Bulan Bertabur Cinta

Tuesday, September 15, 2009

Membincang Ramadhan erat kaitannya dengan cinta dan kasih sayang. Bagaimana tidak(?), Allah Swt. sendiri telah memilihnya sebagai bulan dimana kasih sayang-Nya ditumpahkan di seantero langit dan bumi.

Sepertiga pertama adalah bentuk awal dari cinta kasih Allah kepada para hamba-Nya (awwaluhû rahmah). Sementara sepertiga kedua adalah implementasi rasa cinta Allah dalam bentuk yang lebih besar, yaitu berupa ampunan (awsathuhu maghfirah). Adapun sepertiga terakhir adalah puncak ungkapan cinta Allah yang berupa penyelamatan dari api neraka (itqun minan nâr).

Ketiga ihwal di atas tiada lain adalah jelmaan-jelmaan kasih sayang Tuhan kepada para hamba-Nya yang ta’at dan ikhlas. Barangsiapa mampu meniti tangga-tangga hari di bulan Ramadhan dengan amal ibadah yang baik, maka anugrah terbesar akan ia dapatkan. Adakah yang lebih berharga dari cinta kasih Tuhan? Sebab jika Allah sudah mengasihi hamba-Nya, maka hanya sorga jaminannya.

Ramadhan sebagai bulan kasih sayang juga tercerminkan dalam pola interaksi sosial yang terjalin dalam masyarakat Islam. Baik si kaya maupun si miskin berada dalam posisi yang sama. Sama-sama merasakan derita haus dan lapar. Sama-sama membina hati untuk bersabar. Sama-sama menata niat untuk tawakkal.

Maka dalam kondisi seperti ini, akan muncul sebuah dorongan hati untuk saling berbagi. Yang kaya memberi yang miskin. Dan, yang miskin menerimanya sebagai bentuk derma & karunia. Dengan memberi, berarti si kaya telah melakukan sebuah implementasi kesyukuran atas anugrah Tuhan kepadanya. Dan, dengan menerima, si miskin juga telah bersyukur akan nikmat yang diterimanya, melalui tangan si kaya. Sungguh sebuah jalinan kasih sayang sesama muslim yang sinergis!

Di samping itu, bentuk cinta lain yang kita rasakan di sela-sela Ramadhan adalah “al-Qur`an”. Tak bisa dipungkiri, bahwa al-Qur`an merupakan salah satu wujud kasih sayang Tuhan. Ia adalah sekumpulan surat cinta Tuhan yang diturunkan kepada segenap manusia beserta alam semesta.

Al-Qur`an diturunkan pada malam keberkahan (innâ anzalnâhu fî lailatin mubârakah. [Ad-Dukhân: 3]). Malam keberkahan itu disebut malam Lailatul Qadar (innâ anzalnâhu fî lailatil qadr. [Al-Qadr: 1]). Dan malam Lailatul Qadar terdapat pada bulan Ramadhan (Syahru Ramadhân alladzî unzila fîhi al-Qur`ân...[Al-Baqarah: 185]).

Maka dengan firman-firman Allah ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran, betapa al-Qur`an diturunkan sebagai berkah dan kasih sayang, dari Dzat Yang Maha Penyayang, kepada seorang makhluk penyayang (Muhammad Saw.) dan diperuntukkan sebagai pedoman dan petunjuk bagi seluruh insan.

Adakah pahala yang lebih besar dari pahala malam Lailatul Qadar? Satu malam berbanding seribu bulan. Sementara umur manusia rata-rata tak sampai seribu bulan, yang jika kita hitung sepadan dengan 83 tahun. Umur Rasulullah saja hanya 63 tahun. Namun mengapa Allah memberikan peluang kepada setiap hamba untuk dapat beribadah dalam satu malam tapi diganjar seperti ibadah 1000 bulan/83 tahun? Bukankah ini adalah juga bentuk cinta yang sangat istimewa dari Dzat yang kasih sayang-Nya tiada pernah terbilang?

Maka mukjizat al-Qur`an yang hingga kini dan sampai kapanpun akan tetap terjaga nan abadi adalah sebongkah ungkapan cinta dari Tuhan. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan terhadap al-Qur`an. Apakah hanya sebatas kita baca ‘surat cinta’ itu? Atau kita baca sambil menghayati kandungan maknanya? Atau kita jadikan ia sebagai bekal termewah untuk meniti kehidupan dunia dan akhirat?

Jika pertanyaan pertama yang kita pilih, maka hanya dengan membacanya pun kita telah mendapatkan pahala. Bila kita memilih pertanyaan kedua, maka pahala dan hasilnya akan semakin banyak. Sebab, setelah kita memahami kandungan maknanya, kita akan beranjak mengamalkannya. Dan apabila pertanyaan ketiga yang kita tempuh, maka kebahagiaan hakiki akan kita raih.

Tapi ironisnya, jika kita justru acuh tak acuh terhadap surat-surat cinta itu. Jika membacanya saja enggan, maka bagaimana kita bisa mendapatkan cinta dari Dzat yang mengirim surat cinta itu? Dan jika demikian yang terjadi, berarti secara tidak langsung kita telah menolak cinta dan kasih sayang Tuhan yang sebenarnya dialamatkan kepada kita. Na’ûdzubillâh!

Dari beberapa deskripsi di atas, kita bisa menyimpulkan betapa Ramadhan adalah bulan bertabur cinta. Yang telah disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja dimensi cinta dan kasih sayang yang terangkup dalam madrasah Ramadhan. Masih banyak lagi bentuk kasih sayang lainnya yang bisa kita lihat dan rasakan. Maka dengan keutamaan yang seperti ini, akankah kita menyia-nyiakan Ramadhan?? Wallâhu a’lam.

0 Komentar: