Hukum Alam

Friday, May 29, 2009

Memeluk rembulan
agar tak bias cahyanya
menutupi bintang-bintang.

Mengencani matahari
agar aku tak merasa panas
di sahara ini.

merindukan hujan
agar sejuk bertandang
meski dalam kegersangan.

Mengakrabi nasib
agar aku sanggup
melanjutkan hidup![]

(26-5-09)

Baca Selanjutnya...!...

Demi Waktu!

Saturday, May 09, 2009


Menyekat Waktu.
Menahannya dalam bilik-bilik kesadaran.
Betapa ia begitu mahal untuk diacuhkan begitu saja.
Betapa ia begitu berharga untuk disia-siakan.
Wahai... Yang Maha Menggenggam Waktu,
izinkan pula aku menggenggamnya
dalam beberapa jenak umur hidupku.
Untuk kuisi, untuk kulukisi, untuk kupahati,
dengan sebentuk pemaknaan serta artikulasi,
sebagaimana yang Engkau firmankan,
Yang Engkau ajarkan..
"Demi Waktu!".

Baca Selanjutnya...!...

Tulislah Aku; Sebentuk Risalah Cinta (Bag. 2)

Saturday, May 02, 2009


Sejak dahulu hingga sekarang, cinta selalu menjadi perbincangan hangat. Salah satu buktinya, cinta senantiasa menjadi tema sentral dalam berbagai karya, baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Bukti lainnya, saat ini saya sendiri hendak menulis tentang cinta (kalau yang ini jelas narsis, hehe). Secara jujur, saya bukan pakar dunia per-cinta-an serta berbagai perniknya. Namun, apa yang hendak saya tulis berangkat dari realita yang saya lihat, kemudian saya korelasikan dengan berbagai pengetahuan yang saya serap.


Baiklah! Mengawali catatan ini, saya ingin membidik beberapa fenomena cinta. Pertama adalah ketika seseorang sedang jatuh cinta. Tak sedikit yang kemudian menjadi buta. Meskipun, masih banyak juga yang mampu bersikap proporsional. Buta dalam arti majazi, tentunya. Yaitu ketika seseorang begitu dimabuk cinta. Seperti halnya ketika seseorang sedang mabuk akibat alkohol, hal itu membuat hati dan fikirannya terhalang dari “cahaya”. “Love is blind”, kata orang Bule.

Tapi, saya sendiri tidak memungkiri, bahwa dalam banyak hal, termasuk cinta, mempunyai dua potensi. Yaitu potensi positif-konstruktif dan potensi negatif-destruktif. Tergantung mana di antara dua kutub itu yang lebih dominan. Jika kutub positif yang unggul, maka cinta akan membawa sang pecinta menuju yang terbaik dari dirinya. Tapi jika yang menang adalah kutub negatif, maka cinta akan membakar dan meleburkannya. Baik contoh kondisi yang pertama maupun yang kedua sangatlah banyak dalam fenomena keseharian manusia, maka tak perlu saya cantumkan di sini.

Kemudian kita akan membincang sebuah kondisi, di mana seseorang sedang patah hati atau putus cinta. Mungkin karena cinta seakan telah menjadi kebutuhan, maka tatkala kehilangan, seseorang akan merasa ada yang tak lengkap dalam dirinya. Dalam kondisi seperti ini ada bermacam penyikapan yang ditempuh. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang mengurung diri. Ada yang hampir bunuh diri. Ada juga yang biasa saja, tetap tegar menjalani hari.

Nah, penyikapan yang terjadi itu saya kira sangat terkait dengan seberapa besar kadar cinta yang dimiliki seseorang kepada sang kekasih hati. Jika hanya ‘cinta monyet’ (hubban syadîdan) yang ia miliki, maka ketika putus biasanya ia tak sebegitu menderita. Begitu juga ketika kadar cintanya masih dangkal, belum begitu dalam (hubban amîqan), maka ketika putus paling hanya akan menangis beberapa hari. Namun ada juga yang telah secara penuh mencintai (hubban jamma), maka ia seperti kehilangan ruh ketika sang kekasih itu berpisah dari dirinya.

Hal ini juga terkait dengan lapisan hati. Dari lapisan hati yang manakah seseorang mencintai pujaan hatinya. Apakah hanya dari lapisan luar dada (shadr), atau dari lapisan hati kedua (qalb), atau lapisan hati ketiga (fu`âd), atau yang keempat (jaûf), ataukah dari lubuk hati yang terdalam (lubb)? Jika sebuah cinta yang muncul lalu tumbuh itu telah sampai pada lapisan lubuk (lubb), maka ibarat kata, cinta itu telah mencapai singgasananya. Sehingga, dalam kondisi apapun ia akan tetap memelihara cintanya itu.

Namun sayang seribu sayang, jika potensi cinta yang dimiliki setiap manusia itu disia-siakan begitu saja, atau tidak diletakkan pada tempatnya. Maka jika tidak proporsional, yang terjadi berikutnya adalah ketimpangan dan kerusakan. Manusia mencintai hartanya dengan terlalu berlebihan. Manusia mencintai kelompok dan golongannya dengan fanatisme buta. Manusia mencintai kekasihnya dengan sangat mendalam. Padahal, cinta-cinta yang semacam itu tak ada yang abadi.

Bukankah, telah banyak orang yang patah hati karena mencintai orang lain, hanya bertepuk sebelah tangan? Cintanya tak terbalas. Tidakkah, telah banyak orang yang mencintai harta, namun oleh hartanya itu ia justru terbunuh atau terdzalimi? Begitu juga ketika kita mencintai kelompok, golongan, atau seseorang, apakah mereka akan selalu mengingat kita, membalas jasa kita? Belum tentu, kawan! Maaf, cinta dan fanatisme buta ini jangan disamakan dengan loyalitas. Saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk tidak loyal terhadap afiliasi Anda. Saya hanya mengajak untuk tidak terlalu berlebihan dalam segala hal, itu saja!

Maka, dalam menyikapi dan memberi porsi cinta kepada selain Dzat Yangabadi kita tak boleh berlebihan. Bolehlah kita memberikan cinta kita sepenuhnya, tapi hanya kepada Dzat yang tak pernah ingkar janji. Dalam banyak kasus, sesuatu yang sebenarnya baik namun jika berlebihan justru menjadi tidak baik. Seperti halnya cinta, jika porsinya melebihi daya tampung, ia akan tumpah. Tak sedikit pula cinta yang memicu permusuhan. Atau dengan ungkapan lain: “Awalnya cinta, namun berakhir benci”.

Oleh sebab itu, patut kita renungkan sebuah pepatah bijak dalam bahasa Arab yang artinya: “Cintailah kekasihmu sesuai kadarnya (jangan terlalu berlebihan), sebab bisa jadi kelak ia justru akan kamu benci. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja. Sebab, tak ayal juga suatu saat nanti kau akan mencintainya!” Pepatah ini sedikit banyak telah terjadi. Buktinya bisa Anda cari sendiri dengan bertanya kepada kawan atau kenalan. Bahkan ada orang yang kini sudah menjadi pasangan, ternyata dahulunya musuhan. Kemudian mereka berceloteh: “Mungkin ini ‘karma’. Dulu aku begitu membencinya, tapi kini ia menjadi suamiku yang sangat kucinta”.

Alhasil, cinta sungguh beraneka warna. Ia memang abstrak, tapi kekuatannya begitu dahsyat. Cinta ibarat udara, yang senantiasa memenuhi alam raya. Cinta laksana ruh yang selalu gentayangan mencari mangsanya. Cinta seperti darah, yang akan menentukan apakah organ-organ tubuh akan bekerja dengan biak atau tidak. Cinta mampu menimbulkan kehancuran dan/atau kemajuan. Cinta mampu menyebabkan pertempuran sekaligus perdamaian.

Dan, hingga pada ruas ini saya masih belum benar-benar tahu tentang cinta. Sehingga, jika tulisan ini tak cukup bijak dalam menguraikannya, masih bias sana-sini, tak jelas arah, itu karena saya masih belum menemukan hakikat cinta. Cinta begitu abstrak untuk dilihat, namun ia terlalu jelas untuk disembunyikan. Maka, tulisan ini hanyalah setitik usaha untuk mencoba menyibak rahasianya. Dan hingga akhir masa nanti, aku yakin, cinta akan selalu menjadi misteri yang terus mengilhami.[]

_Cairo, 2 Mei 2009.

Baca Selanjutnya...!...