Tulislah Aku; Abadikan Rasa! (Bag. 1)

Thursday, April 23, 2009


Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Seseorang terkadang lupa atau tak sadar, bahwa setiap bentuk rasa yang muncul dalam beragam momen dan nuansa sangatlah berharga. Ketika seseorang sedang bahagia karena banyak hal; cinta, rizki berlimpah, kesuksesan karir dan lain sebagainya. Atau sebaliknya, tatkala seseorang dirundung duka dan kesedihan; karena putus cinta, sakit hati, kehilangan harta, rizki mampet, kegagalan karir serta segenap variannya. Padahal sejatinya, itu semua adalah pelajaran penting yang kita dapatkan tanpa harus bayar biaya sekolah maupun kuliah.

Yang menjadi problem adalah, ketika kita didatangi berbagai rasa itu, namun kita membiarkannya pergi begitu saja. Alhasil, pelajaran yang terkandung di dalamnya pun ikut lenyap bersama laju waktu yang kian renta. Ibarat ilmu, kata Imam Syafi’i, ia perlu ditulis agar tak lupa. Seperti buruan, ia harus dikerangkeng dengan ‘sesuatu’ agar tak lepas. Laksana perahu yang harus diikat dengan seutas tali agar tak lari dari tepian. Sebab, ombak yang besar tak jarang menerjang. Lalu, bersama angin kencang ia seret-hanyutkan perahu itu. Begitu juga setiap rasa, baik bahagia maupun duka, ia hanya akan menjadi kisah purba tak bermakna, jika tak diikat dalam alam ingatan.

Mengapa demikian? Sebab, bumi terus berotasi. Hal itu meniscayakan adanya keberulangan. Saat ini kita di atas, dan nanti kita di bawah. Tapi bukankah esok dan lusa kita akan berada di atas lagi, dan di bawah lagi?! Tak hanya benda-benda fisik, yang metafisik pun demikian. Masing-masing punya potensi untuk berulang dan terjadi lagi. Gerak hati termasuk yang metafisik. Perasaan termasuk abstrak. Begitu pula olah fikir serta paradigma manusia. Semuanya mungkin bolak-balik, mungkin berbilang. Satu perasaan, akan berpotensi menjumpai kita beberapa kali.

Nah, dari abstraksi di atas, kita dapat meraba diri kita masing-masing. Benarkah hal itu terjadi? Sebagai contoh: apakah pernah Anda mengalami patah hati selama dua kali atau lebih? Berapa kalikah Anda berbahagia dan bersedih selama ini? Jawabannya bervariasi dalam bentuk bilangan. Namun semuanya menunjukkan arti banyak. Berkali-kali, berulang kali. Lalu pertanyaan berikutnya: bagaimanakah sikap Anda ketika mengalami hal-hal tersebut? Misalkan sedang patah hati, apa yang Anda rasakan, apa yang Anda lakukan sebagai respon atas perasaan itu?

Bisa jadi, dan sangat mungkin terjadi, seseorang yang pernah patah hati dan telah berhasil keluar dari sekat rasa itu, akan kembali mengalami derita yang sama ketika hal itu terjadi lagi. Patah hati pertama; terpuruk, sedih berkepanjangan, menangis berhari-hari. Patah hati kedua, masih begitu-begitu juga menyikapinya. Terjadi ketika kalinya, memilih putus asa lalu bunuh diri. Bukankah ini sebuah kebodohan? Ataukah hal ini manusiawi?

Menurut hemat saya, jika yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas, tentu hal itu merupakan tragedi besar yang perlu kita sikapi secara bijak. Dalam hal ini ada satu kata kunci yang menyebabkan tragedi itu terjadi, yaitu LUPA. Manusia lupa berintrospeksi. Manusia lupa mencari solusi. Manusia lupa jati diri. Manusia lupa, bahwa setiap kejadian yang dialaminya merupakan konsekuensi logis atas amanat kehidupan ini. Dan, manusia lupa, bahwa setiap episode (baca: takdir) pasti meniggalkan pesan dan pelajaran yang harus selalu diingat. Untuk apa? Agar tak kehilangan tongkat dua kali. Supaya tak terjebak lubang yang sama berkali-kali.

Oleh sebab itulah manusia perlu pengingat. Pengingat itu tak harus dari benda hidup, seperti manusia. Namun bisa juga dari benda mati, seperti kitab suci, buku-buku dan catatan-catatan yang berserakan di semesta alam. Mengapa kita tak berusaha menyekat rasa? Mengapa kita enggan mengabadikan setiap kejadian? Dengan tulisan, kita bisa menyimpan makna. Dengan tulisan juga, kita bisa menganalisa pertanda. Dan, melalui tulisan kita bisa mengantisipasi masa depan. Namun perlu diingat juga, kita hanya menjalani kemungkinan-kemungkinan, melakoni usaha-usaha. Hasilnya, ada di tangan Yang Kuasa.

Lalu apa masalahnya, sehingga kita sering lupa, sering tak sadar? Apalagi untuk menuliskan perasaan, mencatat kejadian-kejadian, mengangkat pena saja tak mampu karena terlalu berat ditimpa coba. Atau karena tak sempat, saking bahagianya keruntuhan anugrah dan sebongkah berkah. Padahal, jika kita renungkan sejenak saja, dalam momen-momen klimaks seperti itu, mengungkapkan sesuatu justru akan benar-benar sampai pada akarnya. Anda tak percaya? Coba tanyakan pada diri masing-masing, dalam kondisi yang bagaimana Anda menulis (baca: curhat)? Biasanya, seseorang akan bisa menulis dengan bagus dan dalam justru ketika sedang sangat sedih atau sangat bahagia. Betulkah?? Tak ada jalan lain untuk membuktikannya jika belum kita coba!

Kebahagiaan dan kesedihan tak perlu kita undang. Namun secara alamiah ia akan mendatangi kita kapan saja, di mana saja. Maka terlepas dari sulit atau mudahnya mengungkapkan rasa dalam bentuk frasa, sekali lagi kita semua patut mencobanya. Mengapa? Sebab dengan demikian, secara otomatis kita akan mengantongi pelajaran. Kita akan memahami rambu-rambu kehidupan.

Dengan proses ini, kita akan menjadi “kaya”. Dan ketika telah “kaya”, kita mampu “membeli dan membayar” apa saja. Kita mampu “membeli” ujian dan cobaan dengan kesabaran dan ketabahan. Kita mampu “membayar” anugrah dan karunia dengan kesyukuran. Kita bisa “menitipkan” usaha dan doa dengan tawakkal. Jika demikian, kita akan mampu berdamai dengan takdir.

Maka untuk merealisasikan itu semua, dalam rangka meniti kehidupan yang berputar, kita perlu pegangan sekaligus pedoman. Sebelum kita membaca orang lain, membaca kisah mereka untuk kita jadikan pelajaran, kisah kita sendiri juga patut kita baca. Episode yang telah kita lalui dalam setiap lembaran hari perlu kita telaah kembali. Tapi apakah mungkin kita bisa membaca dan menelaah kisah kita, jika tak ada catatan yang menyimpannya, yang mengabadikannya?! Dalam nada sayup, Rasa memanggil dan berucap dari lubuk hati: “wahai jemari, tulislah aku!”[]

_Cairo, 23 April 2009.

4 Komentar:

Anonymous said...

Iyah,, sepakat.. ketika ada suatu kejadian.. sebaiknya kejadian itu tidak berlalu begitu-begitu saja.. semestinya ada pelajaran penting yang bisa dipetik (baik senang atau sedih).
Ada yang bilang, kalau mau sukses belajarlah dari pengalaman, atau kegagalan adalah sukses yang tertunda. Kesuksesan memang bukan karena itu tebusan karena kita pernah gagal, tapi lebih bagaimana kita menyikapinya agar kegagalan tidak berulang.. Insya Allah..

Sabdapena said...

Wah, terimakasih Mbak Zizima sudah berkenan membaca sekaligus berkomen.hehe
Betul, intinya kita menulis untukbelajar dan belajar untuk menulis, hehe..
keep in touch..

farahgalbie said...

menyentuh bgtz lut..

Sabdapena said...

Hmm...Makasih mbak farah!
Komen sampean juga membuatku tersentuh!hehe...
Meski tidak tertulis di sini, tapi perasaan serta ruh yang menyelusup ke dalam hati Pean ketika membaca tulisanku, itu yang membuatku semakin bersemangat untuk berkarya!