Menemukanmu,
sebuah harap yang terjawab.
Dicatat oleh: Sabdapena at 1:28 AM 0 Komentar
Elegi sebuah Pertemuan
Tuesday, January 08, 2013Dicatat oleh: Sabdapena at 5:22 PM 1 Komentar
Kategori: Puisi
Jeda; Singgahlah Sejenak di Kedaiku (Bag. 1)
Sunday, January 06, 2013Dicatat oleh: Sabdapena at 12:49 AM 1 Komentar
Kategori: Catatan Harian, Catatan Kecil, Esei
Mencintaimu . . .
Wednesday, December 26, 2012Aku ingin mencintaimu seperti hujan, yang menghidupkan kembali sang bumi setelah kekeringan.
Dicatat oleh: Sabdapena at 9:45 PM 0 Komentar
Kategori: Puisi
Kembali ke Merah-Putih!
Friday, September 28, 2012Dicatat oleh: Sabdapena at 9:28 AM 0 Komentar
Kategori: Puisi
Engkau Keajaiban
Sunday, July 08, 2012Dicatat oleh: Sabdapena at 3:12 AM 0 Komentar
Kategori: Puisi
Tentang Rasa, Dalam Sebingkai Tanya?
Dicatat oleh: Sabdapena at 3:10 AM 0 Komentar
Kategori: Puisi
Refleksi Setahun Pengabdian di MAPK
Sunday, February 27, 2011Setahun yang lalu, 20 Februari 2010, aku memulai sebuah babak baru dalam hidupku. Yaitu dengan memilih Asrama MAPK-MAN 1 Surakarta, sebagai tempat untuk mengabdikan diri dan mengaktualisasikan ilmu. Hal ini tidak sekedar tuntutan keterpaksaan karena kebingungan hendak ke mana aku akan menempuh jalanku setelah usai kuliah. Namun, lebih dari itu, niat ini telah tumbuh semenjak aku masih berada di bumi kinanah, Mesir. Aku telah berazam untuk turut mengabdi di almamater tercinta, entah dalam durasi waktu yang (barangkali) belum aku tentukan.
Setelah sejenak bernostalgia dengan keluarga dan tanah kelahiran, menumpahkan segenap kerinduan, akupun berinisiatif untuk segera mengambil langkah maju dalam rangka mengamalkan ilmu, sekaligus melanjutkan jenjang studi berikutnya. Di Rembang, kota kelahiranku, mungkin tak susah kiranya jika aku mau mencari lahan untuk mengamalkan ilmu. Namun, tentunya akan sulit bagiku untuk mengembangkan potensi sekaligus melanjutkan studi. Untuk itulah aku memutuskan untuk berhijrah ke Solo (yang menurutku adalah salah satu kota besar yang cukup mudah dalam mengakses beragam informasi dan mengasah potensi), sebagai langkah awal untuk menyongsong masa depan yang lebih bermakna.
Ingin seperti Ibrahim As.
Dengan berhijrah meninggalkan kota kelahiran, bukan berarti aku berniat untuk benar-benar meninggalkannya, selamanya. Namun, hijrahku adalah sebagai wasilah untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya, lalu aku akan kembali untuk memberikan darma dan sumbangsihku kepadanya. Hal ini bukan berarti juga aku meninggalkan Rembang karena tanahnya yang gersang, sumber daya alamnya yang minim, demikian pula sarana prasarananya yang kurang.
Aku ingin meniru Ibrahim As, yang dengan segenap keyakinan dan keteguhan hati mampu bertahan di Makkah, kota tandus di tengah sahara, bersama keluarganya. Makkah yang pada saat itu bahkan sangat sulit untuk menemukan mata air untuk menyeka dahaga. Makkah yang sangat panas dengan terik matahari yang menyengat. Jika seandainya, konon, Ibrahim berniat berhijrah dari Makkah untuk selamanya, pergi meninggalkannya, maka tentu tak akan tercipta peradaban Islam yang hingga kini masih menggaung di seantero dunia.
Namun, aku tak bisa menirunya dengan tidak sama sekali meninggalkan kotaku, melainkan aku harus berhijrah dalam beberapa purnama, untuk dapat merengkuh secercah cahaya yang akan aku bawa serta kembali menerangi tanah kelahiranku. Ini adalah niat, yang semoga Allah mencatatnya sebagai satu poin yang akan dapat terwujud dengan bantuan kun fayakun-Nya. Tentu, manusia dengan segenap keterbatasan, hanya bisa bermimpi, berusaha dan berdo’a. Adapun hasil akhirnya, Allah-lah yang memegang kuasa.
Belajar dan Mengajar
Setelah genap setahun aku mengabdikan diri di MAPK, berinteraksi dengan para siswa dan juga guru, banyak sekali pelajaran berharga yang aku dapatkan. Antara lain, aku semakin merasakan arti penting belajar. Dalam waktu yang sama, aku juga merasakan arti penting mengajar. Dengan belajar, berarti kita akan terus menambah perbendaharaan ilmu dan pengetahuan. Dengah hal tersebut, akan terjadi satu pola sinergis dalam proses mengajar. Sebab semakin kita menguasai satu ilmu tertentu melalui proses belajar, maka kualitas kita dalam mengajar juga akan meningkat.
Ada satu kaidah umum yang barangkali telah menjadi sunnatullah: “jika kita telah paham dan menguasai akan satu hal, maka kita juga akan bisa memahamkan orang lain tentang satu hal tersebut. Dan sebaliknya, jika kita sendiri belum paham akan sesuatu, maka kita pun akan sulit untuk memahamkan sesuatu tersebut kepada orang lain.” Berangkat dari hal ini, tentu tumbuh semacam motivasi dari dalam diri untuk senantiasa belajar dan belajar lebih banyak lagi. Dengan demikian, input yang masuk dalam diri kita akan bisa sebanding lurus dengan output yang kita berikan kepada orang lain.
Ada juga falsafah lain yang bisa memperjelas poin ini, yaitu filosofi teko, kendi dan semacamnya. Teko atau kendi bisa mengeluarkan air dari “mulut”nya adalah karena sebelumnya ia telah diisi air. Jika di dalamnya kosong tak berisi, maka ia juga tak akan bisa menuangkan air. Demikian juga otak manusia. Jika otak tersebut kosong, maka akankah mulut dapat berbicara dan tangan dapat menulis? Tentu tidak! Maka sebagaimana kendi yang butuh diisi, otak juga demikian adanya.
Dengan menjalani dual-status, yaitu sebagai pelajar sekaligus pengajar, aku benar-benar merasakan betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Betapa berharganya waktu yang terus berlari tanpa pernah berhenti dan kembali. Satu sisi aku harus menambah wawasan, mencari ilmu di bangku kuliah dan juga di mana saja, dan di saat yang sama aku harus membagikannya kepada para siswa. Satu simphony kehidupan yang menurutku sangat dinamis.
Semoga aku benar-benar bisa menjadi pembelajar sejati (being learner), yang pada gilirannya nanti juga bisa menjadi guru sejati. Rasulullah SAW, sebelum ia menjadi seorang guru sejati bagi semesta alam, ia terlebih dahulu menjadi siswa yang baik di sekolah Tuhan, melalui bimbingan Jibril As. Semoga kita bisa meneladaninya dalam hal ini.
Man Khadama Khudima
Salah satu pesan yang sangat aku ingat dan begitu lekat dalam ingatan adalah “Man Khadama Khudima”, barangsiapa yang mau melayani atau mengabdi, maka suatu saat ia akan menjadi orang yang dilayani oleh orang lain. Kalimat ini aku rekam beberapa kali dari Ustad Sukemi. Beliau menegaskan kaidah ini kepada kami, beberapa kali, dalam berbagai kesempatan, yang tiada lain adalah agar kami senantiasa bermuhasabah dan mengevaluasi niat kami. Pengabdian tetaplah pengabdian. Sejenis perjuangan, yang tidak bisa dihargai dengan nominal uang tertentu. Maka yang paling penting adalah, tulusnya niat, ikhlasnya hati, mengharap Ridlo Ilahi.
Memang terkadang kalau aku berpikir secara logis, sangat berat tugas yang ada di pundak kami. Tatkala para orang tua datang, membawa anak-anak mereka lalu menitipkannya kepada kami, tentu ini sebuah amanat yang tidak ringan. Sangat besar harapan mereka kepada kami, agar kami mampu mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang awalnya belum bisa membaca al-Qur`an dengan benar, setelah lulus dari sini mereka bisa membaca al-Qur`an dengan fashih. Yang awalnya mereka belum bisa bahasa Arab dan Inggris, setelah selesai masa studi di sini mereka telah mampu berbahasa Arab dan Inggris dengan baik. Yang awalnya etika dan akhlaq anak-anak mereka kurang baik, ketika lulus etika mereka menjadi semakin baik, dan lain sebagainya.
Tentu hal-hal semacam ini menjadi satu beban tersendiri. Maka sungguh, jika tidak dengan niat yang ikhlas dan hati yang teguh, tak akan kuat dan sanggup aku berada di sini, bertahan hingga satu tahun lamanya. Namun dengan kebersamaan, dengan bahu-membahu antar satu elemen dengan elemen lainnya, beban tersebut terasa sedikit lebih ringan. Belum lagi ketika menghadapi berbagai macam karakter anak yang berbeda-beda, tentu hal ini menjadi PR tersendiri bagaimana aku harus dapat belajar lebih bijak dan arif dalam bersikap.
Tidak hanya karakter siswa yang beraneka ragam, demikian pula karakteristik para guru atau Dewan Asatidz yang berbeda-beda. Hal ini sesekali menimbulkan “percikan-percikan api” yang bagiku, justru dapat menambah kekayaan batin dan pengalaman. Ada satu hal yang aku pegang dalam hidup, bahwa sejatinya setiap manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya. Maka dari itu sebisa mungkin aku menghindari yang namanya permusuhan dan saling benci. Sebab apa gunanya kita saling membenci jika ternyata kita saling membutuhkan. Manusia diciptakan dengan segenap kekurangan, maka kita membutuhkan orang lain untuk melengkapi kekurangan kita. Maka dari sinilah semestinya kita bisa mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati, bukan justru sikap saling membenci dan memusuhi.
Barangkali tak hanya di sini, namun di manapun tempatnya akan muncul dinamika seperti ini. Yang semestinya harus diusahakan dan diciptakan adalah suasana kondusif dan nuansa toleransi dalam keberagaman. Bersatu dalam perbedaan. Begitulah tutur Ustad Sukemi kepada setiap siswa baru yang akan menempuh masa studinya selama kurang lebih 3 tahun di asrama dan MAPK. Dengan menanamkan sikap seperti ini, maka akan muncul sikap saling menghargai meskipun masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, baik dalam hal status sosial, aliran kepercayaan dan seterusnya. Sungguh indah jika perbedaan benar-benar bisa menjadi rahmat.
Kuncinya adalah Proses Regenerasi
Jika mengamati beberapa instansi pendidikan atau lebih khusus sekolah-sekolah berlabel MAPK (dahulu MAKN) yang sebagian besar, bahkan hampir semua, telah gulung tikar, salah satu faktor penyebabnya adalah tidak berhasilnya proses regenerasi di tubuh pembina atau para guru yang menemani para santri di asrama atau pesantren. Hal ini (menurut hematku) setidaknya dipengaruhi beberapa hal, antara lain mungkin karena tidak memadainya gaji atau dana tunjangan yang darinya mereka bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Di saat yang sama, mereka melihat bahwa rumput tetangga lebih hijau, bahwa lahan di luar lebih subur dan sebagainya.
Namun Alhamdulillah, MAPK Solo hingga kini masih tetap eksis semenjak ia didirikan pada tahun 1990. Hal ini tiada lain adalah atas berkat perjuangan dan dedikasi yang sangat tinggi dari para pendiri serta berbagai elemen yang mendukungnya, antara lain adalah faktor alumni. Tradisi yang telah berjalan dan masih ada hingga sekarang adalah kesediaan para alumni untuk mengabdi dan kembali mengamalkan ilmunya di almamater tercinta. Hal ini, sedikit maupun banyak memberikan peran tersendiri dalam menjaga eksistensi MAPK-MAN 1 Surakarta.
Tidak banyak memang, alumni yang mau berkiprah secara langsung untuk terjun di lapangan menjadi guru dan tenaga pengajar di MAPK. Ini dikarenakan para alumni lebih memilih untuk mengembangkan potensi di tempat lain, dan hal ini justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga besar MAPK. Yang terpenting adalah para alumni bisa mewarnai dan bisa berkiprah sesuasi bidangnya masing-masing, di manapun mereka berada.
Cukuplah beberapa orang saja yang kembali menapakkan kaki di asrama, mengikat niat untuk mengabdi, sedangkan selebihnya menyebar di seantero dunia dengan tetap berkirim do’a dan senantiasa memberi dukungan moril demi kelanggengan almamater tencinta. Dengan demikian, MAPK akan senantiasa ada dan berusaha untuk tetap mencetak generasi pilihan yang siap menyambut tongkat estafet perjuangan para pendahulunya.
Telah genap aku mengabdikan diri selama setahun dan masih akan kulanjutkan pengabdian ini hingga saat yang tidak ditentukan. Selama aku masih dibutuhkan di sini dan selama Allah belum menyediakan lahan lain bagiku untuk belajar dan mengajar, maka aku akan tetap bertahan di sini. Tentu dengan segenap kekurangan yang melekat pada diriku, aku akan terus belajar dan belajar. Tak ada manusia yang sempurna, namun usaha untuk menuju kesempurnaan itu harus terus diusahakan.
Di tengah malam nan sunyi ini, aku memanjatkan do’a kepada Sang Penggenggam Kehidupan, semoga limpahan rahmat-Nya senantiasa tercurah kepada kami semua. Dan semoga hidayah-Nya tak putus-putus dalam membimbing kami menjalankan amanat ini. Amin.
M. Luthfil Anshori
Solo, Astra, 20 Februari 2011, 00.10 WIB.
Dicatat oleh: Sabdapena at 2:50 AM 0 Komentar
Kategori: Catatan Harian