suka-cita dan penghormatan, adapula yang acuh tak acuh terhadapnya.

Demikian pula potret Ramadhan. Bagi yang mengetahui kadar keagungannya, ia akan berusaha mengoptimalkan setiap usaha untuk meraup berkahnya. Tapi yang tak tahu akan nilai penting Ramadhan, hanya akan membiarkannya berlalu begitu saja. Tatkala Ramadhan pergi, ia justru bahagia karena kembali bisa makan dan minum kapan saja. Tapi bagi golongan pertama, mereka akan bersedih hati ditinggal pergi sang Ramadhan.

Sejatinya, nilai keagungan Ramadhan terangkup dalam beribu dimensi yang dikandungnya. Tak semuanya mampu kita ketahui, karena keterbatasan manusia dalam memahami misteri-misteri ilahi. Namun, setidaknya ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari bulan suci ini. Antara lain adalah; wujud kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya, pembelajaran dalam ranah kehidupan sosial maupun personal, ajang penyucian hati dan jiwa, sekaligus peluang untuk mengimplementasikan rasa syukur atas nikmat Tuhan yang tiada pernah terbilang.

Di samping itu, ada poin penting lain yang dapat kita petik dari kehadiran Ramadhan. Yaitu sebuah peristiwa agung dalam sejarah umat Islam, nuzulul Qur`an. Ramadhan mendapatkan kemuliaan berlipat-lipat karena di dalamnya al-Qur`an diturunkan. Sebuah mukjizat abadi yang tak lekang dilindas zaman.

Allah SWT berfirman: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya al-Qur`an diturunkan, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan (sebagai) pembeda (antara yang benar dan yang bathil.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Maka, tatkala al-Qur`an diturunkan pertama kali di bulan Ramadhan, kita perlu membersihkan diri dari hal-hal yang keji, menyucikan hati dan jiwa, guna menyambut sebuah hari dimana sepucuk kitab suci diturunkan ke muka bumi. Mengingat keagungan kitab itu, kita patut menyambutnya penuh kelapangan; dengan meninggalkan makanan dan minuman, kemudian membacanya penuh penghayatan dan kekhusyu’an seakan-akan setiap ayat yang kita baca baru saja diturunkan dari ‘arasy keagungan-Nya.

Selain itu kita juga dianjurkan untuk mendengarkan ayat-ayat itu dibacakan. Menyimak dengan penuh konsentrasi, bahwa kita tengah mendengarkan susunan kalam ilahi yang penuh makna. Dengan demikian kita akan sampai pada derajat kemurnian hati dan kejernihan fikiran. Tatkala mendengar ayat al-Qur`an dibacakan, kita membayangkan bahwa seakan-akan kita menyimaknya langsung dari Rasulullah. Bahkan, kita bembayangkan bahwa ayat-ayat itu sedang dibacakan oleh sang penyampai wahyu, Jibril As. Dengan demikian kita mampu menyerap keagungannya, lalu berusaha menjalankan ajaran-ajarannya.

Maka melalui dimensi Ramadhan ini, sangat perlu kiranya bagi kita untuk kembali memaknai arti penting mukjizat al-Qur`an. Bahwa ia adalah kitab suci yang diturunkan di bulan suci dari Dzat Yang Maha Suci. Al-Qur`an diturunkan sebagai kitab petunjuk (hudan). Sebuah buku pedoman yang selalu relevan di setiap zaman. Namun, akankah hikmah itu bisa kita rasakan, jika kita masih enggan bertadarus al-Qur`an, mentadabburinya, lalu mengamalkannya?

Ramadhan laksana sebuah ladang yang begitu subur. Maka barangsiapa mau bercocok tanam di dalamnya; dengan memperbanyak amal kebajikan, bersedekah, dzikir, tadarus al-Qur`an dan lain sebagainya, maka ia akan memetik buahnya di akhirat kelak. Terlebih, di bulan Ramadhan ada malam Lailatul Qadar, yang barangsiapa menjumpainya dengan dibarengi amal kesalehan, ia akan mendapatkan keberuntungan tiada tara. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr [97]: 3). Wallâhu a’lam.

Baca Selanjutnya...!...

Bulan Bertabur Cinta

Membincang Ramadhan erat kaitannya dengan cinta dan kasih sayang. Bagaimana tidak(?), Allah Swt. sendiri telah memilihnya sebagai bulan dimana kasih sayang-Nya ditumpahkan di seantero langit dan bumi.

Sepertiga pertama adalah bentuk awal dari cinta kasih Allah kepada para hamba-Nya (awwaluhû rahmah). Sementara sepertiga kedua adalah implementasi rasa cinta Allah dalam bentuk yang lebih besar, yaitu berupa ampunan (awsathuhu maghfirah). Adapun sepertiga terakhir adalah puncak ungkapan cinta Allah yang berupa penyelamatan dari api neraka (itqun minan nâr).

Ketiga ihwal di atas tiada lain adalah jelmaan-jelmaan kasih sayang Tuhan kepada para hamba-Nya yang ta’at dan ikhlas. Barangsiapa mampu meniti tangga-tangga hari di bulan Ramadhan dengan amal ibadah yang baik, maka anugrah terbesar akan ia dapatkan. Adakah yang lebih berharga dari cinta kasih Tuhan? Sebab jika Allah sudah mengasihi hamba-Nya, maka hanya sorga jaminannya.

Ramadhan sebagai bulan kasih sayang juga tercerminkan dalam pola interaksi sosial yang terjalin dalam masyarakat Islam. Baik si kaya maupun si miskin berada dalam posisi yang sama. Sama-sama merasakan derita haus dan lapar. Sama-sama membina hati untuk bersabar. Sama-sama menata niat untuk tawakkal.

Maka dalam kondisi seperti ini, akan muncul sebuah dorongan hati untuk saling berbagi. Yang kaya memberi yang miskin. Dan, yang miskin menerimanya sebagai bentuk derma & karunia. Dengan memberi, berarti si kaya telah melakukan sebuah implementasi kesyukuran atas anugrah Tuhan kepadanya. Dan, dengan menerima, si miskin juga telah bersyukur akan nikmat yang diterimanya, melalui tangan si kaya. Sungguh sebuah jalinan kasih sayang sesama muslim yang sinergis!

Di samping itu, bentuk cinta lain yang kita rasakan di sela-sela Ramadhan adalah “al-Qur`an”. Tak bisa dipungkiri, bahwa al-Qur`an merupakan salah satu wujud kasih sayang Tuhan. Ia adalah sekumpulan surat cinta Tuhan yang diturunkan kepada segenap manusia beserta alam semesta.

Al-Qur`an diturunkan pada malam keberkahan (innâ anzalnâhu fî lailatin mubârakah. [Ad-Dukhân: 3]). Malam keberkahan itu disebut malam Lailatul Qadar (innâ anzalnâhu fî lailatil qadr. [Al-Qadr: 1]). Dan malam Lailatul Qadar terdapat pada bulan Ramadhan (Syahru Ramadhân alladzî unzila fîhi al-Qur`ân...[Al-Baqarah: 185]).

Maka dengan firman-firman Allah ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran, betapa al-Qur`an diturunkan sebagai berkah dan kasih sayang, dari Dzat Yang Maha Penyayang, kepada seorang makhluk penyayang (Muhammad Saw.) dan diperuntukkan sebagai pedoman dan petunjuk bagi seluruh insan.

Adakah pahala yang lebih besar dari pahala malam Lailatul Qadar? Satu malam berbanding seribu bulan. Sementara umur manusia rata-rata tak sampai seribu bulan, yang jika kita hitung sepadan dengan 83 tahun. Umur Rasulullah saja hanya 63 tahun. Namun mengapa Allah memberikan peluang kepada setiap hamba untuk dapat beribadah dalam satu malam tapi diganjar seperti ibadah 1000 bulan/83 tahun? Bukankah ini adalah juga bentuk cinta yang sangat istimewa dari Dzat yang kasih sayang-Nya tiada pernah terbilang?

Maka mukjizat al-Qur`an yang hingga kini dan sampai kapanpun akan tetap terjaga nan abadi adalah sebongkah ungkapan cinta dari Tuhan. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan terhadap al-Qur`an. Apakah hanya sebatas kita baca ‘surat cinta’ itu? Atau kita baca sambil menghayati kandungan maknanya? Atau kita jadikan ia sebagai bekal termewah untuk meniti kehidupan dunia dan akhirat?

Jika pertanyaan pertama yang kita pilih, maka hanya dengan membacanya pun kita telah mendapatkan pahala. Bila kita memilih pertanyaan kedua, maka pahala dan hasilnya akan semakin banyak. Sebab, setelah kita memahami kandungan maknanya, kita akan beranjak mengamalkannya. Dan apabila pertanyaan ketiga yang kita tempuh, maka kebahagiaan hakiki akan kita raih.

Tapi ironisnya, jika kita justru acuh tak acuh terhadap surat-surat cinta itu. Jika membacanya saja enggan, maka bagaimana kita bisa mendapatkan cinta dari Dzat yang mengirim surat cinta itu? Dan jika demikian yang terjadi, berarti secara tidak langsung kita telah menolak cinta dan kasih sayang Tuhan yang sebenarnya dialamatkan kepada kita. Na’ûdzubillâh!

Dari beberapa deskripsi di atas, kita bisa menyimpulkan betapa Ramadhan adalah bulan bertabur cinta. Yang telah disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja dimensi cinta dan kasih sayang yang terangkup dalam madrasah Ramadhan. Masih banyak lagi bentuk kasih sayang lainnya yang bisa kita lihat dan rasakan. Maka dengan keutamaan yang seperti ini, akankah kita menyia-nyiakan Ramadhan?? Wallâhu a’lam.

Baca Selanjutnya...!...

S.a.j.a.d.a.h K.u.s.u.t !

Tuesday, September 01, 2009


Aku hamparkan sajadah kusutku di altar bumi-Mu
di tingkahi sinar temaram rembulan aku bersimpuh
mendongak langit lepas mengetuk 'arasy-Mu
menundukkan hati menyucikan ruh.

Meski telah berulangkali aku sujudi
tetap saja sajadahku menemani dalam munajat-munajat sunyi
ia tak kan pernah pensiun selama wujudnya masih utuh walau telah lusuh
sebab selama itu pula polah tingkahku terus berubah;
terkadang baik, terkadang buruk
maka ketika baik aku butuh sajadahku untuk bersyukur
dan ketika sedang buruk aku membutuhkannya sebagai penegur.

Sajadah lusuhku
meski fana sifatmu
tapi engkau penanda bagiku
dalam menempuh ta'at, mengusir maksiat.

Sajadahku,
bertahanlah untuk tetap maujud
menemaniku bersujud!!


Sabdapena,
Pojok Dukuh Segitiga, 01 September 2009, 05.19 AM.

Baca Selanjutnya...!...

Jejaring Rahmat-ku yang Sobek(?)

Monday, August 31, 2009

Sederet dimensi waktu minggat
tatkala Sang Rahman usai mengobral cinta-Nya
menabur embun-embun rahmat
di gersang sahara yang membara.

Aku ibarat nelayan
di samudera kasih sayang
hendak menuju pulau keberkahan
berharap bisa untung
menjaring ikan ketakwaan.

Namun aku silau
ditimpali bias cahya-Mu yang melebihi mentari.
Aku tak cukup kuat,
menampung agung-akbarnya kemurahan-Mu
Sehingga kurnia megah yang tak kunjung nihayah
membuatku lengah untuk bermuhasabah.

Aku seharusnya sabar dalam menahkodai perahu
tak perlu menoleh kanan-kiri
melirik kilau-kilau permata yang sejatinya fatamorgana,
hanya busa(!),
hasil benturan ombak yang kuanggap mutiara,
aku tertipu sepanjang samudera.

Tujuanku masih panjang
di ranah pulau keselamatan,
tak mampu kutangkap intan rahmat-Mu,
yang Kau tabur di tepian pulau-Mu,
karna sepanjang perjalanan yang lalu,
jejaringku telah sobek nan bolong,
digerus tamak-ananiyahku.

Bukan ikan kasih sayang-Mu yang kujaring,
namun tipuan dan rayuan,
menutupi alam kesadaran,
sehingga aku lalai akan tujuan,
dan telah lunglai sebelum pelabuhan.

Gusti,
pada sepuluh dimensi awal ini
aku lengah,
apalah daya jika rahmat-Mu tak mampu kurengkuh,
bagaimana hendak kulalui samudera maghfirah-Mu(?)
mengais ampunan atas segala nisyan.

Aku dibius kerlap dunia,
hingga lumpuh jiwa-raga
dan otakku semakin keruh.

Namun,
dalam gontai langkahku,
sepucuk puja beserta doa kupanjatkan
agar terus dapat bertahan
melanjutkan perjalanan.

Ya Rahman,
Ya Rahim,
Irhamna.


Pojok Dukuh Segitiga, 01 September 2009, 03.02 AM.
"Renungan 10 hari pertama Ramadhan 1430 H."

Baca Selanjutnya...!...

Masisir; Gelanggang Irasionalitas yang Terinferiorasi?

Monday, July 27, 2009

Di suatu malam yang gaduh, aku merenung tentang potret negeri mimpiku. Yaitu di sejengkal tanah yang terberkahi oleh kehadiran para nabi dan wali. Dahulu aku bermimpi akan banyak belajar di sini. Aku berangan akan menemukan kawan-kawan yang bersemangat dan menggebu dalam menyelami samudera ilmu. Sebuah negeri yang menurutku akan memberikan kekayaan rasa dan asa.

Namun, semua memang hanya mimpi. Apa yang aku bayangkan tak selaras dengan fakta di lapangan. Sebab, sebagaimana dalam dunia mimpi, skenario dan alur cerita bisa saja loncat-loncat tak jelas arah. Buktinya, semua angan tadi hanyalah fatamorgana. Aku justru lebih cenderung bermalasan. Kawan-kawanku pun demikian. Hanya segelintir saja yang menyadari keberadaannya sebagai mahasiswa?

Yang lebih dominan bukan persaingan dan kompetisi di bidang keilmuan. Tapi sebaliknya, politik telah mengangkangi niat suci. Hegemoni menjadi cita-cita agung yang patut diperjuangkan. Hanya demi sebuah nama, institusi dan organisasi. Sementara kepentingan bersama tercabik-cabik. Amanat utama yang bertengger di pundak setiap mahasiswa dan pelajar justru ter-sia-kan.

Halaqoh-halaqoh diskusi semakin sepi. Muthala’ah, rutinitas membaca kitab, mendalami materi sesuai spesifikasi, menjadi pemandangan langka yang menyedihkan. Hanya segelintir orang saja yang menyadari, betapa belajar sangatlah penting, betapa membaca dan menulis adalah ibadah sekaligus bekal untuk hidup di dua alam: dunia-akherat.

Kesemuanya itu tergeser oleh suguhan-suguhan kemudahan yang dibawa serta melalui teknologi-teknologi canggih masa kini. Sebagian orang lebih suka hidup sendiri, hidup secara individual, tanpa mengindahkan norma-norma kebersamaan. Jika ada keramaian, kita bisa menebak acara apa yang sedang digelar. Kebanyakan adalah kegiatan hiburan. Kegiatan yang tidak melibatkan otak dan nalar untuk bergerak. Pada gilirannya, secara pelan-pelan, otak semakin sulit bekerja, karena tak pernah difungsikan. Dan nuranipun padam, karena tak pernah dinyalakan.

Aku masih meratapi nasibku, juga negeri mimpiku. Dan, saat ini keprihatinanku kian memuncak. Serakan ironi semakin tersebar dimana-mana. Aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana. Arus kemalasan, lemahnya spirit dan motivasi, sikap mental kerdil, egoisme pribadi maupun kelompok kian memenuhi atmosfer negeri ini. Konon, status pencari ilmu sudah banyak bergeser ke status-status lainnya. Berbagai tipe dan bentuk mahasiswa semakin beraneka.

Kondisi ini diperparah dengan muncuatnya kepentingan-kepentingan yang menuntut kedudukan dan kekuasaan. Kelompok yang satu mengincar posisi, kelompok yang lain juga berambisi untuk menghegemoni. Dakwah dan orasi yang didengungkan tak lagi murni. Semuanya sarat kepentingan, bahkan terkesang dipaksakan. Garis determinan yang sangat mencolok adalah munculnya stigma kaum mayoritas dan minoritas. Atau dengan ungkapan lain adalah kelompok yang vocal dan yang hanya diam, atau masyarakat yang aktif dan yang pasif.

Budaya saling sikut dan jegal kian merebak. Dunia yang carut-marut semakin keriput. Sepertinya tanda-tanda hari akhir semakin jelas saja. Nuansa-nuansa persaingan tak sehat semakin merajalela di mana-mana. Mulai dari komunitas terkecil hingga induk terbesar, semuanya berpacu untuk saling menjatuhkan. Semuanya memang berwacana ingin membangun. Tapi sebelum itu mereka memilih untuk lebih dulu menghancurkan. Aku semakin bimbang untuk terus tinggal di sini, di negeri mimpi. Sebab aku takut kehancuran akan segera datang.

Proses pembelajaran tak sepenuhnya terjadi di sini. Yang dominan justru pembodohan dan saling tipu. Yang vocal mengakali yang diam. Yang mayoritas mengebiri yang minoritas. Superioritas diselewengkan untuk menindas dan menghegemoni, bukan melindungi dan memperjuangkan kebersamaan. Aku terus merenung dan merenung. Sudah separah inikah negeri mimpiku?

Sepertinya, aku kurang beruntung dalam dimensi ruang dan waktu ini. Negeri mimpi yang selama ini kutinggali tak sesuai yang kubayangkan sebelumnya. Terlalu naif yang kulihat. Karena yang tampak adalah perubahan medan dan peran. Bumi yang semestinya menjadi ajang belajar dan mendalami kelimuan telah berubah menjadi gelanggang irasionalitas yang terinferiorasi. Aku semakin hanyut dalam kepedihan. Nilai-nilai kekerdilan dan irasional semakin bertahta. Memenuhi negeri mimpiku. Dan dadaku kian sesak. Dihimpit keprihatinan yang mendalam??

Oh... Masisir, Mahasiswa Indonesia di Mesir! Generasi bangsa yang kehilangan jati diri !??


M. Luthfi al-Anshori
Cairo, 28 Juli 2009, 01.10 AM.

Baca Selanjutnya...!...

Membaca Kisah Matahari

Thursday, June 25, 2009

Begitu ramai matahari dikeluhkan orang-orang,
sampai-sampai keluhan itu saling bertabrakan di awang-awang,
kilat-kilat putih kekuningan bercipratan menambah kilauan,
menghasilkan asap abu beterbangan,
semakin panaslah bumi di musim yang gersang.

Sementara di tenda kubus aku bercucuran peluh,
membaca kisah matahari yang tangguh.
Terengahku memahami rancangkata yang teguh,
mencari makna agar tak ikut mengeluh.

...

:Kisah matahari membantu bunga menemukan rupa,
tatkala tujuh warna tersiram cahaya,
sehingga bermekarlah penuh pesona;

Kisah matahari menitah rembulan,
meminjamkan cahayanya untuk dipantulkan,
menyinari malam temaram;

Kisah matahari menyiangi lautan,
menerbangkan gelembung air menaiki awan,
lalu berproses menjadi hujan;

Kisah matahari yang tak pernah padam,
menjaga semesta agar tetap terang,
tak ada siang kecuali ia ada,
tak ada malam kecuali rembulan mewakilinya,
gemintangpun berkedip mesra menggodanya,
dalam romantika keserasian alam,
cerminan kuasa Sang Pencipta!
...

Membaca kisah matahari,
tak seperti yang dilukiskan orang-orang,
dalam keluh kesah kehampaan.

Membaca kisah matahari,
mendengar narasi langsung tiap cercah cahayanya,
bertatap mata dengan segenap warna, hujan dan terang,
membuatku teduh meski dalam peluh,
membasuh keluh,
menanam teguh,
dalam kehambaan yang patuh!

Membaca kisah matahari,
mengajariku untuk terus memberi![]

_M. Luthfi al-Anshori
Cairo, 26 Juni 2009, 02.16 AM.

Baca Selanjutnya...!...

Senyawaku; Debu!

Sunday, June 14, 2009

Kupandangi tembok kampusku,
kuratapi papan tulisnya di ruang kelas,
berbaur warna dalam nuansa panjang sejarahnya.
Adhesi atom-molekul-senyawa
menempel, merekat, membalut benda-benda
yang jernih berubah buram,
yang buram semakin kelam,
kampus coklatku yang tak lekang.

Siklus keberputaran dalam rinai perubahan
setiap yang ada dari keberadaan adalah fana
tak tetap tak kekal dimakan usia
yang pasti adalah kepasrahan menanti
mematuhi rumus-rumus alam
berotasi bermetamorfosa di setiap jengkal nafas
menuju entah bentuk apa,
warna apa?

Di altar dunia
segala bentuk akan lebur,
segala warna akan hambur,
dalam bias atmosfer debu
senyawa segala yang ada,
termasuk diriku,
yang hidup dari debu,
dan mati menjadi debu!

Cairo, 06-06-09.


Baca Selanjutnya...!...

Negeri Debu

Di negeri ini tak turun hujan
tak ada banjir yang menelan korban.
Negeri ini hamparan sahara,
namun sebongkah anugrah menghidupinya,
sungai Nil yang tak pernah kering.

Negeri ini tetap saja purba,
meski modernisasi menghegemoni dunia,
sebab peradaban apapun,
selalu bersentuhan dengan debu,
cerah menjadi gelap,
warna coklat,
abu-abu, kehitaman,
memeluki tembok rapat.
kesan tua memenuhi sudut-sudut kota.
Dan karena hujan debu pula,
bangsa ini semakin maju;
sebab, ia semakin tahu,
bahwa tercipta oleh debu,
kembali menuju debu!

Cairo, 04-05-09

Baca Selanjutnya...!...

Debu dan Gerimis

Aku selalu merindukan gerimis
tapi masih saja debu yang menyapaku
Ohh, andai aku ingat
Adam dicipta dari unsur debu
Tak perlu lagi aku marah,
sebab aku dan debu sedarah!

Cairo, 04-05-09.

Baca Selanjutnya...!...

Rindu Karya

Friday, June 05, 2009

Rindu kata-kata.
Rindu teka-teki makna.
Rindu baris-baris puitika.
Rindu kemesraan alinea.
Rindu susunan paragraf berirama.
Rindu akan karya!

[05-06-09]

Baca Selanjutnya...!...

Hukum Alam

Friday, May 29, 2009

Memeluk rembulan
agar tak bias cahyanya
menutupi bintang-bintang.

Mengencani matahari
agar aku tak merasa panas
di sahara ini.

merindukan hujan
agar sejuk bertandang
meski dalam kegersangan.

Mengakrabi nasib
agar aku sanggup
melanjutkan hidup![]

(26-5-09)

Baca Selanjutnya...!...

Demi Waktu!

Saturday, May 09, 2009


Menyekat Waktu.
Menahannya dalam bilik-bilik kesadaran.
Betapa ia begitu mahal untuk diacuhkan begitu saja.
Betapa ia begitu berharga untuk disia-siakan.
Wahai... Yang Maha Menggenggam Waktu,
izinkan pula aku menggenggamnya
dalam beberapa jenak umur hidupku.
Untuk kuisi, untuk kulukisi, untuk kupahati,
dengan sebentuk pemaknaan serta artikulasi,
sebagaimana yang Engkau firmankan,
Yang Engkau ajarkan..
"Demi Waktu!".

Baca Selanjutnya...!...

Tulislah Aku; Sebentuk Risalah Cinta (Bag. 2)

Saturday, May 02, 2009


Sejak dahulu hingga sekarang, cinta selalu menjadi perbincangan hangat. Salah satu buktinya, cinta senantiasa menjadi tema sentral dalam berbagai karya, baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Bukti lainnya, saat ini saya sendiri hendak menulis tentang cinta (kalau yang ini jelas narsis, hehe). Secara jujur, saya bukan pakar dunia per-cinta-an serta berbagai perniknya. Namun, apa yang hendak saya tulis berangkat dari realita yang saya lihat, kemudian saya korelasikan dengan berbagai pengetahuan yang saya serap.


Baiklah! Mengawali catatan ini, saya ingin membidik beberapa fenomena cinta. Pertama adalah ketika seseorang sedang jatuh cinta. Tak sedikit yang kemudian menjadi buta. Meskipun, masih banyak juga yang mampu bersikap proporsional. Buta dalam arti majazi, tentunya. Yaitu ketika seseorang begitu dimabuk cinta. Seperti halnya ketika seseorang sedang mabuk akibat alkohol, hal itu membuat hati dan fikirannya terhalang dari “cahaya”. “Love is blind”, kata orang Bule.

Tapi, saya sendiri tidak memungkiri, bahwa dalam banyak hal, termasuk cinta, mempunyai dua potensi. Yaitu potensi positif-konstruktif dan potensi negatif-destruktif. Tergantung mana di antara dua kutub itu yang lebih dominan. Jika kutub positif yang unggul, maka cinta akan membawa sang pecinta menuju yang terbaik dari dirinya. Tapi jika yang menang adalah kutub negatif, maka cinta akan membakar dan meleburkannya. Baik contoh kondisi yang pertama maupun yang kedua sangatlah banyak dalam fenomena keseharian manusia, maka tak perlu saya cantumkan di sini.

Kemudian kita akan membincang sebuah kondisi, di mana seseorang sedang patah hati atau putus cinta. Mungkin karena cinta seakan telah menjadi kebutuhan, maka tatkala kehilangan, seseorang akan merasa ada yang tak lengkap dalam dirinya. Dalam kondisi seperti ini ada bermacam penyikapan yang ditempuh. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang mengurung diri. Ada yang hampir bunuh diri. Ada juga yang biasa saja, tetap tegar menjalani hari.

Nah, penyikapan yang terjadi itu saya kira sangat terkait dengan seberapa besar kadar cinta yang dimiliki seseorang kepada sang kekasih hati. Jika hanya ‘cinta monyet’ (hubban syadîdan) yang ia miliki, maka ketika putus biasanya ia tak sebegitu menderita. Begitu juga ketika kadar cintanya masih dangkal, belum begitu dalam (hubban amîqan), maka ketika putus paling hanya akan menangis beberapa hari. Namun ada juga yang telah secara penuh mencintai (hubban jamma), maka ia seperti kehilangan ruh ketika sang kekasih itu berpisah dari dirinya.

Hal ini juga terkait dengan lapisan hati. Dari lapisan hati yang manakah seseorang mencintai pujaan hatinya. Apakah hanya dari lapisan luar dada (shadr), atau dari lapisan hati kedua (qalb), atau lapisan hati ketiga (fu`âd), atau yang keempat (jaûf), ataukah dari lubuk hati yang terdalam (lubb)? Jika sebuah cinta yang muncul lalu tumbuh itu telah sampai pada lapisan lubuk (lubb), maka ibarat kata, cinta itu telah mencapai singgasananya. Sehingga, dalam kondisi apapun ia akan tetap memelihara cintanya itu.

Namun sayang seribu sayang, jika potensi cinta yang dimiliki setiap manusia itu disia-siakan begitu saja, atau tidak diletakkan pada tempatnya. Maka jika tidak proporsional, yang terjadi berikutnya adalah ketimpangan dan kerusakan. Manusia mencintai hartanya dengan terlalu berlebihan. Manusia mencintai kelompok dan golongannya dengan fanatisme buta. Manusia mencintai kekasihnya dengan sangat mendalam. Padahal, cinta-cinta yang semacam itu tak ada yang abadi.

Bukankah, telah banyak orang yang patah hati karena mencintai orang lain, hanya bertepuk sebelah tangan? Cintanya tak terbalas. Tidakkah, telah banyak orang yang mencintai harta, namun oleh hartanya itu ia justru terbunuh atau terdzalimi? Begitu juga ketika kita mencintai kelompok, golongan, atau seseorang, apakah mereka akan selalu mengingat kita, membalas jasa kita? Belum tentu, kawan! Maaf, cinta dan fanatisme buta ini jangan disamakan dengan loyalitas. Saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk tidak loyal terhadap afiliasi Anda. Saya hanya mengajak untuk tidak terlalu berlebihan dalam segala hal, itu saja!

Maka, dalam menyikapi dan memberi porsi cinta kepada selain Dzat Yangabadi kita tak boleh berlebihan. Bolehlah kita memberikan cinta kita sepenuhnya, tapi hanya kepada Dzat yang tak pernah ingkar janji. Dalam banyak kasus, sesuatu yang sebenarnya baik namun jika berlebihan justru menjadi tidak baik. Seperti halnya cinta, jika porsinya melebihi daya tampung, ia akan tumpah. Tak sedikit pula cinta yang memicu permusuhan. Atau dengan ungkapan lain: “Awalnya cinta, namun berakhir benci”.

Oleh sebab itu, patut kita renungkan sebuah pepatah bijak dalam bahasa Arab yang artinya: “Cintailah kekasihmu sesuai kadarnya (jangan terlalu berlebihan), sebab bisa jadi kelak ia justru akan kamu benci. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja. Sebab, tak ayal juga suatu saat nanti kau akan mencintainya!” Pepatah ini sedikit banyak telah terjadi. Buktinya bisa Anda cari sendiri dengan bertanya kepada kawan atau kenalan. Bahkan ada orang yang kini sudah menjadi pasangan, ternyata dahulunya musuhan. Kemudian mereka berceloteh: “Mungkin ini ‘karma’. Dulu aku begitu membencinya, tapi kini ia menjadi suamiku yang sangat kucinta”.

Alhasil, cinta sungguh beraneka warna. Ia memang abstrak, tapi kekuatannya begitu dahsyat. Cinta ibarat udara, yang senantiasa memenuhi alam raya. Cinta laksana ruh yang selalu gentayangan mencari mangsanya. Cinta seperti darah, yang akan menentukan apakah organ-organ tubuh akan bekerja dengan biak atau tidak. Cinta mampu menimbulkan kehancuran dan/atau kemajuan. Cinta mampu menyebabkan pertempuran sekaligus perdamaian.

Dan, hingga pada ruas ini saya masih belum benar-benar tahu tentang cinta. Sehingga, jika tulisan ini tak cukup bijak dalam menguraikannya, masih bias sana-sini, tak jelas arah, itu karena saya masih belum menemukan hakikat cinta. Cinta begitu abstrak untuk dilihat, namun ia terlalu jelas untuk disembunyikan. Maka, tulisan ini hanyalah setitik usaha untuk mencoba menyibak rahasianya. Dan hingga akhir masa nanti, aku yakin, cinta akan selalu menjadi misteri yang terus mengilhami.[]

_Cairo, 2 Mei 2009.

Baca Selanjutnya...!...

Tulislah Aku; Abadikan Rasa! (Bag. 1)

Thursday, April 23, 2009


Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Seseorang terkadang lupa atau tak sadar, bahwa setiap bentuk rasa yang muncul dalam beragam momen dan nuansa sangatlah berharga. Ketika seseorang sedang bahagia karena banyak hal; cinta, rizki berlimpah, kesuksesan karir dan lain sebagainya. Atau sebaliknya, tatkala seseorang dirundung duka dan kesedihan; karena putus cinta, sakit hati, kehilangan harta, rizki mampet, kegagalan karir serta segenap variannya. Padahal sejatinya, itu semua adalah pelajaran penting yang kita dapatkan tanpa harus bayar biaya sekolah maupun kuliah.

Yang menjadi problem adalah, ketika kita didatangi berbagai rasa itu, namun kita membiarkannya pergi begitu saja. Alhasil, pelajaran yang terkandung di dalamnya pun ikut lenyap bersama laju waktu yang kian renta. Ibarat ilmu, kata Imam Syafi’i, ia perlu ditulis agar tak lupa. Seperti buruan, ia harus dikerangkeng dengan ‘sesuatu’ agar tak lepas. Laksana perahu yang harus diikat dengan seutas tali agar tak lari dari tepian. Sebab, ombak yang besar tak jarang menerjang. Lalu, bersama angin kencang ia seret-hanyutkan perahu itu. Begitu juga setiap rasa, baik bahagia maupun duka, ia hanya akan menjadi kisah purba tak bermakna, jika tak diikat dalam alam ingatan.

Mengapa demikian? Sebab, bumi terus berotasi. Hal itu meniscayakan adanya keberulangan. Saat ini kita di atas, dan nanti kita di bawah. Tapi bukankah esok dan lusa kita akan berada di atas lagi, dan di bawah lagi?! Tak hanya benda-benda fisik, yang metafisik pun demikian. Masing-masing punya potensi untuk berulang dan terjadi lagi. Gerak hati termasuk yang metafisik. Perasaan termasuk abstrak. Begitu pula olah fikir serta paradigma manusia. Semuanya mungkin bolak-balik, mungkin berbilang. Satu perasaan, akan berpotensi menjumpai kita beberapa kali.

Nah, dari abstraksi di atas, kita dapat meraba diri kita masing-masing. Benarkah hal itu terjadi? Sebagai contoh: apakah pernah Anda mengalami patah hati selama dua kali atau lebih? Berapa kalikah Anda berbahagia dan bersedih selama ini? Jawabannya bervariasi dalam bentuk bilangan. Namun semuanya menunjukkan arti banyak. Berkali-kali, berulang kali. Lalu pertanyaan berikutnya: bagaimanakah sikap Anda ketika mengalami hal-hal tersebut? Misalkan sedang patah hati, apa yang Anda rasakan, apa yang Anda lakukan sebagai respon atas perasaan itu?

Bisa jadi, dan sangat mungkin terjadi, seseorang yang pernah patah hati dan telah berhasil keluar dari sekat rasa itu, akan kembali mengalami derita yang sama ketika hal itu terjadi lagi. Patah hati pertama; terpuruk, sedih berkepanjangan, menangis berhari-hari. Patah hati kedua, masih begitu-begitu juga menyikapinya. Terjadi ketika kalinya, memilih putus asa lalu bunuh diri. Bukankah ini sebuah kebodohan? Ataukah hal ini manusiawi?

Menurut hemat saya, jika yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas, tentu hal itu merupakan tragedi besar yang perlu kita sikapi secara bijak. Dalam hal ini ada satu kata kunci yang menyebabkan tragedi itu terjadi, yaitu LUPA. Manusia lupa berintrospeksi. Manusia lupa mencari solusi. Manusia lupa jati diri. Manusia lupa, bahwa setiap kejadian yang dialaminya merupakan konsekuensi logis atas amanat kehidupan ini. Dan, manusia lupa, bahwa setiap episode (baca: takdir) pasti meniggalkan pesan dan pelajaran yang harus selalu diingat. Untuk apa? Agar tak kehilangan tongkat dua kali. Supaya tak terjebak lubang yang sama berkali-kali.

Oleh sebab itulah manusia perlu pengingat. Pengingat itu tak harus dari benda hidup, seperti manusia. Namun bisa juga dari benda mati, seperti kitab suci, buku-buku dan catatan-catatan yang berserakan di semesta alam. Mengapa kita tak berusaha menyekat rasa? Mengapa kita enggan mengabadikan setiap kejadian? Dengan tulisan, kita bisa menyimpan makna. Dengan tulisan juga, kita bisa menganalisa pertanda. Dan, melalui tulisan kita bisa mengantisipasi masa depan. Namun perlu diingat juga, kita hanya menjalani kemungkinan-kemungkinan, melakoni usaha-usaha. Hasilnya, ada di tangan Yang Kuasa.

Lalu apa masalahnya, sehingga kita sering lupa, sering tak sadar? Apalagi untuk menuliskan perasaan, mencatat kejadian-kejadian, mengangkat pena saja tak mampu karena terlalu berat ditimpa coba. Atau karena tak sempat, saking bahagianya keruntuhan anugrah dan sebongkah berkah. Padahal, jika kita renungkan sejenak saja, dalam momen-momen klimaks seperti itu, mengungkapkan sesuatu justru akan benar-benar sampai pada akarnya. Anda tak percaya? Coba tanyakan pada diri masing-masing, dalam kondisi yang bagaimana Anda menulis (baca: curhat)? Biasanya, seseorang akan bisa menulis dengan bagus dan dalam justru ketika sedang sangat sedih atau sangat bahagia. Betulkah?? Tak ada jalan lain untuk membuktikannya jika belum kita coba!

Kebahagiaan dan kesedihan tak perlu kita undang. Namun secara alamiah ia akan mendatangi kita kapan saja, di mana saja. Maka terlepas dari sulit atau mudahnya mengungkapkan rasa dalam bentuk frasa, sekali lagi kita semua patut mencobanya. Mengapa? Sebab dengan demikian, secara otomatis kita akan mengantongi pelajaran. Kita akan memahami rambu-rambu kehidupan.

Dengan proses ini, kita akan menjadi “kaya”. Dan ketika telah “kaya”, kita mampu “membeli dan membayar” apa saja. Kita mampu “membeli” ujian dan cobaan dengan kesabaran dan ketabahan. Kita mampu “membayar” anugrah dan karunia dengan kesyukuran. Kita bisa “menitipkan” usaha dan doa dengan tawakkal. Jika demikian, kita akan mampu berdamai dengan takdir.

Maka untuk merealisasikan itu semua, dalam rangka meniti kehidupan yang berputar, kita perlu pegangan sekaligus pedoman. Sebelum kita membaca orang lain, membaca kisah mereka untuk kita jadikan pelajaran, kisah kita sendiri juga patut kita baca. Episode yang telah kita lalui dalam setiap lembaran hari perlu kita telaah kembali. Tapi apakah mungkin kita bisa membaca dan menelaah kisah kita, jika tak ada catatan yang menyimpannya, yang mengabadikannya?! Dalam nada sayup, Rasa memanggil dan berucap dari lubuk hati: “wahai jemari, tulislah aku!”[]

_Cairo, 23 April 2009.

Baca Selanjutnya...!...

Musafir Tersesat!

Monday, April 20, 2009


Arakan musafir memenuhi langit
Berkelebat meninggalkan asap
Diterbangkan burung-burung mesin
Meretas jarak secepat kilat.

Musafir mendarat di bumi tandus
Mereka berkonfoi mencari telaga
Berharap dahaga segera hapus
Namun apa?
Mereka hangus
Disergap angin sahara
Diterkam panas membara
Di bulan Agustus.

Musafir kini tersesat
Kembali ke muasal
dalam kondisi terbakar,
atau tetap di sana?
Berharap masih menemukan telaga,
meski dalam waktu yang lama,
mencari tanpa henti.

Bahkan salju,
embun pun tak kunjung ada!

_Cairo, 21 April 2009.


Baca Selanjutnya...!...

Ketika Hidup Terasa Berat!

Sunday, April 12, 2009

Sebenarnya bukan hal yang baru aku merasa seperti ini. Sekumpulan duri seakan menusuk-nusuk nadi. Aliran darahku ingin berhenti memikirkan solusi. Tak kunjung kutemui. Aku terus berpacu dalam sesak dan sempitku. Meski terengah aku berusaha tabah. Tabah menyaksikan segenap coba yang menghampiriku serentak, mengagetkan.

Pertama, aku memikirkan tagihan-tagihan. Berbagai kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang. Sudah lewat tenggat waktu yang semestinya, namun aku belum mampu bayar juga. Usaha apa hendak kubuat, sementara waktu menghimpitku rapat? Aku tersekat, dalam kelalaian-kelalaian menjerumuskan. Aku miskin, tak mampu melunasi tagihan.

Kedua, aku selalu tak sanggup melihat kawanku sakit. Apalagi, kali ini aku terkejut, sebab ia semakin akut. Aku tak bermaksud mendoakan kejelekan. Namun aku hanya benar-benar takut. Kawanku itu, kini muntah darah. Sudah beberapa hari ini kondisinya lemah. Tak mampu beraktivitas secara lumrah. Beberapa bulan lalu ia juga sakit berminggu-minggu. Kini, semoga tak lama sakitnya. Segera pulih. Sehingga ia bisa kembali belajar, bersama-sama kami. Menyambut perhelatan ujian yang kan segera digelar.

Ketiga, ujian kan datang. Ujian kampus, bukan ujian kehidupan. Sebab jika ujian hidup, ia memang selalu datang, tanpa diundang. Parahnya aku belum persiapan. Kuliahpun belum pernah masuk. Namun masih untung aku telah mengusahakan pembelian diktat. Setidaknya aku sedikit tenang. Bahan ujian sudah kupegang. Tinggal apakah dalam jeda waktu yang singkat ini, aku mampu memanfaatkan?

Hidup memang berat. Ketika sempit, sakit, dan kemelaratan datang bersamaan, apa hendak dikata? Dada terasa sesak! Ke mana tempat hendak kutumpahkan gelisah? Hanya pada-Mu, Gusti... Engkau tak pernah tidur, bukan! Mana ada Tuhan yang meninggalkan ciptaan-Nya?! Aku yakin Engkau mendengar dan melihat! Sembuhkanlah kami, lapangkanlah kami, beri rizqi kami, untuk menunaikan kewajiban, untuk makan, untuk beli obat dan roti! Amin.[]

_Cairo, 13 April 2009.

Baca Selanjutnya...!...

Menuju Satu!*

Friday, April 10, 2009


Berjalanlah dan berjalan,
lurus, jangan tengok kiri kanan!
fokuskan mata di satu titik tempuh,
ada harapan hendak kau rengkuh!

Berdialoglah dengan hati,
tanyai dia apa hendak dicari,
di sebuah persinggahan tak abadi.

Berjalanlah dan berlari,
gapai yang kau mimpi,
teguhi tugas suci,
sebelum mati!
Karena waktu tak pernah berhenti,
meski mentari di senja padam,
rembulan hadir menemani malam.

Ada banyak jalan terbentang,
namun hanya satu tujuan.
Kemanalagi kalau bukan kuburan?
Tempat berpulang segenap kerinduan!


_Cairo, 10 April 2009.
*)Secarik puisi untukku, dariku!

Baca Selanjutnya...!...

Antri Hidup, Hidup Antri!

Wednesday, April 08, 2009


Di pangkal siang aku di halte,
menunggu bis mengantarku menuju,
sebuah tempat aku mengadu,
mengulurkan telapak tangan,
meminta uang bekal perjalanan.

Kupandangi sekeliling jalan,
dari balik jendela bis aku temukan,
deretan perumahan,
barisan gedung menjulang,
dan,... tiba-tiba,
aku melihat antrian panjang,
berdesak manusia dalam kerumunan,
mereka mencari makan!
mengais harga murah agar bertahan,
panjang kehidupan penuh pertarungan.

Ponsel bututku berbunyi,
kupandangi layar redupnya,
tertulis di sana,
pesan dari seorang teman:
"Aku tengah mengantri,
di kantor imigrasi,
memperpanjang izin hidup,
di negeri ini!"

Aku mengetik sebuah kata: "Bersabarlah!
Engkau patut berjuang."

Dan,
sampailahku di ujung pemberhentian,
Bis favoritku melaju pelan.
Aku turun dengan perasaan yang tak biasa.
Sepercik makna merasuki dada,
meresap seperti embun membasahi daun,
mengajarkan sebuah pelajaran:
"Kau hidup untuk apa?
Bukankah selama perjalanan tadi,
telah kau dapati sederet tanda!?
Engkau tak ubahnya seperti mereka,
yang berdesakan mendapatkan makanan.
Engkau jua seperti dia,
yang tertulis di sebuah pesan:
mengantri untuk hidup,
hidup untuk mengantri,
menunggu giliran,
menuju satu tempat kembali,
yang hakiki!"[]


_Cairo, di bangku deret belakang bis 80 coret,
6 April 2009.

Baca Selanjutnya...!...

PEMILU DUKA*

Thursday, April 02, 2009


Bumi pertiwi gegap gempita,
Tak hanya karena benderabendera berwarna yang memenuhi jalanan dan kota,
banjir bandang, longsor, gempa dan awan duka,
menyelimuti langit nusantara.

Di simpulsimpul kota hingga desa,
para panitia Pemilu bersibuk ria,
mengurus kartu suara.
Di istana negara para raja bertengger sambil menggarukgaruk kepala,
memikirkan strategi apa hendak dicipta untuk menangkan tahta.

Di belahan nusantara lainnya ratusan nyawa terbuang siasia.
Mereka tak punya hak pilih dalam Pemilu,
bahkan hak pilih untuk hidup saja tak ada.
Mereka semua pergi sebelum menentukan pilihan.
Mereka justru dipilih,
mereka telah dipilih oleh Tuhan untuk syahid.
Mereka terpilih untuk menjadi pelajaran bagi yang lain.
Mereka mati untuk mengajarkan kehidupan.

Di belahan bumi para nabi,
aku mendapati kesibukan yang tak biasa,
oleh para mahasiswa yang terlibat dalam panitia pemilu raya.
Mereka bergerak, berfikir, mondar-mandir mencatat namanama.
Mereka berlatih berkhidmah untuk negara,
semoga niat mereka demi kemajuan bangsa.

Di bilik sunyi gedung 93,
aku tak bergerak,
aku hanya mencatat gerak,
berdialog dengan kata dan makna,
bermain dengan aksara,
menuliskan kejadian demi kejadian peristiwa.

Aku bahkan tak bisa berbuat apaapa,
tatkala masa depan bangsa ada di depan mata,
sementara sebagian saudara lainnya menangis lara,
mengiring kepergian keluarga yang hanyut bersama banjir,
kembali ke muara segala muara.
Semoga mereka yang telah pergi,
mendapat kompensasi hak pilih,
hendak masuk surga melalui pintu mana!?
Amin.

_Cairo, 2 April 2009
*Teruntuk para korban tragedi Gintung.
Semoga kalian mati untuk hidup kembali,
dengan hak pilih yang lebih bebas dan beraneka warna!

Baca Selanjutnya...!...

Tak Lagi Ingin Bermimpi!?

Saturday, March 21, 2009


Di sebuah pagi hening bertabur embun. Jika ada suara-suara, maka itu adalah cicit cuit burung-burung Emprit yang menambah syahdu suasana. Kebetulan aku terjaga dari tidurku yang tak lagi nyenyak. Orang-orang di sekelilingku masih terlelap dalam mimpi masing-masing. Dipeluk lelah, mereka memilih untuk mati sementara. Tentu saja, dengan harapan ketika matahari kembali bertugas di esok hari, mereka akan hidup kembali. Begitu pula di luar sana, toko-toko dan jalanan masih senyap. Negeri ini seperti hamparan pemakaman di pagi hari. Antara benda mati dan yang hidup sama-sama diam.

Dalam kondisi seperti ini, aku memadukan berbagai unsur dalam diriku untuk berdialog dengan bahasa masing-masing. Hati, nurani, otak, demikian juga rasa. Aku melakukan diskusi dalam sebuah ruang raga yang tentunya semakin hari bertambah renta. Sepenuhnya aku sadar akan hal itu, sebab hakikat segala yang hidup maupun yang mati adalah fana. Masing-masing punya umur, punya ajal, punya tenggat waktu yang membatasinya. Yaitu antara garis start dan finish. Antara kelahiran dan kematian. Antara ka-ada-an dan ke-tiada-an.

Nah, mumpung aku masih hidup, masih ada, masih berada di antara dua tapal batas, aku mengajak masing-masing unsur tadi untuk bicara. Kali ini, nurani-lah yang bertugas melemparkan pertanyaan: “Apakah benar hidup ini tak lain seperti mimpi? Atau, adakah hidup ini hanya sebatas mimpi?”. Pertanyaan ini tak muncul tiba-tiba, namun didahului sebuah keluh kesah bak premis-premis yang berserakan. Gerangan apakah yang sebenarnya dipermasalahkan oleh nurani? Mimpi! Kemalasan! Dan kekerdilan jiwa dalam menghadapi dunia!

Hati semakin bingung. Bagaimana bisa nurani mempertanyakan sesuatu yang sudah gamblang. Sesuatu yang menjadi fitrah dan tabiat setiap orang. Hati mencoba berhujjah: “bukankah mimpi itu penting. Setiap orang sangat mungkin dan biasa diserang kemalasan. Jiwa-jiwa yang kerdil itu tak berarti pengecut. Hanya saja, mereka masih mengumpulkan keberanian untuk sejati!”

Otak berusaha memetakan. Ia mencoba menganalisa keluh kesah nurani. Gerangan apakah yang sedang terjadi. Otak berasumsi bahwa nurani menganggap mimpi punya potensi negatif yang mampu merusak jiwa. Kenapa nurani bisa berkata demikian? Mungkin ia telah menemukan berbagai sample berikut bukti nyata atas asumsi ini. Manusia memang perlu punya mimpi. Namun sebesar apakah kadar mimpi yang “perlu” itu? Jangan-jangan nurani mendapati banyak manusia yang terlalu ‘overdosis’ mimpi, sehingga hidup mereka hanya dipenuhi mimpi. Mereka terjebak dalam lembah mimpi. Terjerembab dalam kubangan maya yang sebenarnya fatamorgana.

Rasa mulai unjuk gigi. Asumsi otak ada benarnya juga! Aku merasakan, bahwa terkadang manusia tak seimbang. Tak hanya masalah mimpi, tapi juga aspek-aspek lain yang berotasi di lingkaran kehidupan. Semuanya kini serba timpang. Aku cukup merasakan bagaimana orang tua menginginkan para anaknya agar punya mimpi yang setinggi-tingginya. Dan para anak serta generasi muda juga membayangkan akan bisa menjadi seperti orang tua mereka.

Namun mereka lupa, bahwa mimpi itu tak akan pernah tercapai jika mereka masih saja tertidur. Mereka tak sadar bahwa mereka harus segera bangun untuk melakukan usaha-usaha. Parahnya, mimpi-mimpi itu hanya ada dalam alam tidur, alam bawah sadar. Sehingga ketika terjaga, mereka kembali berlupa akan mimpi-mimpi yang perlu dikejar.

Maka kini semakin jelas. Nurani berpotensi untuk berkata tegas. Bahwa yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Sementara hati, ia punya kecenderungan berkelah. Masih suka membantah dan fluktuatif. Terkadang begini dan terkadang begitu. Otak memetakan masalah. Dan, rasa adalah penyelaras yang mempunyai kepekaan merespon fenomena-fenomena.

Lalu bagaimanakah dengan aku? Sebuah gabungan dari unsur-unsur itu? Sebentuk raga yang bernyawa. Apakah benar sang nurani mengingatkanku? Jawabannya: iya! Sebab aku menyadarinya, bahwa hidupku tak ubahnya masih seperti mimpi. Hanya mimpi. Aku terlalu nyaman dengan kondisi seperti ini. Dinina-bobokkan oleh sistem yang menyediakan ruang lebar untuk bermalasan. Aku belum benar-benar hidup dalam dunia nyata. Aku masih terlalu asyik menikmati mimpi, sehingga aku enggan terjaga.

Berapa porsi waktuku untuk tidur? Dan berapa lama untuk terjaga? Bahkan dalam jaga aku tak sepenuhnya sadar. Maka dalam ruang waktu terjaga, aku masih seperti tidur, masih seperti mimpi. Menikmati hari-hari dalam pelukan kemalasan. Jika dikalkulasikan, maka benarlah keprihatinan nurani, bahwa hidupku adalah mimpi. Masih sebatas mimpi. Akumulasi dari mimpi-mimpi tidur, dan ketidak-sadaran dalam jaga. Hasilnya sama: aku hanya bermimpi!

“Lantas hendak kemana arah pembicaraan kita?” nurani, hati, otak dan rasa serentak bertanya. Jawabannya hanya satu: “mari kita bentak sang raga yang menaungi kita agar segera terbangun. Sudah terlalu banyak mimpi-mimpi yang terlalui. Kini saatnya berhijrah dari mimpi, menuju aksi!”.

Aku menyudahi obrolan ini, sebab kantuk kembali membisiki. Namun bukan untuk kembali bermimpi, malainkan akan kubasuh wajahku dengan air wudlu, agar kantukku luluh nan malu, bahwa hidup tak hanya untuk bermimpi. Namun untuk bertolak dari mimpi, menuju usaha mewujudkan mimpi. Jika terlalu banyak bermimpi, lalu kapan aku akan membuat catatan hidup? Bukankah kita singgah di dunia ini untuk membuat laporan-laporan perjalanan, yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan kepada Sang Maharaja kita!? Sejatinya, setiap manusia hidup adalah untuk membuat novel masing-masing tentang dirinya. Nantinya, novel itu akan dicetak dan dibedah di alam sana. Di sebuah ruang waktu dan tempat yang misteri, namun pasti![]

Dicatat oleh M. Luthfi al-Anshori
Cairo; Jum’at, 20 Maret 2009


Baca Selanjutnya...!...

Mawar Merah Politik

Saturday, March 07, 2009


Aku masih saja berjalan ketika orang-orang tengah sibuk berebut recehan.
Aku terus menatap ke depan tatkala mereka berpaling kiri dan kanan mencari suapan.
Aku terus melangkah tertuju sebuah gedung lalu ingin kutemui petinggi-petinggi mahasiswa.
Meski pesimis aku bermimpi mereka masih punya nurani dan jatidiri.
Merah-kuning-hijau telah memenuhi sepanjang jalan tertempuh.
Gambar-lambang-simbol bertengger saling beradu menendang menjengkal dalam kibaran bendera warna-warni.
Setahuku hanya dua warna yang semenjak masa hidup kakek-nenekku dulu diperjuangkan.
Namun kini nampaknya mereka bosan sehingga memilih warna-warna lain yang lebih gemerlapan.

Dan aku terus saja berjalan...
tak kuhiraukan hiruk pikuk teriakan mereka yang berseru mengajak ke warna ini dan itu.
mereka seperti telah menemukan simbol lain yang patut diperjuangkan.
Lalu bagaimana dengan nasib Garuda?
Adakah bendera-bendera itu lebih gagah dari sang
saka!?

Di setiap persimpangan aku menemukan pos-pos berlambang.
Ada yang binatang ada yang tumbuhan hingga bulan gemintang.
Dan aku semakin keheranan, ketika kudapati para mahasiswa telah berganti seragam.
Ohh... masih adakah di sana, mereka yang tetap merah-putih?
Aku terus saja berjalan sembari berdo'a, agar aku masih menemukan mereka, para mahasiswa!

Langkah semakin kupercepat sebab waktu pertarungan warna-warna itu telah dekat.
Demikian pula jarakku dengan gedung yang kutuju semakin rapat.
Dan sekonyong-koyong aku terperanjat,...
sesampai di gedung itu, masing-masing telah memegang mawar merah, yang tentu saja, lengkap dengan durinya!

Oh, betapa cilaka!
Mereka telah terlena indah pesona warna-warna.[]

Cairo; Musallats, 8 Maret 2009

Baca Selanjutnya...!...

Berjalan untuk Sejati

Saturday, February 28, 2009

Dan aku terus berjalan,
berharap menemukan arah tujuan,
meski sesekali berhenti,
berpikir, merenung,
hingga linglung.

Jalan masih begitu panjang,
sementara waktu terus berlalu,
berharap segera menemukan sejati
agar aku tak takut mati!

Cairo: Sabtu, 28 Februari 2009


Baca Selanjutnya...!...

Doa Pemalas

Tuhan,...
Pinjami aku api
Akan kubakar MALAS dalam diri!

Cairo: Sabtu, 28 Februari 2009

Baca Selanjutnya...!...

Antara Mesir-Palestina, Khutbah dan Sholat Jenazah

Friday, January 23, 2009

Di rumah.
Pagi ini Kairo mendung. Kata orang mendung tak berarti hujan. Itu betul sekali jika disematkan untuk konteks Mesir. Sebab di Mesir memang jarang hujan. Yang sama dari mendung, dimanapun tempatnya, adalah gelap. Sebab dalam mendung matahari tertutup awan. Sehingga cahayanya tak sampai ke bumi. Hanya satu yang aku takutkan dari mendung di sini, yaitu angin dan debu. Biasanya mereka sangat kompak mendampingi mendung di kota ini. Tapi kali ini Tuhan berbaik hati, mendung tak beriring debu. Sehingga paru-paruku yang sudah terserang gangguan debu ini bisa selamat dari terkamannya.

Sekitar pukul 10.30 Waktu Kairo aku menyelesaikan perbincangan dengan seorang teman via chatting. Setelah itu segera kuraih ponselku, lalu kucari sebuah nama, Fathur. Aku telpon dia guna menanyakan agenda takziyah ke rumah salah seorang teman Mesir yang hari kemarin ayahnya telah berpulang ke rahmatullah.
“Halo, Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam!”
“Gimana Mas Fathur, jadi ke Syubro nggak nih?”
“Iya, jadi, insya Allah bentar lagi aku berangkat!”
“Nah, trus aku gimana dunk, kira-kira waktunya cukup nggak ya buat perjalananku ke sana. Soalnya dah hampir jam 11 nih. Tar takut macet, jadi bisa telat sholat Jum’at!?”
“Mmm, yaudah kamu ambil jalur Ramsis, lalu sampai sana ganti Metro bawah tanah aja biar cepet. Insya Allah nggak telat!”
“OK deh kalo gitu, aku siap-siap dulu, trus langsung berangkat. Syukron. Wassalam...”
“Wa’alaikum salam...”

Aku bersigegas untuk ganti baju. Tak lupa kusiapkan buku diktat yang akan diujikan besok Senin. Ujian masih belum usai. Ke depan ada dua materi lagi yang harus kutempuh. Sebenarnya aku juga bisa beralasan untuk tidak datang bertakziyah karena masih dalam masa ujian. Tapi aku betul-betul tak enak hati. Sebab yang meninggal adalah ayah dari seorang teman. Teman Mesirku yang saat ini dia berada di Jogja-Indonesia menempuh kuliahnya. Maka, meskipun masih masa-masa ujian, aku meluangkan waktu untuk datang melayat.

Sebelum berangkat, aku sempat minta tolong ke seorang teman untuk ngecek cuaca Kairo hari ini di internet. Dia bilang 21 derajat celcius. Aku tak percaya. Masak di musim seperti ini masih 21 derajat. Aku minta dia ngecek lagi dan aku melihatnya sendiri. Ternyata benar, udara hari ini berkisar antara 11 hingga 21 derajat celcius. Berarti tidak begitu dingin. Meskipun begitu, aku tetap jaga-jaga dengan tak lupa menggunakan baju tebal dan jaket. Sebuah tas kusiapkan untuk menampung barang-barang bawaan termasuk buku diktat, sebuah mushaf dan syal yang kusiapkan seandainya ternyata udara di luar nanti dingin.

Di angkutan.
Mengingat waktu yang terus bergulir, aku bergegas ke luar rumah menuju halte bus. Langit memang gelap. Tapi udara tak sedingin biasanya. Suasana sepi. Maklum hari Jum’at. Hari libur resmi Mesir. Jadi kebanyakan masyarakat pribumi menggunakan hari libur untuk istirahat, untuk berkumpul bersama keluarga. Aku melangkah dan melangkah hingga sampailah di halte. Tak hanya manusia yang sepi. Ternyata angkutan pun sepi. Tak kurang dari 15 menit aku menunggu angkutan jurusan Ramsis. Hingga akhirnya datanglah sebuah angkutan bercat putih dengan tubuh agak reot. “Ramsiiis... Ramsiiiis...” teriak sopirnya. Maka naiklah aku.

Wah, perasaanku tak enak ketika telah sampai di dalam angkot. Penumpangnya laki-laki semua dan beberapa sedang merokok. Udara yang gelap bertambah pengap. Menambah kegundahan hati apakah aku akan bisa sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Tampang para penumpang lainnya bringas-bringas. Bayanganku semakin menyiksa hati. Jangan-jangan orang satu angkutan ini telah bersekongkol. Gimana jika di tengah jalan nanti aku ditodong pakai pisau dan diminta paksa barang-barangku. Kenapa aku sampai berfikiran seperti ini? Tentu saja wajar, sebab dari beberapa kasus yang pernah aku dengar, kejahatan semacam bayanganku tadi pernah terjadi. Ohh, Tuhan, lindungilah aku.

Dalam kondisi seperti ini, aku mencoba tenang. Kebetulan aku mengambil posisi duduk di bangku paling belakang. Bangku panjang yang cukup untuk 3 orang. Namun kali ini hanya aku seorang yang duduk di bangku itu. Aku membuka tas perlahan. Aku keluarkan sebuah mushaf al-Qur’an, lalu kubuka dan kubaca. Semoga dengan hal itu hatiku menjadi tenang.

Baru 10 menit perjalanan, di mana angkot yang aku tumpangi hampir sampai di kawasan Sabi’, ponselku bergetar tanpa dering. Memang sengaja aku silent. Ternyata dari Mas Fathur.
“Halo, Assalamu’alaikum. Ada apa, Mas?”
“Sudah sampai dimana Luthfi?”
“Baru sampai Sabi’, Mas. Memang kenapa? Maaf deh kalo telat, habis tadi nunggu angkutan lama.”
“Oh, nggak papa kok. Justru malah untung kalau baru sampai Sabi’. Jadi sekarang aku udah di Syubro, di rumah Mahmud. Ternyata, sholat gha’ibnya nggak dilaksanakan di Syubro. Tapi di desa tempat keluarga besarnya. Mayat beliau sudah di bawa ke sana tadi pagi pukul 9. Jadi lebih baik kamu turun aja di Sabi’. Lain kali aja kita takziyah ke sana bareng sama temen-temen. Setelah ujian!”
“Ooo, jadi begitu. Tapi nggak papa kok, Mas. Biar sekalian aku lanjutkan perjalananku sampai Ramsis. Lagian juga udah terlanjur bayar tarif Ramsis. Nanggung! Kebetulan aku bawa buku diktat. Jadi dimanapun aku bisa sambil belajar. Sekalian mo ikut sholat Jum’at di Masjid Fath Ramsis. Masak udah 3 tahun di Mesir belum pernah sholat di masjid Ramsis. Hehehe...”
“Hmm, yaudah terserah!”
“OK, Mas. Syukron infonya!”
“Yup, sama-sama. Wassalam!”
“Wa’alaikum salam..”

Pada awalnya aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke Ramsis, meski kondisi di dalam angkutan yang kunaiki kurang mengenakkan hati. Hingga di sebuah halte di Sabi’ angkutan berhenti karena ada serombongan orang hendak naik. Kulihat ini mustahil. Kursi yang kosong tinggal 3. Tapi yang mau naik 5 orang. “Ahh, dasar! Yasudah kalau begitu aku lebih baik turun saja!” gumamku dalam hati. Lalu aku mengintruksikan kepada supir aku hendak turun. Dan turunlah aku di Sabi’. Hal semacam ini yang kurang kusuka dari Mesir. Sopir seenaknya sendiri. Transportasi dan lalu lintas tidak tertib.

Di Sabi’.
Tak jauh dari tempatku turun ada sebuah masjid yang cukup besar. Aku berfikir untuk sholat Jum’at di situ. Tapi aku urung. Lebih baik aku balik saja ke Hay Asyir (Kampung Sepuluh) dan sholat Jum’at di masjid Assalam.

Sebelum naik angkot aku menyempatkan beli majalah Azhar edisi bulan Muharram 1430 H. Aku tertarik membeli karena di dalamnya ada selipan buku hadiah berjudul “al-Islâm kamâ yarâhu al-Ûrubbiyyûn” atau “Islam menurut persepsi orang Eropa” karya Prof. Dr. Muhammad Ghalab. Di samping itu aku juga membeli buku serial kajian Islam terbitan Kementerian Wakaf Majlis A’la Mesir edisi 163 berjudul “Manhaju al-Islâm fî Tahqîqi al-Salâm al-Âlamiy” (Metodologi/Tuntunan Islam dalam Merealisasikan Perdamaian Dunia) karya Prof. Dr. Muhammad al-Syahât al-Jundiy. Dapet satu majalah, satu buku hadiah plus satu buku kecil seharga 2,5 Pound (sepadan dengan Rp. 5000). Lumayan murah namun bergizi, hehe. Inilah salah satu bagian yang kusuka dari Mesir.

Di Assalam.

Setelah itu aku naik angkot menuju Kampung Sepuluh. Turunlah aku di depan masjid Assalam. Sesampai di sana sang qari’ baru saja memulai tilawah Qur’an-nya. Sehingga aku bisa menyimak ayat-ayat yang dilantunkan dengan seksama. Yang dibaca adalah surat Luqman. Oh, indah dan mengena. Sekitar 15 sampai 20 menit sang qari membaca al-Qur’an, hingga sampailah waktu adzan. Sang mu’adzin adalah sang qari’. Orang yang sama. Sudah cukup tua tapi suaranya merdu. Adzan pertama berlalu dan para jama’ah melakukan sholat sunnah rawatib. Setelah itu sang khatib naik mimbar dan mengucap salam. Dikumandangkanlah adzan kedua. Dan, mulailah sang khatib berkhutbah.

Dari awal khutbah aku sudah tertarik, sebab kalimat-kalimat yang terucap adalah susunan bahasa Arab dengan nilai sastra yang tinggi. Semacam sya’ir-sya’ir pujian kepada Allah dan salawat kepada Rasul. Indah dan nikmat. Hingga masuklah sang khatib pada inti khutbah. Sebelumnya tak kuduga jika sang khatib akan berbicara masalah Palestina, pemerintahan Mesir, sekaligus mengkritik bangsa Mesir, juga mengajak seluruh jama’ah untuk berbenah diri. Sebab, sebelum memasuki masjid, aku melihat ada 3 kompi mobil tentara yang berbaris di samping jalan dekat masjid. Aku jadi bertanya-tanya. Memangnya ada apa? Aku hanya mengira bahwa polisi-polisi itu mungkin disiagakan jika sewaktu-waktu ada demo atau entah apa. Aku tak terlalu hirau.

Aku simak terus khutbah Jum’at kali ini. Meski aku juga belum tau siapakah gerangan sang khatib. Beliau memulai dengan sebuah ayat. Yang kurang lebih bermakna, bahwa setiap kemenangan datangnya dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu memberi kemenangan atau kekalahan. Maka dalam hal ini, sang khatib berpesan kepada jama’ah agar senantiasa memohon kepada Allah, agar kaum mislim dimanapun berada selalu diberikan kemenangan dari Allah.

Poin selanjutnya, beliau berpesan, bahwa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia, terkait dengan kasus Palestina, tidak cukup memberi dampak signifikan. Sebab jika aksi yang dilakukan hanya berupa demonstrasi, pemboikotan dan lain sebagainya, itu tak akan cukup berarti bagi Israel. Sebab, aksi-aksi itu hanya bagaikan puing-puing yang beterbangan lalu akan hilang diterpa angin. Sebab aksi-aksi itu sifatnya masih terpecah-pecah. Parsial-parsial. Kaum muslimin belum menjadi satu jika hanya dengan seperti itu. Sehingga, hal itu tidak menimbulkan efek jera pada Israel dan sekutunya. Oh, andaikan kaum muslimin bisa satu suara!?? Oh, andaikan...

Sikap negara-negara Arab pun tak tegas. Kalaupun nampak ada sedikit ketegasan, mungkin itu juga hanya formalisasi kenegaraan untuk menebar kesan baik di mata warga. Namun implementasinya, NIHIL!. Poin yang lebih ditekankan oleh sang khatib adalah, bahwa setiap muslim, minimal sejak saat ini, dengan adanya konflik Palestina, harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Membekali generasi muda dengan akidah yang kokoh, ruh Islam yang kuat, di samping juga membekali dengan kemampuan fisik sekaligus keilmuan yang matang.

Terkhusus bagi bangsa Mesir, sang khatib berpesan untuk senantiasa waspada. Musuh dalam selimut lebih berbahaya. Dan musuh tersebut nampaknya telah berselubung di bebalik kota, dalam bentuk dan karakter yang beraneka warna. Maka sikap yang harus diterapkan untuk saat ini adalah mempersiapkan diri. Sedia payung sebelum hujan. Sebab dalam keyakinan sang khatib, Israel dan bala tentaranya dari kaum Yahudi, suatu saat pasti akan datang. Cepat atau lambat. Tak hanya ke Palestina, namun juga ke Mesir, Makkah, Madinah, juga negara Islam lainnya. Sebab dalam keyakinan mereka, Islam adalah musuh terbesar. Islam adalah penyebab kemunduran. Islam adalah mara bahaya. Tentunya menurut persepsi mereka yang absurd.

Beliau juga sangat menyayangkan akan sikap para pemuda yang suka mabuk-mabukan, kecanduan narkoba dan lain sebagainya. Di samping itu beliau menyayangkan peran dunia pendidikan yang belum berjalan maksimal, terutama di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Peran para guru perlu dioptimalkan, yaitu dengan jalan meningkatkan kualitas pengajaran yang tak hanya menularkan ilmu, tapi juga mengajarkan nilai dan menanamkan iman.

Dan, masih banyak lagi poin yang disampaikan sang khatib, yang intinya adalah seruan untuk memperkuat barisan dan kekuatan setiap pribadi muslim dalam berbagai bidang. Dalam dunia militer, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Jika musuh datang dengan senjata, maka kita harus siap melawan dengan senjata. Jika musuh menyerang melalui keilmuan, kita juga harus siap berperang via keilmuan. Dan lain sebagainya. Yang jelas, kita tak harus menunggu diserang untuk bersiap dan berbenah, tapi sejak sekarang, sejak dini sudah harus siap dan berbenah. Yaitu dengan menyiapkan diri sekaligus para generasi penerus yang matang dan kuat. Sehingga jika suatu saat nanti musuh datang, Islam akan tetap menang.

Kita tak mungkin hanya bermodal berani dan nekad untuk berjuang. Karena hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Yang benar adalah, kita mempersiapkan diri dulu, ketika sudah siap, maka majulah. Namun jika belum, jangan dulu. Jika kita mengkaji periodisasi turunnya ayat perang dalam al-Qur’an, maka kita akan menemukan ayat-ayat itu diturunkan ketika Nabi di Madinah. Tidak diturunkan ketika Nabi masih di Makkah. Mengapa demikian? Sebab Allah tahu, bahwa ketika di Makkah, posisi Nabi dan Islam belum cukup kuat. Masih lemah. Maka Nabi tidak langsung diperintahkan untuk berperang secara terang-terangan. Namun ketika di Madinah, tatkala Daulah Islamiyyah sudah berdiri kokoh, barulah ayat perang diturunkan.

Maka, umat Islam saat ini jangan hanya bisa marah dan geram melihat saudaranya ditindas. Tapi cobalah masing-masing introspeksi diri. Apa yang telah diperbuat dalam hidup. Sudahkah masing-masing mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap ‘perang’ dan ‘ujian’? Dan jika jawabannya belum, maka tentunya sejak dini kita harus mempersiapkan diri masing-masing.

Begitu panjang khutbah sang khatib. Dalam beberasa ruas aku sempat menitikkan air mata, haru dan merasa papa. Sebab sebagai seorang yang mengaku muslim, selama ini masih belum bisa secara sepenuhnya mengamalkan ajaran Islam. Spirit al-Qur’an masih begitu tipis menempel di hati. Namun, tak ada kata terlambat untuk terus belajar dan berbenah. Dan semangatku semakin terbakar. Untuk mendalami ajaran Islam. Untuk menggali ilmu Allah yang tersebar di muka bumi ini.

... ... ...
Tak jadi mengikuti sholat jenazah di Syubro untuk ayahnya si Mahmud, ternyata Tuhan menggantinya dengan jenazah lain. Sebab setelah usai sholat jum’at di masjid Assalam juga dilaksanakan sholat jenazah. Untuk seorang perempuan, entah siapa. Yang jelas dia muslimah. Maka turut menyolatinya adalah kewajiban muslim lainnya.
Usai sholat jenazah, sang qari’ yang juga mu’adzin baru menjelaskan, bahwa khatib dan imam sholat Jum’at kali ini adalah seorang Guru besar Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Ain Syams Kairo. Entah siapa namanya, aku lupa. Aku terharu!

Kairo, Jum’at, 26 Muharram 1430 H/23 Januari 2009 M.

Baca Selanjutnya...!...

Duh, Coba'an Apa Lagi?

Thursday, January 08, 2009

Selalu saja ada yang datang;
masalah demi masalah,
coba'an demi coba'an,
ujian demi ujian.

Tuhan, benarkah Engkau mencintai hamba-Mu ini?!
Sehingga Engkau begitu suka mengujinya,
sabarkah, atau menyerah!
aku berusaha menang dari setiap ujian,
tapi bagaimanapun aku tetap manusia,
punya kadar lemah nan lena.
Tubuhku yang kurus kering tak cukup kuat
menahan setiap goncangan, badai dan hujan.
Kali ini serangan begitu gencar bertubi-tubi,
aku tentu akan kalah,
jika tidak Engkau teguhkan kakiku,
memijak kuat bumi-Mu!

Dadaku sesak,
dipenuhi duri berserak.[]

.8 Januari 2009.

Baca Selanjutnya...!...

Kado Pahit Menjelang Ujian

Betapa skenario Tuhan begitu cepat berubah-ubah. Meletup-letup seperti hendak menggoyahkan sabarku. Menggempur pertahanku yang telah aku pupuk guna menghadapi pertempuran di medan ujian. Baru beberapa kejap aku serasa mendapat siraman cahaya hangat di balik udara dingin kota ini. Aku yang rindu kejutan-kejutan tak terduga meski walau beberapa baris kata. Ya, meskipun dalam kadar yang berbeda, tapi aku tetap menganggap itu istimewa. Bagiku, apapun status yang saat ini telah Tuhan titahkan untuk aku dan dia, tak ada bedanya. Bagiku dia tetap sama: tercipta untuk istimewa.

Duh, begitu Kuasa Engkau wahai Robb-ku. Engkau ganti siraman cahaya itu dengan petir dan kilat yang menyambar-nyambar, menyayat perih hatiku. Duhai, apa hendak dikata jika ini takdir-Mu. Apa hendak kubela jika ini hukum-Mu. Aku menyerah, Tuhan! Aku masih begitu sayang untuk menerima ini semua. Tak bolehkan aku menganggapnya tetap istimewa? Sebagai teman, sebagai sahabat! Bagiku itu cukup. Tapi mengapa musti ada coba? Hatiku tak cukup kuat untuk bersabar. Tak ada benci yang ingin kutanam. Tak dendam yang ingin kubalaskan. Aku telah berusaha menerima, Tuhan! Tapi mengapa, tiba-tiba ada ultimatum bernada ‘ancaman’? Oh, jika itu bermakna garis pemisah, tapal batas yang telah Engkau buatkan demi kebaikan aku dan dia, baiklah akan aku terima.

Tuhan, aku tak sedikitput ingin protes pada-Mu. Sebab aku yakin, semua yang aku terima dari setiap skenario ini adalah pilihan terbaik-Mu untukku, untuknya. Maka Tuhan, meski demikian pahit aku mengunyah barisan kata itu, aku terimakan dengan segenap kesadaran. Aku memang tak boleh berharap lebih banyak lagi untuknya. Dan bukankah aku memang tak banyak berharap lagi padanya!? Aku hanya ingin menjaga hatiku, agar sepahit yang kurasa, dia tetap menjadi sahabatku! Itu saja!

Satu lagi Tuhan. Tolong sampaikan padanya, terimakasih untuk sepucuk kado pahit hari ini. Saat ini memang terasa pahit bagiku, semoga hanya sesaat, dan esok rasa itu berubah manis. Bagaimana caranya? Berikanlah yang terbaik untuknya, jagalah ia sebagaimana mestinya. Hapuslah cintanya yang pernah ada untukku. Agar dia bahagia. Agar tak ada lagi aku yang setiap saat mengusik hatinya. Hapuslah, hapuslah...!

Adapun aku, biarlah Tuhan, akan aku jalani proses ini, sebagai tangga menuju ridlo-Mu. Amin!

Menjelang buka puasa di hari Kamis, Kairo, 8 Januari 2009.
PS: Untuk seseorang, terima kasih SMS-nya. Semoga dengan itu aku semakin giat berdo’a; mengharap ketabahan dan kesabaran dari-Nya.

Baca Selanjutnya...!...

Selamat Tahun Baru, Bumi!

Thursday, January 01, 2009


Selamat tahun baru, bumi!
Masih bertahankah engkau
oleh segenap kebiadaban,
kemunafikan, ketamakan,
dan kecongkakan kami?

Masih sabarkah engkau, bumi
menyaksikan setiap perjalanan angin,
pergantian musim, pergeseran tahun,
sementara tubuhmu kian menepi
terkikis rakus oleh para 'tikus'?

Hingga kapankan, bumi
engkau akan memaklumi
ulah manusia tak manusiawi?
Mereka tak saja menindasmu,
namun membahayakan diri sendiri
dengan eksploitasi, menggunduli,
melubangi juga mengotori.

sekali lagi aku menanyaimu, bumi:
"Kapankah kau akan benarbenar marah?"

"Nanti,.. ketika mentari telah berpindah arah!
Tatkala Tuhan menurunkan titah!"

"Oh...betapa misteri jawabanmu!
Aku takut manusia tak jua insaf.
Hingga kau murka tibatiba!"

"Bukankah aku telah sering menebar tanda;
banjir, longsor, gempa. Apa tak cukup makna?"

"Kamu benar, bumi. Tapi, kami, manusia, memang bebal!"

Bebal, bebal, bebal
semakin tebal
menebal
hingga gelap menggumpal
menyelimuti hati,
dan akal.[]

Kairo, Kamis, 1 Januari 2009.

Baca Selanjutnya...!...