Saturday, November 29, 2014

Menemukanmu,
sebuah harap yang terjawab.

Meminangmu,
sebuah niat yang terpanjat.
Menikahimu,
sebuah janji yang suci,
ikrar hati menggapai Ridho Ilahi.[]


6.9.13

Baca Selanjutnya...!...

Elegi sebuah Pertemuan

Tuesday, January 08, 2013

Mengenalmu tak sekedar bertemu,
namun sebuah jawaban kegelisahan,
secercah terang dalam gelapnya kehampaan.
Menemukanmu di sudut waktu,
tak cukup mengurai rindu purbaku,
mendenahkan mimpiku,
lalu memetakan arah lajuku.

Meski,
menjumpaimu dalam jeda yang tak lama,
kau laksana anugrah,
selaksa bahagia yang memenuhi rongga dada;
sebahagia orang yang tersesat menemukan kompas dan peta,
sebahagia tuna netra yang menemukan kembali tongkat penunjuknya,
sebahagia embun menemukan daun yang menampungnya,
sebahagia mufasir yang menemukan makna.

Lalu,
bagaimana aku tidak merasa iba,
melihat bayang hidupku di wajahmu,
sedangkan kau masih ragu.
Bagaimana aku tidak merasa lemah,
jika sepuing tulang rusukku ada padamu,
namun kau terombang-ambing dalam ambigu,
inginkah kau satukan,
atau tetap kau bawa pergi,
sendiri...

Akankah,
kau berniat menjaga asa,
dalam liku jalanmu,
hingga waktu,
menyatukanmu
dalam peta hidupku?

Semoga...[]

*Terangkai di zawiyah sakan, 09.01.2013.

Baca Selanjutnya...!...

Jeda; Singgahlah Sejenak di Kedaiku (Bag. 1)

Sunday, January 06, 2013

Waktu yang terus berjalan, pergantian siang dan malam, mengajarkan kepada manusia tentang arti sebuah gerak. Karena gerak adalah keniscayaan bagi setiap makhluk. Dari gerakan itulah muncul perubahan. Perubahan yang merupakan bukti, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini.

Dunia menjadi tanpa koma. Waktu melaju tanpa pernah istirah. Oleh sebab itulah manusia ikut hanyut dalam kesatuan dinamika semesta. Karena bumi, langit dan manusia adalah sama-sama ciptaan-Nya, yang mengikuti alur sistem-sunnah-Nya. Manusia menjadi sibuk dalam ruang atmosfir kebendaan, yang seringkali menjauhkannya dari dahan perenungan. Hal ini membuatnya lupa. Bahkan, ia terhempas jauh dari kesejatiannya sebagai manusia.

Singgahlah sejenak. Engkau adalah musafir yang tak harus terus berjalan. Berhentilah sejenak. Berikan jeda kepada kaki untuk istirahat, rongga dada untuk bernafas lega dan mata untuk memejamkan kelopaknya. Setelah itu, periksalah kembali arah kompasmu, denahkan lagi petamu, dan tengok dahulu bekal perjalananmu selanjutnya.

Singgahlah lagi sejenak. Isi dahulu daya tampung energimu. Redakan kegelisahan. Padamkan kepanikan akan rintangan-rintangan yang kau temui di sepanjang perjalanan. Lalu kau pupuk lagi harapan, perkuat kemauan, bulatkan tekad untuk kembali berjuang. Tentu, keterbatasan umur akan membuatmu selalu ingat dan waspada, untuk terus melaju menuju derajat tertinggimu. Tingkat kemanusiaan dan kehambaan yang hakiki. Martabat kemuliaan yang kan menjadi buah ketulusan, kesabaran, pengorbanan dan keyakinan.

Singgahlah sejenak di kedaiku, dalam jeda waktu secukupnya. Mencicipi manisnya iman, dalam penghayatan kehidupan. Menu-menu penguat jiwa dan penyeka dahaga akan kusajikan. Kesejukan mata dan ketenangan fikiran akan kau rasakan. Dalam damai kau kembali ke fitrahmu. Sebagai yang beriman dan berserah kepada-Nya. Seperti yang disarankan oleh seorang sahabat Rasul yang pemberani nan bijaksana, Mu’adz bin Jabal, dalam sebuah kalimatnya: “ijlis binâ nu`min sâ’ah”(Duduklah bersama kami, kita perbaharui iman sejenak. HR. Bukhari)

Dalam kesehariannya, manusia sering disibukkan dengan berbagai urusan keduniaan. Dan jika dimensi ruhani tidak dipenuhi kebutuhan gizinya, maka akan timpang. Akibatnya, manusia akan hidup dalam kegersangan. Kehampaan jiwa. Karena hanya raga yang menjadi perhatiannya. Maka oleh karenanya manusia butuh persinggahan-persinggahan di sela kesibukannya. Untuk memberi gizi penyeimbang dalam dirinya. Sehingga ia tak lupa akan tujuannya. Bahwa setiap perjalanan pasti ada akhirnya.

Berhenti selangkah untuk menyiapkan seribu langkah selanjutnya. Memberi hak secara adil kepada setiap yang berhak menerimanya. Bahwa kesibukan bukanlah penghalang. Derap langkah kita adalah kekuatan-Nya. Setiap desah nafas kita adalah pinjaman-Nya. Kesempurnaan raga adalah anugerah-Nya. Maka, tak ada alasan untuk tidak singgah sejenak, memperbarui keimanan kepada-Nya. Dalam jamuan alam semesta, di bawah cakrawala.

Mohammad Luthfil Anshori
Solo: [06.01.2013]         

Baca Selanjutnya...!...

Mencintaimu . . .

Wednesday, December 26, 2012

Aku ingin mencintaimu seperti hujan, yang menghidupkan kembali sang bumi setelah kekeringan. 

Aku ingin mencintaimu seperti awan, yang menghias langit sehingga lebih menawan. 
Aku ingin mencintaimu seperti angin, yang memberi kesejukan di saat peluh bercucuran. 
Aku ingin mencintaimu seperti matahari, yang setia pada cahaya . . .

.Solo, 26 Desember 2012.

Baca Selanjutnya...!...

Kembali ke Merah-Putih!

Friday, September 28, 2012

Kulihat kini,
ibumu menangis sepi,
menyaksikan drama pilu,
dalam bingkai liar amarahmu.

Kudengar lirih,
suara sendu ibumu,
meratapi sisa waktu,
bersama dentuman dahsyat nafsumu.

Kurekam gerak ibumu,
mencatatkan duka demi duka,
dalam lembar nestapa,
mengapa dan mengapa?

Anakku kini beranjak remaja,
namun mengapa tak semakin dewasa?
Anakku kini mengenyam pendidikan,
namun mengapa tak berperi-kemanusia-an?
Anakku kini mengenal teknologi,
namun mengapa tak berilmu tinggi?

Tangannya beku,
tak mampu lagi menggerakkan jemari,
disergap tanya tanpa koma.
Namun, lidahnya basah
mewiridkan harapan;
kembalilah,
menepi dari jalanan,
tanggalkan jubah kesombongan,
lalu merapat ke halaman-halaman,
tempat di mana sang saka dikibarkan,
lalu heningkan cipta,
temukan kesejatian,
bahwa yang harus kau genggam adalah pena,
bukan belati atau pedang,
bahwa yang harus kau bina bukanlah dendam,
namun persaudaraan dan perdamaian,
bukanlah kebencian yang membuantu maju,
namun kasih sayang dan kebersamaan.

Dia,
Ibu Pertiwimu,
Mengharapkanmu kembali,
ke merah-putih yang sejati,
berani dalam kebenaran,
suci dalam jernih hati yang menentramkan![]
*Solo, 28.09.2012, 22.20 P.M.

Baca Selanjutnya...!...

Engkau Keajaiban

Sunday, July 08, 2012

Engkau adalah teka-teki,
tak cukup aku membacamu sekali,
namun berkali-kali,
melewati lubang-lubang bahaya,
lalu terperosok ke dalamnya,
ketika aku salah memaknai.

Engkau adalah ujian,
penuh tantangan,
tak pantas bagi kemarahan untuk menang,
karena amarah seperti api.
Maka harus kukaji kembali,
tentang kesabaran yang pernah kulalui,
di hari-hari purbaku bersama senja.

Engkau adalah tanda,
yang mengisyaratkan sebuah kata,
namun kutak pandai membacanya,
sehingga aku diam dalam jeda,
menunggu dirimu menguraikannya.

Engkau adalah keajaiban,
yang mengajariku membaca,
menyulutkan api kemarahan,
menyiraminya air kesabaran,  
dan kesemuanya adalah tanda penuh makna,
yang harus kueja dengan cinta.[]


Asmadera, 25-12-11, 19.11.

Baca Selanjutnya...!...

Tentang Rasa, Dalam Sebingkai Tanya?

Malam beranjak kelam,
kala kutulis sajak ini.
Mengingatmu dalam lamunan,
menggerakkan jemariku untuk menari.

Ada sebentuk simbol yang tiba-tiba muncul, 
melukiskan suasana hati yang belum kukenali.
Kutatap langit, ia begitu cerah melempar senyuman penuh arti.
Rembulan pun terlihat begitu cantik bersanding mesra dengan bintang.
Apalagi, kunang-kurang yang redup-redam diam-diam datang,
turut menyampaikan pesan. 

Kutanyai hati tentang makna,
namun tak cukup jelas ia menafsirkan.
Kutanyai otak, namun ia tak kuasa melogika.
Abstrak. 
Namun dikatakan tak nampak, ia begitu nyata terasa.
Mungkin hanya mimpi-mimpi yang bisa menguraikan.
Sepenggal episode yang baru saja kualami.
Benarkah jika aku harus memahami,
atau cukup kunikmati saja rasa ini,
hingga waktu yang akan menjawabnya,
ketika sang surya telah datang
menyinari semesta,
sehingga nampak,
apa yang selama ini kutanya!?  
Tentang rasa,
yang ada,
dalam sepetak ruang hampa, 
dalam jiwa,
tanpa nama.

Asmadera, 19/04/2011. 22.40.

Baca Selanjutnya...!...

Refleksi Setahun Pengabdian di MAPK

Sunday, February 27, 2011

Setahun yang lalu, 20 Februari 2010, aku memulai sebuah babak baru dalam hidupku. Yaitu dengan memilih Asrama MAPK-MAN 1 Surakarta, sebagai tempat untuk mengabdikan diri dan mengaktualisasikan ilmu. Hal ini tidak sekedar tuntutan keterpaksaan karena kebingungan hendak ke mana aku akan menempuh jalanku setelah usai kuliah. Namun, lebih dari itu, niat ini telah tumbuh semenjak aku masih berada di bumi kinanah, Mesir. Aku telah berazam untuk turut mengabdi di almamater tercinta, entah dalam durasi waktu yang (barangkali) belum aku tentukan.

Setelah sejenak bernostalgia dengan keluarga dan tanah kelahiran, menumpahkan segenap kerinduan, akupun berinisiatif untuk segera mengambil langkah maju dalam rangka mengamalkan ilmu, sekaligus melanjutkan jenjang studi berikutnya. Di Rembang, kota kelahiranku, mungkin tak susah kiranya jika aku mau mencari lahan untuk mengamalkan ilmu. Namun, tentunya akan sulit bagiku untuk mengembangkan potensi sekaligus melanjutkan studi. Untuk itulah aku memutuskan untuk berhijrah ke Solo (yang menurutku adalah salah satu kota besar yang cukup mudah dalam mengakses beragam informasi dan mengasah potensi), sebagai langkah awal untuk menyongsong masa depan yang lebih bermakna.

Ingin seperti Ibrahim As.
Dengan berhijrah meninggalkan kota kelahiran, bukan berarti aku berniat untuk benar-benar meninggalkannya, selamanya. Namun, hijrahku adalah sebagai wasilah untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya, lalu aku akan kembali untuk memberikan darma dan sumbangsihku kepadanya. Hal ini bukan berarti juga aku meninggalkan Rembang karena tanahnya yang gersang, sumber daya alamnya yang minim, demikian pula sarana prasarananya yang kurang.
Aku ingin meniru Ibrahim As, yang dengan segenap keyakinan dan keteguhan hati mampu bertahan di Makkah, kota tandus di tengah sahara, bersama keluarganya. Makkah yang pada saat itu bahkan sangat sulit untuk menemukan mata air untuk menyeka dahaga. Makkah yang sangat panas dengan terik matahari yang menyengat. Jika seandainya, konon, Ibrahim berniat berhijrah dari Makkah untuk selamanya, pergi meninggalkannya, maka tentu tak akan tercipta peradaban Islam yang hingga kini masih menggaung di seantero dunia.
Namun, aku tak bisa menirunya dengan tidak sama sekali meninggalkan kotaku, melainkan aku harus berhijrah dalam beberapa purnama, untuk dapat merengkuh secercah cahaya yang akan aku bawa serta kembali menerangi tanah kelahiranku. Ini adalah niat, yang semoga Allah mencatatnya sebagai satu poin yang akan dapat terwujud dengan bantuan kun fayakun-Nya. Tentu, manusia dengan segenap keterbatasan, hanya bisa bermimpi, berusaha dan berdo’a. Adapun hasil akhirnya, Allah-lah yang memegang kuasa.

Belajar dan Mengajar
Setelah genap setahun aku mengabdikan diri di MAPK, berinteraksi dengan para siswa dan juga guru, banyak sekali pelajaran berharga yang aku dapatkan. Antara lain, aku semakin merasakan arti penting belajar. Dalam waktu yang sama, aku juga merasakan arti penting mengajar. Dengan belajar, berarti kita akan terus menambah perbendaharaan ilmu dan pengetahuan. Dengah hal tersebut, akan terjadi satu pola sinergis dalam proses mengajar. Sebab semakin kita menguasai satu ilmu tertentu melalui proses belajar, maka kualitas kita dalam mengajar juga akan meningkat.
Ada satu kaidah umum yang barangkali telah menjadi sunnatullah: “jika kita telah paham dan menguasai akan satu hal, maka kita juga akan bisa memahamkan orang lain tentang satu hal tersebut. Dan sebaliknya, jika kita sendiri belum paham akan sesuatu, maka kita pun akan sulit untuk memahamkan sesuatu tersebut kepada orang lain.” Berangkat dari hal ini, tentu tumbuh semacam motivasi dari dalam diri untuk senantiasa belajar dan belajar lebih banyak lagi. Dengan demikian, input yang masuk dalam diri kita akan bisa sebanding lurus dengan output yang kita berikan kepada orang lain.
Ada juga falsafah lain yang bisa memperjelas poin ini, yaitu filosofi teko, kendi dan semacamnya. Teko atau kendi bisa mengeluarkan air dari “mulut”nya adalah karena sebelumnya ia telah diisi air. Jika di dalamnya kosong tak berisi, maka ia juga tak akan bisa menuangkan air. Demikian juga otak manusia. Jika otak tersebut kosong, maka akankah mulut dapat berbicara dan tangan dapat menulis? Tentu tidak! Maka sebagaimana kendi yang butuh diisi, otak juga demikian adanya.
Dengan menjalani dual-status, yaitu sebagai pelajar sekaligus pengajar, aku benar-benar merasakan betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Betapa berharganya waktu yang terus berlari tanpa pernah berhenti dan kembali. Satu sisi aku harus menambah wawasan, mencari ilmu di bangku kuliah dan juga di mana saja, dan di saat yang sama aku harus membagikannya kepada para siswa. Satu simphony kehidupan yang menurutku sangat dinamis.
Semoga aku benar-benar bisa menjadi pembelajar sejati (being learner), yang pada gilirannya nanti juga bisa menjadi guru sejati. Rasulullah SAW, sebelum ia menjadi seorang guru sejati bagi semesta alam, ia terlebih dahulu menjadi siswa yang baik di sekolah Tuhan, melalui bimbingan Jibril As. Semoga kita bisa meneladaninya dalam hal ini.

Man Khadama Khudima
Salah satu pesan yang sangat aku ingat dan begitu lekat dalam ingatan adalah “Man Khadama Khudima”, barangsiapa yang mau melayani atau mengabdi, maka suatu saat ia akan menjadi orang yang dilayani oleh orang lain. Kalimat ini aku rekam beberapa kali dari Ustad Sukemi. Beliau menegaskan kaidah ini kepada kami, beberapa kali, dalam berbagai kesempatan, yang tiada lain adalah agar kami senantiasa bermuhasabah dan mengevaluasi niat kami. Pengabdian tetaplah pengabdian. Sejenis perjuangan, yang tidak bisa dihargai dengan nominal uang tertentu. Maka yang paling penting adalah, tulusnya niat, ikhlasnya hati, mengharap Ridlo Ilahi.
Memang terkadang kalau aku berpikir secara logis, sangat berat tugas yang ada di pundak kami. Tatkala para orang tua datang, membawa anak-anak mereka lalu menitipkannya kepada kami, tentu ini sebuah amanat yang tidak ringan. Sangat besar harapan mereka kepada kami, agar kami mampu mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang awalnya belum bisa membaca al-Qur`an dengan benar, setelah lulus dari sini mereka bisa membaca al-Qur`an dengan fashih. Yang awalnya mereka belum bisa bahasa Arab dan Inggris, setelah selesai masa studi di sini mereka telah mampu berbahasa Arab dan Inggris dengan baik. Yang awalnya etika dan akhlaq anak-anak mereka kurang baik, ketika lulus etika mereka menjadi semakin baik, dan lain sebagainya.
Tentu hal-hal semacam ini menjadi satu beban tersendiri. Maka sungguh, jika tidak dengan niat yang ikhlas dan hati yang teguh, tak akan kuat dan sanggup aku berada di sini, bertahan hingga satu tahun lamanya. Namun dengan kebersamaan, dengan bahu-membahu antar satu elemen dengan elemen lainnya, beban tersebut terasa sedikit lebih ringan. Belum lagi ketika menghadapi berbagai macam karakter anak yang berbeda-beda, tentu hal ini menjadi PR tersendiri bagaimana aku harus dapat belajar lebih bijak dan arif dalam bersikap.
Tidak hanya karakter siswa yang beraneka ragam, demikian pula karakteristik para guru atau Dewan Asatidz yang berbeda-beda. Hal ini sesekali menimbulkan “percikan-percikan api” yang bagiku, justru dapat menambah kekayaan batin dan pengalaman. Ada satu hal yang aku pegang dalam hidup, bahwa sejatinya setiap manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya. Maka dari itu sebisa mungkin aku menghindari yang namanya permusuhan dan saling benci. Sebab apa gunanya kita saling membenci jika ternyata kita saling membutuhkan. Manusia diciptakan dengan segenap kekurangan, maka kita membutuhkan orang lain untuk melengkapi kekurangan kita. Maka dari sinilah semestinya kita bisa mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati, bukan justru sikap saling membenci dan memusuhi.
Barangkali tak hanya di sini, namun di manapun tempatnya akan muncul dinamika seperti ini. Yang semestinya harus diusahakan dan diciptakan adalah suasana kondusif dan nuansa toleransi dalam keberagaman. Bersatu dalam perbedaan. Begitulah tutur Ustad Sukemi kepada setiap siswa baru yang akan menempuh masa studinya selama kurang lebih 3 tahun di asrama dan MAPK. Dengan menanamkan sikap seperti ini, maka akan muncul sikap saling menghargai meskipun masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, baik dalam hal status sosial, aliran kepercayaan dan seterusnya. Sungguh indah jika perbedaan benar-benar bisa menjadi rahmat.

Kuncinya adalah Proses Regenerasi
Jika mengamati beberapa instansi pendidikan atau lebih khusus sekolah-sekolah berlabel MAPK (dahulu MAKN) yang sebagian besar, bahkan hampir semua, telah gulung tikar, salah satu faktor penyebabnya adalah tidak berhasilnya proses regenerasi di tubuh pembina atau para guru yang menemani para santri di asrama atau pesantren. Hal ini (menurut hematku) setidaknya dipengaruhi beberapa hal, antara lain mungkin karena tidak memadainya gaji atau dana tunjangan yang darinya mereka bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Di saat yang sama, mereka melihat bahwa rumput tetangga lebih hijau, bahwa lahan di luar lebih subur dan sebagainya.
Namun Alhamdulillah, MAPK Solo hingga kini masih tetap eksis semenjak ia didirikan pada tahun 1990. Hal ini tiada lain adalah atas berkat perjuangan dan dedikasi yang sangat tinggi dari para pendiri serta berbagai elemen yang mendukungnya, antara lain adalah faktor alumni. Tradisi yang telah berjalan dan masih ada hingga sekarang adalah kesediaan para alumni untuk mengabdi dan kembali mengamalkan ilmunya di almamater tercinta. Hal ini, sedikit maupun banyak memberikan peran tersendiri dalam menjaga eksistensi MAPK-MAN 1 Surakarta.
Tidak banyak memang, alumni yang mau berkiprah secara langsung untuk terjun di lapangan menjadi guru dan tenaga pengajar di MAPK. Ini dikarenakan para alumni lebih memilih untuk mengembangkan potensi di tempat lain, dan hal ini justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga besar MAPK. Yang terpenting adalah para alumni bisa mewarnai dan bisa berkiprah sesuasi bidangnya masing-masing, di manapun mereka berada.
Cukuplah beberapa orang saja yang kembali menapakkan kaki di asrama, mengikat niat untuk mengabdi, sedangkan selebihnya menyebar di seantero dunia dengan tetap berkirim do’a dan senantiasa memberi dukungan moril demi kelanggengan almamater tencinta. Dengan demikian, MAPK akan senantiasa ada dan berusaha untuk tetap mencetak generasi pilihan yang siap menyambut tongkat estafet perjuangan para pendahulunya.
Telah genap aku mengabdikan diri selama setahun dan masih akan kulanjutkan pengabdian ini hingga saat yang tidak ditentukan. Selama aku masih dibutuhkan di sini dan selama Allah belum menyediakan lahan lain bagiku untuk belajar dan mengajar, maka aku akan tetap bertahan di sini. Tentu dengan segenap kekurangan yang melekat pada diriku, aku akan terus belajar dan belajar. Tak ada manusia yang sempurna, namun usaha untuk menuju kesempurnaan itu harus terus diusahakan.
Di tengah malam nan sunyi ini, aku memanjatkan do’a kepada Sang Penggenggam Kehidupan, semoga limpahan rahmat-Nya senantiasa tercurah kepada kami semua. Dan semoga hidayah-Nya tak putus-putus dalam membimbing kami menjalankan amanat ini. Amin.

M. Luthfil Anshori
Solo, Astra, 20 Februari 2011, 00.10 WIB.

Baca Selanjutnya...!...