Tak Lagi Ingin Bermimpi!?

Saturday, March 21, 2009


Di sebuah pagi hening bertabur embun. Jika ada suara-suara, maka itu adalah cicit cuit burung-burung Emprit yang menambah syahdu suasana. Kebetulan aku terjaga dari tidurku yang tak lagi nyenyak. Orang-orang di sekelilingku masih terlelap dalam mimpi masing-masing. Dipeluk lelah, mereka memilih untuk mati sementara. Tentu saja, dengan harapan ketika matahari kembali bertugas di esok hari, mereka akan hidup kembali. Begitu pula di luar sana, toko-toko dan jalanan masih senyap. Negeri ini seperti hamparan pemakaman di pagi hari. Antara benda mati dan yang hidup sama-sama diam.

Dalam kondisi seperti ini, aku memadukan berbagai unsur dalam diriku untuk berdialog dengan bahasa masing-masing. Hati, nurani, otak, demikian juga rasa. Aku melakukan diskusi dalam sebuah ruang raga yang tentunya semakin hari bertambah renta. Sepenuhnya aku sadar akan hal itu, sebab hakikat segala yang hidup maupun yang mati adalah fana. Masing-masing punya umur, punya ajal, punya tenggat waktu yang membatasinya. Yaitu antara garis start dan finish. Antara kelahiran dan kematian. Antara ka-ada-an dan ke-tiada-an.

Nah, mumpung aku masih hidup, masih ada, masih berada di antara dua tapal batas, aku mengajak masing-masing unsur tadi untuk bicara. Kali ini, nurani-lah yang bertugas melemparkan pertanyaan: “Apakah benar hidup ini tak lain seperti mimpi? Atau, adakah hidup ini hanya sebatas mimpi?”. Pertanyaan ini tak muncul tiba-tiba, namun didahului sebuah keluh kesah bak premis-premis yang berserakan. Gerangan apakah yang sebenarnya dipermasalahkan oleh nurani? Mimpi! Kemalasan! Dan kekerdilan jiwa dalam menghadapi dunia!

Hati semakin bingung. Bagaimana bisa nurani mempertanyakan sesuatu yang sudah gamblang. Sesuatu yang menjadi fitrah dan tabiat setiap orang. Hati mencoba berhujjah: “bukankah mimpi itu penting. Setiap orang sangat mungkin dan biasa diserang kemalasan. Jiwa-jiwa yang kerdil itu tak berarti pengecut. Hanya saja, mereka masih mengumpulkan keberanian untuk sejati!”

Otak berusaha memetakan. Ia mencoba menganalisa keluh kesah nurani. Gerangan apakah yang sedang terjadi. Otak berasumsi bahwa nurani menganggap mimpi punya potensi negatif yang mampu merusak jiwa. Kenapa nurani bisa berkata demikian? Mungkin ia telah menemukan berbagai sample berikut bukti nyata atas asumsi ini. Manusia memang perlu punya mimpi. Namun sebesar apakah kadar mimpi yang “perlu” itu? Jangan-jangan nurani mendapati banyak manusia yang terlalu ‘overdosis’ mimpi, sehingga hidup mereka hanya dipenuhi mimpi. Mereka terjebak dalam lembah mimpi. Terjerembab dalam kubangan maya yang sebenarnya fatamorgana.

Rasa mulai unjuk gigi. Asumsi otak ada benarnya juga! Aku merasakan, bahwa terkadang manusia tak seimbang. Tak hanya masalah mimpi, tapi juga aspek-aspek lain yang berotasi di lingkaran kehidupan. Semuanya kini serba timpang. Aku cukup merasakan bagaimana orang tua menginginkan para anaknya agar punya mimpi yang setinggi-tingginya. Dan para anak serta generasi muda juga membayangkan akan bisa menjadi seperti orang tua mereka.

Namun mereka lupa, bahwa mimpi itu tak akan pernah tercapai jika mereka masih saja tertidur. Mereka tak sadar bahwa mereka harus segera bangun untuk melakukan usaha-usaha. Parahnya, mimpi-mimpi itu hanya ada dalam alam tidur, alam bawah sadar. Sehingga ketika terjaga, mereka kembali berlupa akan mimpi-mimpi yang perlu dikejar.

Maka kini semakin jelas. Nurani berpotensi untuk berkata tegas. Bahwa yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Sementara hati, ia punya kecenderungan berkelah. Masih suka membantah dan fluktuatif. Terkadang begini dan terkadang begitu. Otak memetakan masalah. Dan, rasa adalah penyelaras yang mempunyai kepekaan merespon fenomena-fenomena.

Lalu bagaimanakah dengan aku? Sebuah gabungan dari unsur-unsur itu? Sebentuk raga yang bernyawa. Apakah benar sang nurani mengingatkanku? Jawabannya: iya! Sebab aku menyadarinya, bahwa hidupku tak ubahnya masih seperti mimpi. Hanya mimpi. Aku terlalu nyaman dengan kondisi seperti ini. Dinina-bobokkan oleh sistem yang menyediakan ruang lebar untuk bermalasan. Aku belum benar-benar hidup dalam dunia nyata. Aku masih terlalu asyik menikmati mimpi, sehingga aku enggan terjaga.

Berapa porsi waktuku untuk tidur? Dan berapa lama untuk terjaga? Bahkan dalam jaga aku tak sepenuhnya sadar. Maka dalam ruang waktu terjaga, aku masih seperti tidur, masih seperti mimpi. Menikmati hari-hari dalam pelukan kemalasan. Jika dikalkulasikan, maka benarlah keprihatinan nurani, bahwa hidupku adalah mimpi. Masih sebatas mimpi. Akumulasi dari mimpi-mimpi tidur, dan ketidak-sadaran dalam jaga. Hasilnya sama: aku hanya bermimpi!

“Lantas hendak kemana arah pembicaraan kita?” nurani, hati, otak dan rasa serentak bertanya. Jawabannya hanya satu: “mari kita bentak sang raga yang menaungi kita agar segera terbangun. Sudah terlalu banyak mimpi-mimpi yang terlalui. Kini saatnya berhijrah dari mimpi, menuju aksi!”.

Aku menyudahi obrolan ini, sebab kantuk kembali membisiki. Namun bukan untuk kembali bermimpi, malainkan akan kubasuh wajahku dengan air wudlu, agar kantukku luluh nan malu, bahwa hidup tak hanya untuk bermimpi. Namun untuk bertolak dari mimpi, menuju usaha mewujudkan mimpi. Jika terlalu banyak bermimpi, lalu kapan aku akan membuat catatan hidup? Bukankah kita singgah di dunia ini untuk membuat laporan-laporan perjalanan, yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan kepada Sang Maharaja kita!? Sejatinya, setiap manusia hidup adalah untuk membuat novel masing-masing tentang dirinya. Nantinya, novel itu akan dicetak dan dibedah di alam sana. Di sebuah ruang waktu dan tempat yang misteri, namun pasti![]

Dicatat oleh M. Luthfi al-Anshori
Cairo; Jum’at, 20 Maret 2009


Baca Selanjutnya...!...

Mawar Merah Politik

Saturday, March 07, 2009


Aku masih saja berjalan ketika orang-orang tengah sibuk berebut recehan.
Aku terus menatap ke depan tatkala mereka berpaling kiri dan kanan mencari suapan.
Aku terus melangkah tertuju sebuah gedung lalu ingin kutemui petinggi-petinggi mahasiswa.
Meski pesimis aku bermimpi mereka masih punya nurani dan jatidiri.
Merah-kuning-hijau telah memenuhi sepanjang jalan tertempuh.
Gambar-lambang-simbol bertengger saling beradu menendang menjengkal dalam kibaran bendera warna-warni.
Setahuku hanya dua warna yang semenjak masa hidup kakek-nenekku dulu diperjuangkan.
Namun kini nampaknya mereka bosan sehingga memilih warna-warna lain yang lebih gemerlapan.

Dan aku terus saja berjalan...
tak kuhiraukan hiruk pikuk teriakan mereka yang berseru mengajak ke warna ini dan itu.
mereka seperti telah menemukan simbol lain yang patut diperjuangkan.
Lalu bagaimana dengan nasib Garuda?
Adakah bendera-bendera itu lebih gagah dari sang
saka!?

Di setiap persimpangan aku menemukan pos-pos berlambang.
Ada yang binatang ada yang tumbuhan hingga bulan gemintang.
Dan aku semakin keheranan, ketika kudapati para mahasiswa telah berganti seragam.
Ohh... masih adakah di sana, mereka yang tetap merah-putih?
Aku terus saja berjalan sembari berdo'a, agar aku masih menemukan mereka, para mahasiswa!

Langkah semakin kupercepat sebab waktu pertarungan warna-warna itu telah dekat.
Demikian pula jarakku dengan gedung yang kutuju semakin rapat.
Dan sekonyong-koyong aku terperanjat,...
sesampai di gedung itu, masing-masing telah memegang mawar merah, yang tentu saja, lengkap dengan durinya!

Oh, betapa cilaka!
Mereka telah terlena indah pesona warna-warna.[]

Cairo; Musallats, 8 Maret 2009

Baca Selanjutnya...!...