Antara Mesir-Palestina, Khutbah dan Sholat Jenazah

Friday, January 23, 2009

Di rumah.
Pagi ini Kairo mendung. Kata orang mendung tak berarti hujan. Itu betul sekali jika disematkan untuk konteks Mesir. Sebab di Mesir memang jarang hujan. Yang sama dari mendung, dimanapun tempatnya, adalah gelap. Sebab dalam mendung matahari tertutup awan. Sehingga cahayanya tak sampai ke bumi. Hanya satu yang aku takutkan dari mendung di sini, yaitu angin dan debu. Biasanya mereka sangat kompak mendampingi mendung di kota ini. Tapi kali ini Tuhan berbaik hati, mendung tak beriring debu. Sehingga paru-paruku yang sudah terserang gangguan debu ini bisa selamat dari terkamannya.

Sekitar pukul 10.30 Waktu Kairo aku menyelesaikan perbincangan dengan seorang teman via chatting. Setelah itu segera kuraih ponselku, lalu kucari sebuah nama, Fathur. Aku telpon dia guna menanyakan agenda takziyah ke rumah salah seorang teman Mesir yang hari kemarin ayahnya telah berpulang ke rahmatullah.
“Halo, Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam!”
“Gimana Mas Fathur, jadi ke Syubro nggak nih?”
“Iya, jadi, insya Allah bentar lagi aku berangkat!”
“Nah, trus aku gimana dunk, kira-kira waktunya cukup nggak ya buat perjalananku ke sana. Soalnya dah hampir jam 11 nih. Tar takut macet, jadi bisa telat sholat Jum’at!?”
“Mmm, yaudah kamu ambil jalur Ramsis, lalu sampai sana ganti Metro bawah tanah aja biar cepet. Insya Allah nggak telat!”
“OK deh kalo gitu, aku siap-siap dulu, trus langsung berangkat. Syukron. Wassalam...”
“Wa’alaikum salam...”

Aku bersigegas untuk ganti baju. Tak lupa kusiapkan buku diktat yang akan diujikan besok Senin. Ujian masih belum usai. Ke depan ada dua materi lagi yang harus kutempuh. Sebenarnya aku juga bisa beralasan untuk tidak datang bertakziyah karena masih dalam masa ujian. Tapi aku betul-betul tak enak hati. Sebab yang meninggal adalah ayah dari seorang teman. Teman Mesirku yang saat ini dia berada di Jogja-Indonesia menempuh kuliahnya. Maka, meskipun masih masa-masa ujian, aku meluangkan waktu untuk datang melayat.

Sebelum berangkat, aku sempat minta tolong ke seorang teman untuk ngecek cuaca Kairo hari ini di internet. Dia bilang 21 derajat celcius. Aku tak percaya. Masak di musim seperti ini masih 21 derajat. Aku minta dia ngecek lagi dan aku melihatnya sendiri. Ternyata benar, udara hari ini berkisar antara 11 hingga 21 derajat celcius. Berarti tidak begitu dingin. Meskipun begitu, aku tetap jaga-jaga dengan tak lupa menggunakan baju tebal dan jaket. Sebuah tas kusiapkan untuk menampung barang-barang bawaan termasuk buku diktat, sebuah mushaf dan syal yang kusiapkan seandainya ternyata udara di luar nanti dingin.

Di angkutan.
Mengingat waktu yang terus bergulir, aku bergegas ke luar rumah menuju halte bus. Langit memang gelap. Tapi udara tak sedingin biasanya. Suasana sepi. Maklum hari Jum’at. Hari libur resmi Mesir. Jadi kebanyakan masyarakat pribumi menggunakan hari libur untuk istirahat, untuk berkumpul bersama keluarga. Aku melangkah dan melangkah hingga sampailah di halte. Tak hanya manusia yang sepi. Ternyata angkutan pun sepi. Tak kurang dari 15 menit aku menunggu angkutan jurusan Ramsis. Hingga akhirnya datanglah sebuah angkutan bercat putih dengan tubuh agak reot. “Ramsiiis... Ramsiiiis...” teriak sopirnya. Maka naiklah aku.

Wah, perasaanku tak enak ketika telah sampai di dalam angkot. Penumpangnya laki-laki semua dan beberapa sedang merokok. Udara yang gelap bertambah pengap. Menambah kegundahan hati apakah aku akan bisa sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Tampang para penumpang lainnya bringas-bringas. Bayanganku semakin menyiksa hati. Jangan-jangan orang satu angkutan ini telah bersekongkol. Gimana jika di tengah jalan nanti aku ditodong pakai pisau dan diminta paksa barang-barangku. Kenapa aku sampai berfikiran seperti ini? Tentu saja wajar, sebab dari beberapa kasus yang pernah aku dengar, kejahatan semacam bayanganku tadi pernah terjadi. Ohh, Tuhan, lindungilah aku.

Dalam kondisi seperti ini, aku mencoba tenang. Kebetulan aku mengambil posisi duduk di bangku paling belakang. Bangku panjang yang cukup untuk 3 orang. Namun kali ini hanya aku seorang yang duduk di bangku itu. Aku membuka tas perlahan. Aku keluarkan sebuah mushaf al-Qur’an, lalu kubuka dan kubaca. Semoga dengan hal itu hatiku menjadi tenang.

Baru 10 menit perjalanan, di mana angkot yang aku tumpangi hampir sampai di kawasan Sabi’, ponselku bergetar tanpa dering. Memang sengaja aku silent. Ternyata dari Mas Fathur.
“Halo, Assalamu’alaikum. Ada apa, Mas?”
“Sudah sampai dimana Luthfi?”
“Baru sampai Sabi’, Mas. Memang kenapa? Maaf deh kalo telat, habis tadi nunggu angkutan lama.”
“Oh, nggak papa kok. Justru malah untung kalau baru sampai Sabi’. Jadi sekarang aku udah di Syubro, di rumah Mahmud. Ternyata, sholat gha’ibnya nggak dilaksanakan di Syubro. Tapi di desa tempat keluarga besarnya. Mayat beliau sudah di bawa ke sana tadi pagi pukul 9. Jadi lebih baik kamu turun aja di Sabi’. Lain kali aja kita takziyah ke sana bareng sama temen-temen. Setelah ujian!”
“Ooo, jadi begitu. Tapi nggak papa kok, Mas. Biar sekalian aku lanjutkan perjalananku sampai Ramsis. Lagian juga udah terlanjur bayar tarif Ramsis. Nanggung! Kebetulan aku bawa buku diktat. Jadi dimanapun aku bisa sambil belajar. Sekalian mo ikut sholat Jum’at di Masjid Fath Ramsis. Masak udah 3 tahun di Mesir belum pernah sholat di masjid Ramsis. Hehehe...”
“Hmm, yaudah terserah!”
“OK, Mas. Syukron infonya!”
“Yup, sama-sama. Wassalam!”
“Wa’alaikum salam..”

Pada awalnya aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke Ramsis, meski kondisi di dalam angkutan yang kunaiki kurang mengenakkan hati. Hingga di sebuah halte di Sabi’ angkutan berhenti karena ada serombongan orang hendak naik. Kulihat ini mustahil. Kursi yang kosong tinggal 3. Tapi yang mau naik 5 orang. “Ahh, dasar! Yasudah kalau begitu aku lebih baik turun saja!” gumamku dalam hati. Lalu aku mengintruksikan kepada supir aku hendak turun. Dan turunlah aku di Sabi’. Hal semacam ini yang kurang kusuka dari Mesir. Sopir seenaknya sendiri. Transportasi dan lalu lintas tidak tertib.

Di Sabi’.
Tak jauh dari tempatku turun ada sebuah masjid yang cukup besar. Aku berfikir untuk sholat Jum’at di situ. Tapi aku urung. Lebih baik aku balik saja ke Hay Asyir (Kampung Sepuluh) dan sholat Jum’at di masjid Assalam.

Sebelum naik angkot aku menyempatkan beli majalah Azhar edisi bulan Muharram 1430 H. Aku tertarik membeli karena di dalamnya ada selipan buku hadiah berjudul “al-Islâm kamâ yarâhu al-Ûrubbiyyûn” atau “Islam menurut persepsi orang Eropa” karya Prof. Dr. Muhammad Ghalab. Di samping itu aku juga membeli buku serial kajian Islam terbitan Kementerian Wakaf Majlis A’la Mesir edisi 163 berjudul “Manhaju al-Islâm fî Tahqîqi al-Salâm al-Âlamiy” (Metodologi/Tuntunan Islam dalam Merealisasikan Perdamaian Dunia) karya Prof. Dr. Muhammad al-Syahât al-Jundiy. Dapet satu majalah, satu buku hadiah plus satu buku kecil seharga 2,5 Pound (sepadan dengan Rp. 5000). Lumayan murah namun bergizi, hehe. Inilah salah satu bagian yang kusuka dari Mesir.

Di Assalam.

Setelah itu aku naik angkot menuju Kampung Sepuluh. Turunlah aku di depan masjid Assalam. Sesampai di sana sang qari’ baru saja memulai tilawah Qur’an-nya. Sehingga aku bisa menyimak ayat-ayat yang dilantunkan dengan seksama. Yang dibaca adalah surat Luqman. Oh, indah dan mengena. Sekitar 15 sampai 20 menit sang qari membaca al-Qur’an, hingga sampailah waktu adzan. Sang mu’adzin adalah sang qari’. Orang yang sama. Sudah cukup tua tapi suaranya merdu. Adzan pertama berlalu dan para jama’ah melakukan sholat sunnah rawatib. Setelah itu sang khatib naik mimbar dan mengucap salam. Dikumandangkanlah adzan kedua. Dan, mulailah sang khatib berkhutbah.

Dari awal khutbah aku sudah tertarik, sebab kalimat-kalimat yang terucap adalah susunan bahasa Arab dengan nilai sastra yang tinggi. Semacam sya’ir-sya’ir pujian kepada Allah dan salawat kepada Rasul. Indah dan nikmat. Hingga masuklah sang khatib pada inti khutbah. Sebelumnya tak kuduga jika sang khatib akan berbicara masalah Palestina, pemerintahan Mesir, sekaligus mengkritik bangsa Mesir, juga mengajak seluruh jama’ah untuk berbenah diri. Sebab, sebelum memasuki masjid, aku melihat ada 3 kompi mobil tentara yang berbaris di samping jalan dekat masjid. Aku jadi bertanya-tanya. Memangnya ada apa? Aku hanya mengira bahwa polisi-polisi itu mungkin disiagakan jika sewaktu-waktu ada demo atau entah apa. Aku tak terlalu hirau.

Aku simak terus khutbah Jum’at kali ini. Meski aku juga belum tau siapakah gerangan sang khatib. Beliau memulai dengan sebuah ayat. Yang kurang lebih bermakna, bahwa setiap kemenangan datangnya dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu memberi kemenangan atau kekalahan. Maka dalam hal ini, sang khatib berpesan kepada jama’ah agar senantiasa memohon kepada Allah, agar kaum mislim dimanapun berada selalu diberikan kemenangan dari Allah.

Poin selanjutnya, beliau berpesan, bahwa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia, terkait dengan kasus Palestina, tidak cukup memberi dampak signifikan. Sebab jika aksi yang dilakukan hanya berupa demonstrasi, pemboikotan dan lain sebagainya, itu tak akan cukup berarti bagi Israel. Sebab, aksi-aksi itu hanya bagaikan puing-puing yang beterbangan lalu akan hilang diterpa angin. Sebab aksi-aksi itu sifatnya masih terpecah-pecah. Parsial-parsial. Kaum muslimin belum menjadi satu jika hanya dengan seperti itu. Sehingga, hal itu tidak menimbulkan efek jera pada Israel dan sekutunya. Oh, andaikan kaum muslimin bisa satu suara!?? Oh, andaikan...

Sikap negara-negara Arab pun tak tegas. Kalaupun nampak ada sedikit ketegasan, mungkin itu juga hanya formalisasi kenegaraan untuk menebar kesan baik di mata warga. Namun implementasinya, NIHIL!. Poin yang lebih ditekankan oleh sang khatib adalah, bahwa setiap muslim, minimal sejak saat ini, dengan adanya konflik Palestina, harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Membekali generasi muda dengan akidah yang kokoh, ruh Islam yang kuat, di samping juga membekali dengan kemampuan fisik sekaligus keilmuan yang matang.

Terkhusus bagi bangsa Mesir, sang khatib berpesan untuk senantiasa waspada. Musuh dalam selimut lebih berbahaya. Dan musuh tersebut nampaknya telah berselubung di bebalik kota, dalam bentuk dan karakter yang beraneka warna. Maka sikap yang harus diterapkan untuk saat ini adalah mempersiapkan diri. Sedia payung sebelum hujan. Sebab dalam keyakinan sang khatib, Israel dan bala tentaranya dari kaum Yahudi, suatu saat pasti akan datang. Cepat atau lambat. Tak hanya ke Palestina, namun juga ke Mesir, Makkah, Madinah, juga negara Islam lainnya. Sebab dalam keyakinan mereka, Islam adalah musuh terbesar. Islam adalah penyebab kemunduran. Islam adalah mara bahaya. Tentunya menurut persepsi mereka yang absurd.

Beliau juga sangat menyayangkan akan sikap para pemuda yang suka mabuk-mabukan, kecanduan narkoba dan lain sebagainya. Di samping itu beliau menyayangkan peran dunia pendidikan yang belum berjalan maksimal, terutama di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Peran para guru perlu dioptimalkan, yaitu dengan jalan meningkatkan kualitas pengajaran yang tak hanya menularkan ilmu, tapi juga mengajarkan nilai dan menanamkan iman.

Dan, masih banyak lagi poin yang disampaikan sang khatib, yang intinya adalah seruan untuk memperkuat barisan dan kekuatan setiap pribadi muslim dalam berbagai bidang. Dalam dunia militer, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Jika musuh datang dengan senjata, maka kita harus siap melawan dengan senjata. Jika musuh menyerang melalui keilmuan, kita juga harus siap berperang via keilmuan. Dan lain sebagainya. Yang jelas, kita tak harus menunggu diserang untuk bersiap dan berbenah, tapi sejak sekarang, sejak dini sudah harus siap dan berbenah. Yaitu dengan menyiapkan diri sekaligus para generasi penerus yang matang dan kuat. Sehingga jika suatu saat nanti musuh datang, Islam akan tetap menang.

Kita tak mungkin hanya bermodal berani dan nekad untuk berjuang. Karena hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Yang benar adalah, kita mempersiapkan diri dulu, ketika sudah siap, maka majulah. Namun jika belum, jangan dulu. Jika kita mengkaji periodisasi turunnya ayat perang dalam al-Qur’an, maka kita akan menemukan ayat-ayat itu diturunkan ketika Nabi di Madinah. Tidak diturunkan ketika Nabi masih di Makkah. Mengapa demikian? Sebab Allah tahu, bahwa ketika di Makkah, posisi Nabi dan Islam belum cukup kuat. Masih lemah. Maka Nabi tidak langsung diperintahkan untuk berperang secara terang-terangan. Namun ketika di Madinah, tatkala Daulah Islamiyyah sudah berdiri kokoh, barulah ayat perang diturunkan.

Maka, umat Islam saat ini jangan hanya bisa marah dan geram melihat saudaranya ditindas. Tapi cobalah masing-masing introspeksi diri. Apa yang telah diperbuat dalam hidup. Sudahkah masing-masing mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap ‘perang’ dan ‘ujian’? Dan jika jawabannya belum, maka tentunya sejak dini kita harus mempersiapkan diri masing-masing.

Begitu panjang khutbah sang khatib. Dalam beberasa ruas aku sempat menitikkan air mata, haru dan merasa papa. Sebab sebagai seorang yang mengaku muslim, selama ini masih belum bisa secara sepenuhnya mengamalkan ajaran Islam. Spirit al-Qur’an masih begitu tipis menempel di hati. Namun, tak ada kata terlambat untuk terus belajar dan berbenah. Dan semangatku semakin terbakar. Untuk mendalami ajaran Islam. Untuk menggali ilmu Allah yang tersebar di muka bumi ini.

... ... ...
Tak jadi mengikuti sholat jenazah di Syubro untuk ayahnya si Mahmud, ternyata Tuhan menggantinya dengan jenazah lain. Sebab setelah usai sholat jum’at di masjid Assalam juga dilaksanakan sholat jenazah. Untuk seorang perempuan, entah siapa. Yang jelas dia muslimah. Maka turut menyolatinya adalah kewajiban muslim lainnya.
Usai sholat jenazah, sang qari’ yang juga mu’adzin baru menjelaskan, bahwa khatib dan imam sholat Jum’at kali ini adalah seorang Guru besar Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Ain Syams Kairo. Entah siapa namanya, aku lupa. Aku terharu!

Kairo, Jum’at, 26 Muharram 1430 H/23 Januari 2009 M.

Baca Selanjutnya...!...

Duh, Coba'an Apa Lagi?

Thursday, January 08, 2009

Selalu saja ada yang datang;
masalah demi masalah,
coba'an demi coba'an,
ujian demi ujian.

Tuhan, benarkah Engkau mencintai hamba-Mu ini?!
Sehingga Engkau begitu suka mengujinya,
sabarkah, atau menyerah!
aku berusaha menang dari setiap ujian,
tapi bagaimanapun aku tetap manusia,
punya kadar lemah nan lena.
Tubuhku yang kurus kering tak cukup kuat
menahan setiap goncangan, badai dan hujan.
Kali ini serangan begitu gencar bertubi-tubi,
aku tentu akan kalah,
jika tidak Engkau teguhkan kakiku,
memijak kuat bumi-Mu!

Dadaku sesak,
dipenuhi duri berserak.[]

.8 Januari 2009.

Baca Selanjutnya...!...

Kado Pahit Menjelang Ujian

Betapa skenario Tuhan begitu cepat berubah-ubah. Meletup-letup seperti hendak menggoyahkan sabarku. Menggempur pertahanku yang telah aku pupuk guna menghadapi pertempuran di medan ujian. Baru beberapa kejap aku serasa mendapat siraman cahaya hangat di balik udara dingin kota ini. Aku yang rindu kejutan-kejutan tak terduga meski walau beberapa baris kata. Ya, meskipun dalam kadar yang berbeda, tapi aku tetap menganggap itu istimewa. Bagiku, apapun status yang saat ini telah Tuhan titahkan untuk aku dan dia, tak ada bedanya. Bagiku dia tetap sama: tercipta untuk istimewa.

Duh, begitu Kuasa Engkau wahai Robb-ku. Engkau ganti siraman cahaya itu dengan petir dan kilat yang menyambar-nyambar, menyayat perih hatiku. Duhai, apa hendak dikata jika ini takdir-Mu. Apa hendak kubela jika ini hukum-Mu. Aku menyerah, Tuhan! Aku masih begitu sayang untuk menerima ini semua. Tak bolehkan aku menganggapnya tetap istimewa? Sebagai teman, sebagai sahabat! Bagiku itu cukup. Tapi mengapa musti ada coba? Hatiku tak cukup kuat untuk bersabar. Tak ada benci yang ingin kutanam. Tak dendam yang ingin kubalaskan. Aku telah berusaha menerima, Tuhan! Tapi mengapa, tiba-tiba ada ultimatum bernada ‘ancaman’? Oh, jika itu bermakna garis pemisah, tapal batas yang telah Engkau buatkan demi kebaikan aku dan dia, baiklah akan aku terima.

Tuhan, aku tak sedikitput ingin protes pada-Mu. Sebab aku yakin, semua yang aku terima dari setiap skenario ini adalah pilihan terbaik-Mu untukku, untuknya. Maka Tuhan, meski demikian pahit aku mengunyah barisan kata itu, aku terimakan dengan segenap kesadaran. Aku memang tak boleh berharap lebih banyak lagi untuknya. Dan bukankah aku memang tak banyak berharap lagi padanya!? Aku hanya ingin menjaga hatiku, agar sepahit yang kurasa, dia tetap menjadi sahabatku! Itu saja!

Satu lagi Tuhan. Tolong sampaikan padanya, terimakasih untuk sepucuk kado pahit hari ini. Saat ini memang terasa pahit bagiku, semoga hanya sesaat, dan esok rasa itu berubah manis. Bagaimana caranya? Berikanlah yang terbaik untuknya, jagalah ia sebagaimana mestinya. Hapuslah cintanya yang pernah ada untukku. Agar dia bahagia. Agar tak ada lagi aku yang setiap saat mengusik hatinya. Hapuslah, hapuslah...!

Adapun aku, biarlah Tuhan, akan aku jalani proses ini, sebagai tangga menuju ridlo-Mu. Amin!

Menjelang buka puasa di hari Kamis, Kairo, 8 Januari 2009.
PS: Untuk seseorang, terima kasih SMS-nya. Semoga dengan itu aku semakin giat berdo’a; mengharap ketabahan dan kesabaran dari-Nya.

Baca Selanjutnya...!...

Selamat Tahun Baru, Bumi!

Thursday, January 01, 2009


Selamat tahun baru, bumi!
Masih bertahankah engkau
oleh segenap kebiadaban,
kemunafikan, ketamakan,
dan kecongkakan kami?

Masih sabarkah engkau, bumi
menyaksikan setiap perjalanan angin,
pergantian musim, pergeseran tahun,
sementara tubuhmu kian menepi
terkikis rakus oleh para 'tikus'?

Hingga kapankan, bumi
engkau akan memaklumi
ulah manusia tak manusiawi?
Mereka tak saja menindasmu,
namun membahayakan diri sendiri
dengan eksploitasi, menggunduli,
melubangi juga mengotori.

sekali lagi aku menanyaimu, bumi:
"Kapankah kau akan benarbenar marah?"

"Nanti,.. ketika mentari telah berpindah arah!
Tatkala Tuhan menurunkan titah!"

"Oh...betapa misteri jawabanmu!
Aku takut manusia tak jua insaf.
Hingga kau murka tibatiba!"

"Bukankah aku telah sering menebar tanda;
banjir, longsor, gempa. Apa tak cukup makna?"

"Kamu benar, bumi. Tapi, kami, manusia, memang bebal!"

Bebal, bebal, bebal
semakin tebal
menebal
hingga gelap menggumpal
menyelimuti hati,
dan akal.[]

Kairo, Kamis, 1 Januari 2009.

Baca Selanjutnya...!...