Ibu, Izinkan Aku Bertadarus Rindu!

Monday, December 22, 2008

Ibu. Hingga saat ini aku masih begitu mengingat akan hari-hari kecilku. Ketika aku mulai bisa merangkak dan berlari, ketika siku dan lututku sering lecet karena terjatuh. Engkau yang menyulamkan kancing bajuku yang lepas karena aku tak hati-hati. Engkau yang menyeka lukaku dengan obat merah betadine. Lalu aku meringis perih dan kesakitan.

Ibu. Engkau yang mengajariku berdiri, berjalan, cara memakai baju, cara membuang ingus. Cara makan yang benar. Cara mengunyah yang benar. Dan engkau yang memarahiku jika aku melakukan hal-hal yang kurang sopan, kurang beradab. Meludah di depan orang tua aku kau tegur. Memberikan sesuatu kepada orang dengan tangan kiri aku kau ingatkan.

Bukankah aku paling suka menangis ketika ditinggal pergi. Aku selalu ingin ikut. Setiap kali melihat bapak hendak menyalakan mesin vespanya, aku segera berlari mendekati. Jika bapak diam-diam menyetater vespa di luar rumah lalu melaju cepat-cepat meninggalkan halaman, aku segera berlari, mengejar, hingga capai sendiri. Setelah menyerah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak tahu apa yang mendorongku berbuat seperti itu. Bukankah aku masih kecil, belum bisa berfikir. Tapi sudah bisa merasakan!

Umur 4 tahun engkau mengantarku ke taman kanak-kanak. Aku terhitung masih sangat kecil dibanding teman-teman lainnya. Oleh sebab itu aku tak langsung sekolah secara resmi. Hanya ikut-ikutan. Tapi Bu Guru saat itu menerimaku. Semua anak seumuranku yang ingin ikut-ikutan sekolah dibiarkan saja. Bu Guru memang sabar dan bijaksana.

Baru ketika menginjak umur 5 tahun aku resmi menjadi murid taman kanak-kanak. TK Kecil istilahnya. Karena sekolah TK di desaku terbagi dua kelas. TK Kecil dan TK Besar. Namanya TK Al-Falah. Nah, baru setahun kemudian aku naik TK Besar. Engkau selalu mengantarku sekolah, dan menjemputku ketika pulang. Mulai waktu itu aku bertambah pintar. Ketika ada perlombaan TK antar desa, aku maju mewakili teman-teman TK-ku dalam lomba deklamasi. Seingatku waktu itu aku menang. Entah kalau ternyata kalah. Tapi setidaknya aku bangga mewakili TK-ku. Dan engkau pasti juga bangga melihat anakmu sudah berani beraksi.

Usia 7 tahun aku masuk Madrasah Ibtida’iyyah atau MI. Namanya MI Miftahul Falah Sridadi. Seragam putih-hijau membuatku makin gagah. Selain itu aku semakin nakal. Kenakalan lumrah seorang bocah. Kepala MI saat itu adalah kakekku sendiri. Beliau pula yang sejak itu membiayai sekolahku. Bukan engkau yang meminta, ibu, tapi kakek sendiri yang bersedia. Waktu itu, kakekku berkata kepadaku: "An, simbah tidak minta balasan apa-apa darimu meskipun simbah yang membayari sekolahmu. Simbah hanya berharap, jika simbah telah tiada nanti, jangan lupa kamu mengirim do'a selepas sholat. Atau jika sempat, tengoklah kuburan simbah dan do'akanlah simbah!" Saat itu aku hanya manggut-manggut saja.

Mengingat posisi kakekku yang kepala MI, ibu saat itu memesaniku setengah mengancam: “awas kalau tidak rangking satu, malu-maluin ibu dan kakekmu!” Mendengar ucapan itu aku jadi takut. Lebih tepatnya aku terbebani untuk jadi rangking satu. Konsekuensinya aku harus rajin belajar. Tak boleh banyak main.

Dasar anak nakal. Di usia MI aku makin suka bertengkar. Suka berkelahi dengan teman-teman sekelas. Mungkin saat itu terpengaruh film-film laga Indonesia dan film India. Isinya pertunjukan orang-orang berkelahi. Makanya anak-anak seusiaku waktu itu juga suka menirukannya. Perang-perangan. Akhirnya kalau tertonjok atau terpukul jadi pada nangis. Jika aku kalah dan menangis, pasti aku mengadu padamu, ibu. Dan engaku segera memarahi mereka yang membuatku menangis.

Menurutku sendiri engkau memang termasuk ibu yang galak. Di samping aku yang menakutimu, teman-teman sebayaku juga takut jika engkau sudah marah. Engkau begitu keras dan ketat. Selalu membatasi ruang gerakku. Tak boleh inilah, tak boleh itulah. Jika teman-temanku bisa memancing dan mandi di sungai sesuka mereka, aku kau larang untuk ikut-ikutan. Katamu di sungai airnya kotor, banyak ular, banyak nyamuk. Belum lagi juga banyak setan dan jin. Nanti kamu bisa sakit kulit, gatal-gatal, digigit nyamuk demam berdarah. Jadi lebih baik tak usah memancing di sungai. Kalau mau makan ikan kan bisa beli. Lebih aman.

Pokoknya saat itu aku paling takut sama engkau, ibu. Jika aku nakal dan berbuat salah, engkau langsung memukulku. Sekencang-kencangnya. Terkadang dengan sapu atau kayu. Tentu aku merasa kesakitan. Terkadang engkau menjewer telingaku. Jika sudah seperti itu aku pasti nangis. Sesenggukan hingga waktu yang lama. Bapak orangnya pendiam. Beliau jarang ngomong jika tak begitu perlu. Beliau sibuk bekerja, ngajar di sekolah dan sesekali ke sawah. Jadi yang lebih sering memantauku adalah engkau. Tapi meskipun begitu, aku tau engkau menyayangiku, ibu. Sangat menyayangiku. Karena yang engkau lakukan bukan menghukumku, tapi mendidikku.

Buktinya, meskipun nakal, tapi nakalku sebanding dengan prestasiku. Ancaman ibu justru membuat otakku makin cerdas. Maka setiap kali menerima rapot di akhir catur wulan, aku selalu rangking satu sekelas, hingga kelas 6. Ternyata aku tidak malu-maluin ibu dan kakekku.

Masih di usia MI pula, seingatku sejak kelas 3, aku tak pernah lagi tidur di rumah bapakku-ibu. Aku tidur di rumah kakek-nenekku. Katanya, aku diminta untuk menemani mereka. Sebab anak-anak dari kakek-nenekku, selain yang sudah berkeluarga, sisanya pada kuliah dan mondok di kota. Jadi mereka jarang pulang. Akhirnya aku menuruti tawaran itu. Sejak saat itu, aku selalu menjalani ritual keseharian yang monoton, namun bagiku tak begitu membosankan.

Pagi jam 7 masuk MI, pulang jam 1 siang. Setelah itu jam jam 2 siang masuk Madrasah Diniyyah hingga jam 5 sore. Setelah itu pulang ke rumah bapak-ibu, persiapan sholat Maghrib. Usai sholat Maghrib ngaji al-Qur’an di masjid. Gurunya adalah bapakku sendiri. Beliau lulusan pesantren. Bacaan al-Qur’annya bagus dan fashih. Tajwidnya juga menguasai. Hingga datanglah Isya’.

Setelah itu mulailah aku siap-siap untuk berangkat ke rumah kakek-nenek yang terletak tidak sampai setengah kilometer dari rumahku. Aku naik sepeda yang dibelikan bapakku. Sampai rumah kakek-nenek aku belajar, tidur, bangun pagi lalu sarapan. Setelah itu aku kembali ke rumah bapak-ibuku, ganti seragam sekolah lalu dikasih uang saku. Berangkatlah aku ke MI yang terletak 100 meter di depan rumah bapak-ibuku. Jadi di rumah kakek-nenekku aku hanya numpang belajar dan tidur, juga minum kopi dan sarapan. Hehehe...

Pada masa-masa itu, di desa tetangga sering menyelenggarakan hiburan-hiburan. Mulai dari dangdut ria, karaoke, pemutaran video, layar tancep, seni ketoprak, wayang kulit dan lain-lainnya. Namun engkau, ibu, selalu melarangku untuk ikut nonton. Aku kau larang untuk ikut-ikutan teman sebayaku yang bebas melakukan sesuka mereka. Mau nonton sampai malam hingga pagipun bebas. Orang tua mereka tidak melarang. Sementara aku, aku masih saja kau batasi. Hingga aku kelas 6 MI pun, masih selalu kau atur. Saat-saat itu, ada perasaan dongkol dan ingin berontak. Kenapa aku tidak boleh ini dan itu. Aku kan sudah besar. Aku kan malu sama teman-teman, masak tak pernah gaul? Meskipun aku juga bergaul dengan mereka di madrasah, tapi kan aku juga pingin ikut bareng-bareng dengan mereka, sekedar melihat dunia luar. Gumamku saat itu.

Kelak, semua hukumanmu, setiap batasan-batasan yang kau buatkan untukku justru begitu aku syukuri. Bahkan, kelak aku sangat berterima kasih kepadamu karena telah menjaga masa kanakku. Engkau menjagaku dari penyakit, menjagaku dari pergaulan, menjagaku dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik.

Lulus dari MI, aku masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Falah. Lagi-lagi di fase ini kau mengancamku. “Bapakmu kan kepala MTs, jika kamu tak dapat rangking, lebih baik tak usah sekolah. Aku belikan saja kamu kambing dan jadi gembala saja!” Wah, ancaman ibu semakin ganas. Masak aku disuruh jadi gembala kambing? Ya sebenarnya dari kecil memang sudah jadi gembala, tapi kan pada saat libur sekolah saja. Kalau ini, fuiih... jadi gembala selamanya. Ohh.. tidak! Tentu saja aku semakin tertekan. Bagaimana tidak, ketika awal masuk MTs, nilai UAN-ku saja masih kalah dengan teman-teman lain yang berasal dari berbagai desa sebelah. Tuntutanku makin berat. Kalau mengalahkan nilai teman-teman satu desa mungkin aku bisa, tapi kali ini kompetisinya lebih ketat. Bismillah..., daripada jadi gembala.

Kenakalanku mulai berkurang. Aku memasuki masa remaja yang menyenangkan. Mengingat ancaman ibuku aku jadi semakin rajin belajar. Walhasil, nilai tes caturwulan pertama turunlah sudah. Karena yang menerima rapor adalah wali murid, aku tidak langsung tau hasilnya. Tapi bapakku yang lebih dulu tau. Beliau ternyata bisa juga bikin surprise. Pertamanya, ketika sampai rumah, beliau berbohong kalau aku tak dapat rangking. Tapi ternyata, aku dapat rangking satu! Ugh.. betapa senang diriku.

Saat itu, yang mendapat rangking satu dapat beasiswa berupa gratis SPP. Hingga akhir kelas 3, aku selalu dapat rangking, meskipun sempat turun jadi rangking 2 selama 2 kali. Lumayan, kakekku tak harus bayarin biaya sekolahku lagi. Tapi kakekku tetap memaksa. Meski tak bayar SPP, beliau masih memberikan jatah SPP. Oleh karena itu, aku punya inisiatif untuk menabung. Di akhir tahun kelas 3, tabunganku lumayan banyak, jadi bisa buat bayar biaya tamasya sekaligus untuk bekal saku.

Oh, ibuku yang galak! Ternyata sikap ibu itu ada manfaatnya juga. Meskipun anakmu ini jadi takut setengah mati padamu, tapi hal itu malah membantuku dalam berprestasi. Di samping galak, ternyata ibuku juga sangat cengeng. Hal itu terbukti ketika lulus dari MTs, aku hendak merantau ke kota budaya, Solo. Tepatnya aku melanjutkan ke Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Solo. Saat itulah justru aku melihat ibu cengeng. Beliau merasa berat aku jauh dari rumah. Beliau menangis ketika hendak meninggalkan aku di asrama. Mungkin ibu berpikir, bagaimana aku bisa mencuci baju sendiri, bagaimana bisa nyetrika, bagaimana ini dan itu. Sebab, sejak dulu selalu ibu yang melakukan itu semua. Ketika masih di rumah, aku sangat malas untuk belajar mandiri.

Meskipun begitu, aku malah senang bisa sekolah di tempat yang jauh dari rumah. Rumahku terletak di desa Sridadi, kabupaten Rembang. Mungkin karena aku tak akan mendengar omelan ibuku lagi. Tak akan mendengar beliau bentak-bentak jika aku malas-malasan dan sering nonton TV.

Namun di samping itu, diam-diam aku juga mengagumi ibu. Meskipun juga sedikit ‘membenci’nya karena galak. Yaitu ketika setiap habis Subuh dan Maghrib, beliau selalu membaca al-Qur’an, terlebih surat Yasin, Waqi’ah dan ar-Rahman. Tak terasa kebiasaan ibu ini sangat bermanfaat bagiku. Pasalnya, ibu selalu membaca surat-surat itu dengan suara cukup keras sehingga bisa di dengar oleh seisi rumah. Ibu ternyata punya bakat sebagai qori’ah. Suaranya merdu. Pantas setiap kali apa pengajian ibu-ibu di desa, ia selalu diminta untuk membawakan tilawah al-Qur’an.

Dengan seperti itu, karena selalu mendengar ibu ngaji, lama-lama tak terasa aku hafal juga dengan surat-surat itu. Jika tak hafal 100%, setidaknya aku sangat akrab, karena sering kudengar. Sehingga, ketika aku sudah sekolah di Solo, hal tersebut cukup membantuku dalam proses belajar. Minimal, ada beberapa dalil al-Qur’an yang sudah terekam di otakku melalui rutinitas ibu mengaji.

Setamat dari Solo, ibuku lebih merana lagi. Sebab aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aku berniat untuk hijrah dari tanah air untuk menuntut ilmu. Karena cita-cita ini sudah ada sejak lama, ibu pun dengan berat hati mengizinkan. Dan atas berkat rahmat Allah aku diterima di Universitas al-Azhar Mesir, setelah melalui ujian seleksi DEPAG. Namun keberangkatanku harus menunggu selama setahun dulu. Aku tak tahu. Masalah birokrasi. Urusan pejabat.

Dalam masa penantian menuju keberangkatanku ke Mesir, ibu memintaku untuk tinggal di rumah saja. Ibu tidak mengizinkan aku mondok atau kursus dulu entah di mana. Ibu menginginkan agar sebelum berangkat jauh, aku di rumah saja. Mungkin bisa sambil menghafal al-Qur’an di rumah. Agar nanti ketika di Mesir sudah punya tabungan hafalan. Usul ibu aku terima juga. Permintaan ibu ini semakin memberikan kesan kepadaku bahwa ibu sangat menyayangiku. Ibu tidak ingin aku jauh darinya. Di balik wataknya yang keras, ibuku ternyata juga mempunyai “hati lemah”. Yaitu sebuah perasaan normal seorang ibu, yang sangat menyayangi anaknya. Sehingga, ketika perasaan itu menguasainya, ia akan sangat merasa kehilangan ketika ditinggal pergi jauh oleh anaknya. Nah, ibuku sepertinya juga begitu. Berat melihat anaknya pergi jauh ke negeri sebrang.

Di hari keberangkatanku, di bandara Soekarno-Hatta, ibuku menangis sejadi-jadinya. Beliau memelukku erat. Akupun memeluknya. Sebenarnya aku juga ingin ikut menangis. Tapi aku malu dengan teman-teman serombongan. Aku anak laki-laki, masak cengeng. Ternyata bukan hanya ibuku yang menangis, ibu kawan-kawankupun pada nangis. Oh, tangis haru para ibu adalah do’a yang mengiring kepergian para duta bangsa. “Cung, nanti kan kamu di sana lama, jaga diri yo Cung, hati-hati, jaga kesehatan. Belajar yang sungguh-sungguh. Ibu akan selalu mendo’akan. Jangan lupa kalau sudah sampai kirim kabar!” begitulah kira-kita pesan ibu ketika memelukku. Air matanya semakin deras meleleh dari kedua bola matanya. Sesenggukan. Sementara bapakku, beliau tentunya lebih tegar. Sebagai sesama cowok, aku memeluk bapakku penuh bangga, pundakku ditepuk-tepuknya sambil berpesan untuk jaga diri dan belajar yang rajin.

Sesampai di Mesir, aku jarang menelpon ibu. Paling Cuma bisa sms. Sebab tarif telpon internasional tentu mahal. Mungkin momen-momen tertentu saja aku menelpon ibu. Antara lain ketika mau ujian dan hari raya. Bisa jadi justru ibuku yang menelpon dari Indonesia. Tergantung siapa yang duluan. Tapi satu yang tak pernah berubah dari ibu. Ia selalu menangis setiap kali menelpon aku. Meskipun terkadang beliau berusaha menahan, tapi suaranya yang parau dan bergetar tak bisa membohongiku, beliau menangis. Selalu menangis. Maka dari itu aku akan rada enggan untuk menelpon ibu. Bukan karena apa-apa, tapi karena aku tak kuat mendengar tangisnya.

Dan, satu lagi yang selalu ibu tanyakan ketika di telpon: “Cung, Qur’anmu gimana?” dan aku selalu menjawab diplomatis: “iya Bu, insya Allah aku jaga, masih seperti dulu, 8 juz, belum bisa nambah, Bu, karena tersita untuk belajar mata kuliah. Tapi insya Allah saya usahakan bisa nambah hafalan!” Awal-awal aku di Mesir, ibuku selalu menanyakan hafalan Qur’anku setiap kali telpon. Lagi-lagi aku merasa terbebani. Sebab, jujur aku belum bisa nambah. Maafkan aku ibu, aku hanya beralasan saja. Sebenarnya, aku belum bisa menambah hafalan adalah karena malas. Bukan karena pelajaran yang terlalu berat sehingga menyita waktu dan fikiranku. Sekali lagi, maafkan aku untuk masalah ini. Aku takut, semakin banyak aku menghafal, semakin sulit aku menjaganya.

Setelah beberapa tahun mendiami negeri para nabi, aku semakin merindukanmu ibu. Aku rindu masakanmu yang enak. Yang selalu cocok dengan lidahku. Aku rindu kau marahi, kau bentak jika tak segera ke masjid ketika adzan. Aku merindukan bacaan ngajimu, suara merdumu. Aku merindukan air matamu yang tiap malam kau teteskan, menangis kepada Tuhan untuk keselamatnku, keberhasilanku di sini. Diam-diam kau sangat menyayangiku. Engkau dan bapakku yang secara kompak senantiasa mengirimkan kucuran do’a dan semangat. Agar aku rajin belajar, agar aku cepat kembali ke pangkuanmu. Ibu, aku merindukan seluruh dirimu, jiwa dan raga. Semoga Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu. Sebab, aku belum bisa membalas apa-apa akan jasamu. Ibu, do’akan aku bisa segera kembali kepadamu. Mengabdikan diriku![]


Note: “Spesial kutulis surat ini untuk engkau, ibu Isti’anah, di hari dimana orang-orang menyebutnya hari ibu. Semoga Allah Yang Maha Kuasa selalu menjagamu, agar kau terus ada untuk mendo’akanku!”

Kairo, 22 Desember 2008
Anakmu

Baca Selanjutnya...!...

Cathar Edisi Idul Qurban (part 3)

Sunday, December 14, 2008


Semburat Senja di Balik Menara

H+2 Idul Qurban aku berniat istirahat di rumah. Flu yang sedari kemarin menyerang semakin garang. Kini tubuhku bertambah meriang. Maka pada hari tasyrik kedua ini lebih baik aku berdiam diri di kamar, menghindari hawa dingin di luar sana. Seperti biasa aku hanya beraktivitas di depan komputer, chating, browsing dan membaca berita-berita terkini. Hingga di sudut siang, sekitar pukul 13.00 CLT, tiba-tiba ada yang menyapaku lewat YM.
“Ting, jalan-jalan yuk!” Exan yang ada di Gami’ mengajakku.
“Hem, ke mana emang?” tanyaku memberi harapan.
“Ke Azhar Park.” Exan menjawab lugas.
“Emang kenapa kok tiba-tiba ngajak keluar?” selidikku lebih jauh.
“Lagi stress...” keluhnya.
“Stress kenapa?” desakku ingin tau.
“Ada dech...!” kali ini jawabannya nggak lugas, menyembunyikan sesuatu.
“Wah, sebenere seh aku lagi gak enak badan, lagi flu. Tapi kalo ada yang ngajak jalan-jalan, trus mau bayarin ongkos naik bus plus tiket masuk Azhar Park, siapa taakuuut!”
“Ok, kalo gitu aku siap-siap dulu, nanti aku ke rumahmu!”
“Siiip, aku juga mau sholat Dzuhur dulu! Eh, jangan lupa juga beli batrei kamera dua pasang yaw, nanti kita jepret-jepret di sana!”
“Ok, beres boss!”

Lagi-lagi aku tak ingin membuang kesempatan untuk dapat merasakan momen lebaran di Azhar Park, sebuah taman di Kairo yang menurutku paling eksotik dibanding yang lainnya. Maka kali ini aku tak menghiraukan sakitku. Siapa tau dengan jalan-jalan, melihat pemandangan hijau daun di taman aku justru sembuh.

Pukul setengah dua Exan datang. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk kamera dan syal yang aku masukkan tas, kamipun berangkat. Jika ingin mencari jalur langsung, berarti kami harus naik bus nomer 65 kuning, yang memang melintas di depan Azhar Park. Kalaupun tidak, kami juga bisa naik bus 80 coret, turun di depan gedung Masyikhoh Azhar, Darrosah, lalu jalan kaki ke Azhar Park.

Siang ini panas, cerah. Tak seperti dua hari sebelumnya yang gelap. Sesampai di halte bus Musallats, aku mulai membuka pembicaraan.
“Emang ada apa nih, kok tadi katanya lagi stress?”
“Ya lagi ada problem aja.” Jawab Exan datar.
“Tapi bukan sama 'Jamela', kan!” aku coba menebak.
“Iya, sama 'Jamela'. Cuma salah faham kok!” Exan mengiyakan.
“Oh, ya biasalah, namanya juga sedang menjalin hubungan, tentunya salah faham adalah bumbu keseharian yang akan mendewasakan.” Lalu aku melanjutkan, “Eh, tau nggak? Dulu aku sama Ari, ketika sempet kehujanan di Abbas el-Akkad, aku sempat berujar: wah, langitnya gelap, udaranya dingin! Kemudian Ari menjawab: memang langit gelap dan angin dingin, tapi hatiku terasa hangat karena mentari saat ini sedang bersarang di hatiku!”
“Trus, kalo untuk mengungkapkan suasana saat ini gimana?” Exan bertanya menguji.
“Ya berarti kebalikannya. Langit begitu terang dan udara cukup hangat. Sementara hatimu gelap dan dingin karena siksaan cinta!” aku mengejeknya, dan kami berdua tertawa.

Aku tak melanjutkan pembahasan soal penyebab stresnya Exan. Dan ternyata dia punya topik pembicaraan lain sembari menunggu bus. Yaitu tentang prosesi kurban. Beberapa hari sebelumnya dia memang sempat menelponku, menanyakan tentang hukum kulit binatang kurban. Apakah boleh jika seandainya kulit itu dijual, lantas dibelikan daging, kemudian dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan? Apakah itu juga terhitung kurban?

Kala itu aku yang masih dalam kondisi setengah sadar dari tidur berusaha menjawab sekenanya. Aku bilang bahwa, jika kulit binatang kurban itu dijual lalu dibelikan daging untuk dibagi-bagikan, tidak bisa disebut bagian dari kurban. Namun lebih mendekati sedekah biasa. Saat itu ia mengiyakan jawabanku, karena nampaknya sedang tergesa-gesa.

Tapi kali ini dia mencoba menyampaikan beberapa argumennya, mungkin dia sudah membaca. Bahwa hal semacam itu tidak boleh dilakukan. Intinya, bahwa segala bagian dari tubuh binatang itu wajib dibagikan terlebih dahulu kepada para mustahiqnya. Termasuk kulit binatang dan kepalanya. Sebab sebagaimana yang jamak terjadi di Indonesia, masyarakat seakan telah salah kaprah, bahwa kepala binatang kurban selalu dijadikan upah bagi si penyembelih. Padahal, menurut syari’at, hal semacam itu kurang tepat. Yang lebih absah adalah, sang pengurban (mudhahhi) harus menyediakan upah berupa uang kepada penyembelih. Sementara seluruh bagian tubuh binatang harus diberikan cuma-cuma, dengan tanpa dihitung sebagai upah.

Diskusipun terus berlanjut, 10 menit, 20 menit, 30 menit hingga 40 menit kami berdiri di halte. Bus bernomer 65 dan 80 tak kunjung datang. Kami sempat berfikir untuk mencari alternatif jalur lain. Artinya kami bisa naik jalur tak langsung. Namun kami urung. Sudah terlanjur lama kami menunggu. Bisa jadi nanti kami naik jurusan lain, tiba-tiba 65 datang di belakang kami. Pasti menyesal.

Tak lama setelah itu, yang ditunggu akhirnya datang juga. Dari kejauhan terlihat bus 65 kuning yang sudah tampak renta. “Ah, untung tadi kita tak jadi naik angkot, pasti bakal nyesel. Alhamdulillah, penantianpun berujung. Sudah hampir jam 3. Yasudah nanti sesampai di sana kita langsung sholat Ashar”.

Pada awalnya kami berdiri. Tak ada tempat duduk. Namun di tengah perjalanan kami bisa duduk juga. Sampai di daerah Darrasah jalan mulai macet. Ada apakah gerangan? Tanyaku dalam hati. Bus melaju pelan menuju arah Azhar Park yang sudah terlihat dari kejauhan. Aku melihat deretan mobil cukup panjang di depan bus yang aku tumpangi. Kamipun memutuskan untuk turun dan jalan kaki.

Sesampai di depan gerbang Azhar Park aku cukup surpraise melihat ratusan orang mengantri di depan loket pembelian tiket. Kemacetan jalan di depan Azhar Park ternyata disebabkan oleh banyaknya mobil yang akan masuk kawasan taman, mengantri, sehingga menyebabkan macet. Sungguh ramai Azhar Park kali ini. Aku baru tahu jika pada hari-hari lebaran suasana semakin ramai. Tak hanya itu, aku juga kaget melihat tarif tiket yang lebih besar dari biasanya. Jika pada hari-hari biasa kita cuma perlu mengeluarkan 3 Pound untuk dapat masuk, kali ini harga satu tiket senilai 7 Pound.

Setelah melewati petugas pemeriksa di pintu masuk, kami segera menuju ke musholla untuk sholat Ashar. Mengingat angka jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 16.00, seusai sholat kami langsung hunting mencari tempat strategis untuk memotret senja hari yang begitu menawan.

Pantas saja kalau tiketnya mahal. Ternyata di dalam taman ada berbagai pertunjukan yang dibuka untuk umum. Di antara pertunjukan yang digelar adalah musik plus tarian sufi ala Turki, drama-drama singkat yang lucu nan kocak, juga ada penampilan musik klasik ala Ummi Kulsum. Mungkin karena inilah tiket lebih mahal, karena telah dihitung dengan biaya pertunjukan yang digelar di dalam taman, di ruang terbuka.

Untuk sementara aku dan Exan tak menghiraukan pertunjukan itu, karena kami disibukkan dengan acara potret-potret dan narsis ria. Tinggal ada waktu satu jam menanti senja. Oleh sebab itu kami segera naik ke dataran tertinggi di Azhar Park. Dari situ kami dapat menikmati panorama kota tua Kairo Fathimiyyah yang dikelilingi tembok. Aku jadi teringat akan tembok besar China. Namun tentunya yang di sini lebih kecil, lebih tipis.

Tiga gerbang utama; yaitu Bab al-Futuh, Bab al-Nasr dan Bab Zuwayla yang merupakan pintu gerbang Kairo Fatimiyyah terlihat gagah. Dari situ pula kami dapat melihat masjid al-Azhar, masjid Husein, dan masjid-masjid lainnya yang bedara di kawasan Kairo Fathimiyyah. Gedung-gedung hotel yang tinggi menjulang di kawasan Tahrir dan Nil juga terlihat megah. Di sisi lain, kami dapat menikmati pemandangan Jabal (gunung) Muqattam, lalu benteng Sholahuddin al-Ayyubi, dan yang paling terlihat megah adalah masjid Ali Pasha yang terletak di dalam benteng. Menelisik lebih jauh lagi, lamat-lamat kami mendapati dua sosok piramid yang lancip menusuk langit.

Sungguh pemandangan yang eksotik. Di atas daratan tinggi Azhar Park, kami berfantasi jeprat-jepret matahari senja, yang hampir berpulang ke peraduannya. Semakin petang matahari kian tenggelam di balik menara. Kami sempat mengabadikan ketika sang surya menancap di pucuk menara. Namun pemandangan itu tak berlangsung lama. Ia terbenam di balik piramida. Di ufuk barat negeri seribu menara.

Oh, sungguh indah panorama negeri senja. Aku tak pernah jemu untuk selalu menanti dan memburu matahari senja. Mengabadikan ronanya, lalu aku simpan dalam kelopak mata dan hati. Agar indahnya tak kunjung sirna. Hingga aku kembali ke tanah air. Lalu menceritakan keindahan-keindahan itu, kepada mereka semua yang kucinta. Semoga tak hanya indahnya mentari senja yang kuraup di sini. Namun juga mutiara-mutiara lain yang berserakan di bebalik bulir-bulir pasir gurun sahara.

Malam itu, di taman al-Azhar, udara begitu dingin. Aku dan Exan menggigil menahan terpaan angin yang menusuk pori-pori. Namun rasa itu dapat kami usir dengan melarutkan diri di antara kerumunan para pendatang yang menyaksikan pertunjukan. Sebagian berjoget, menari dan bertepuk tangan. Di hari lebaran ini, lagi-lagi aku larut dalam kebahagian, mensyukuri kejutan-kejutan dari Tuhan. Nikmat apalagi yang akan aku temui esok? Mampukah aku mensyukurinya? Dan, dalam gelapnya malam aku menyadari bahwa esok adalah misteri. Namun di saat yang sama esok berarti mimpi. Betulkah?


Kampus biru Misykati; Rabu, 10 Desember 2008

Baca Selanjutnya...!...

Cathar Edisi Idul Qurban (part 2)

Saturday, December 13, 2008


Anugrah itu Bernama Kebersamaan

Sesuai jadwal, peta perjalanan hari kedua lebaran Idul Adha 1429 ini adalah ke Muqattam, mengambil daging di rumah Syeikh Muhammad Khalid Tsabit, pemilik percetakan Darul Muqattam. Tradisi semacam ini memang sudah menjadi sunnah tahunan beliau, menyembelih kurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada para mustahiq (penerima daging kurban). Tak pernah ketinggalan, kami, grup Hadrah PCINU Mesir yang setiap bulannya selalu menghadiri halaqah maulîdiyyah (pembacaan sholawat atas Nabi) di rumah beliau, pun turut kebagian daging kurban.

Kali ini aku dan Wawak yang akan mengambil daging itu, lalu dibagi-bagikan kepada teman-teman grup Hadrah. Sedianya kami berniat untuk berangkat tepat setelah Dzuhur. Namun karena satu dua hal sehingga menyebabkan keberangkatan kami tertunda, hingga pukul 1 siang.

Kami keluar dari flat menuju halte Musallats untuk menunggu angutan jurusan Hay Sabi’ (Kampung Tujuh). Pada hari-hari biasa kami akan dengan mudah mendapatkan angkutan ke arah Sabi’. Namun kali ini ternyata tidak semudah biasanya. Kami menunggu cukup lama di halte. Meskipun demikian, kami tak merasa bosan karena ada kamera milik Yanto yang masih aku pinjam. Lalu aku sempatkan mengambil potret langit mendung yang siang itu menyelimuti bumi. Hari ini tak jauh beda seperti hari sebelumnya. Langit gelap karena matahari tertutup awan hitam. Semoga nanti turun hujan. Agar aku bisa mengabadikan rintikan-rintikan air langit yang sangat jarang membasuh bumi ini.

Beberapa angkutan melena di hadapan kami dengan penuh sesak. Tak ada tempat duduk kosong yang bisa menampung kami. Tak lelah kami terus mengacungkan jari tengah dan jari telunjuk (sebuah isyarat untuk menunjuk angka tujuh, karena kami hendak menuju Kampung Tujuh) tatkala ada angkutan yang datang.

Setelah beberapa saat, akhirnya ada juga angkutan jurusan Sabi’ yang melaju pelan menghampiri kami, namun hanya menyisakan satu kursi. Ah, dilematis! Jika tak naik maka kami akan semakin telat. Tapi jika naik tinggal tersisa satu kursi. Tak berfikir panjang dan kamipun naik angkutan itu. Wawak menuju kursi paling belakang, sementara aku berdesakan dengan penumpang yang duduk di bangku dekat pintu. Tak apalah, yang penting sampai, meskipun rada capai.

Sesampai di Sabi’, kami segera mencari angkutan jurusan pasar Muqattam. Kami langsung dapat, naik, angkutan penuh, melaju, dan sampailah kami di sana. Perjalanan kami belum final, karena masih harus berganti angkutan lagi jurusan Sayyidah Aisyah untuk dapat turun di depan Masjid al-Quds. Adapun rumah Syeikh Khalid terletak di sebelah masjid Quds.

Kami naik angkutan jurusan Sayyidah Aisyah dan sampailah ke tujuan. Baru turun dari angkot, dari kejauhan kami melihat tiga sosok laki-laki yang tak asing lagi. Mereka adalah para aktivis Said Agil Shirat Center (SAS center) PCINU Mesir yang juga mengambil jatah daging. Mereka memang telah lama menjalin kerjasama dengan Syeikh Khalid dalam hal penerbitan. Kami saling bertutur sapa secukupnya, lalu aku dan Wawak langsung menuju pintu gerbang.

Setelah kami dipersilahkan masuk ke ruang tamu, tak lama kemudian Syeikh Khalid datang dengan membawa dua kantong plastik daging. Satu kantong berisi 6 Kg dan satunya lagi berisi 4 Kg. Berarti total jatah untuk teman-teman Hadrah ada 10 Kg.

Di ruang tamu yang berukuran cukup luas itu kami sempat berbincang-bincang dengan Syeikh Khalid. Ketika kami mengatakan bahwa saat ini kami sudah tingkat terakhir di Universitas al-Azhar, beliau menanyakan apakah kami hendak melanjutkan ke jenjang S2 atau tidak. Kami berdua menggelengkan kepala. Namun aku sempat menjelaskan, bahwa aku masih ada keinginan untuk melanjutkan, namun kesemuanya tergantung orang tua di Indonesia. Percakapan pun berlanjut ke sana ke mari, hingga adzan Ashar berkumandang. Kamipun segera pamit undur diri mengingat Syeikh Khalid nampaknya juga masih banyak kesibukan.
...

Sekitar pukul 15.30 kami sampai di rumah. Di sana telah ada beberapa kawan Misykati berkumpul. Melihat ada beberapa kawan, aku berinisiatif untuk mengajak mereka bakar sate bersama. Rencana ini memang sudah terngiang jauh-jauh hari sebelum hari raya. Pada saat itu, daging yang ada hanya 2 Kg, yaitu jatahku dan jatah Wawak. Sementara 8 Kg lainnya harus dibagikan ke seluruh anggota Hadrah. Tak mengapa, 2 kilo sudah cukup banyak jika dibuat sate.

Setelah sejenak berunding, merekapun sepakat untuk nyate. Kemudian kami membagi tugas. Fuad, ketua Misykati (Keluarga Alumni MAKN/MAPK Solo), siap untuk mencari arang dan tusuk sate yang keduanya harus dibeli di toko. Aku dan beberapa kawan menyiapkan tempat pembakaran sate, yaitu di balkon, dan menyiapkan beberapa perlengkapan lainnya. Sementara Nashif (anggota Misykati yang tinggal di Katamea) dan beberapa kawan, memotong-motong daging dengan ukuran standar sate.

Kami sepakat untuk mulai pe-nyate-an setelah Maghrib. Jujur pada saat itu sebenarnya kondisi tubuhku sangat capai dan panas dingin. Sebab sejak dua hari sebelumnya aku sudah diserang flu. Namun demi sebuah kebersamaan aku menghiraukan rasa sakit dan capai, dengan turut serta dalam proses nyate.

Momen seperti ini bagiku sangat mahal. Beberapa kawan seangkatan ketika masih di Madrasah Aliyah Solo berkumpul di rumahku, yang tiada lain adalah sekretariat Misykati. Dengan seperti ini kita bisa kembali bernostalgia bahkan bernostalgila, mengingat masa-masa di asrama. Tentang kekonyolan kami, tentang kisah asmara, dan segala hal yang membuat suasanya semakin seru dan bersemangat.

Aku membakar arang di atas kompor gas terlebih dahulu, sebelum akhirnya kupindahkan ke sebuah tempat yang disiapkan untuk pembakaran. Sebab tentunya akan sangat sulit jika menyalakan arang menggunakan korek api. Atau jika menggunakan minyak gas, akan menimbulkan bau tak sedap pada daging. Itulah jalan satu-satunya yang terbaik. Dengan sabar aku membakar arang sedikit demi sedikit, hingga akhirnya terkumpul dan siap untuk pakai.

Nashif dan beberapa kawan yang bertugas memotong dan menusuk daging juga telah siap. Aku menyiapkan bumbu sate, yaitu potongan bawang merah, cabai, tomat, dkk, yang dicampur dengan kecap ABC asli Indonesia. Setelah itu mulailah proses nyate.

Nampaknya kurang lengkap jika hanya ada sate. Karena kebetulan ada tambahan rizki daging dari seorang teman, kamipun bermaksud membuat gulai sebagai pelengkapnya. Qodir, anggota Misykati yang juga Direktur Griya Jawa tengah, dengan sigap merebus sisa daging lainnya. Akupun siap untuk meracik bumbunya.

Maka malam hari itu lengkaplah hidangan lebaran Idul Adha. Mengingat porsi yang ada cukup banyak, kami mengundang kawan-kawan Misykati lainnya yang tinggal tak jauh dari sekretariat. Dan, malam hari itu adalah sebuah anugrah yang berlipat ganda. Selain mendapatkan anugrah daging kurban, kamipun dapat mengeja kebersamaan. Menyukuri selaksa nikmat yang senantiasa mengucur dari langit, begitu deras dan tak pernah putus. Betapa suasana seperti inilah yang nantinya pasti meninggalkan kesan mendalam, menimbulkan rasa rindu kepada teman. Seseorang yang pernah berjuang bersama, seseorang yang pernah membagi duka dan bahagia.

Benar jika ada yang mengatakan, bahwa sesuatu akan terasa sangat berharga ketika ia justru telah jauh dari kita. Sungguh, betapa anugrah dari Tuhan begitu agung, luas, dan tak pernah terhitung jumlahnya.[]

Kampus biru Misykati; Selasa, 9 Desember 2008

Baca Selanjutnya...!...

Cathar Edisi Idul Qurban (part 1)


Barangkali Ini Idul Adha Terakhirku Di Bumi para Nabi

Usai mengikuti ritual sholat Ied, khutbah dan ramah tamah yang diselenggarakan KBRI Kairo di Masjid Assalam, Nasr City, aku bersama kawan-kawan serumah segera pulang. Pada awalnya aku berniat untuk istirahat sejenak di rumah, karena setelah Dzuhur aku harus ke Muqattam untuk mengambil daging dari Syeikh Muhammad Khalid Tsabit, pemilik percetakan Darul Muqattam. Namun, di tengah perjalanan pulang yang kutempuh dengan jalan kaki, aku berinisiatif untuk menelpon beliau, memastikan apakah pengambilan daging benar hari ini. Ternyata, setelah aku menanyakan, beliau menjawab, pengambilannya ditunda esok. Kebetulan, bisa lebih longgar waktunya!

Sesampai di rumah, ada semacam perasaan gundah menelusup ke hati. Bisa jadi ini adalah Idul Adha terakhirku di sini, di negeri para nabi. Lalu apa yang harus aku lakukan dalam momen spesial ini? Otakku terus berpikir, mencoba mencari alternatif solusi yang bisa aku tempuh guna menenangkan hati. Andai saja aku punya kamera, aku ingin jalan-jalan di sepanjang jalan untuk memotret setiap aliran darah yang ditimbulkan oleh penyembelihan hewan kurban.

Sebab, sebagaimana yang kutahu selama ini, penyembelihan kurban biasanya dilakukan di sembarang tempat, di pinggir-pinggir apartemen, di pinggir jalan, dan anehnya mereka tidak membuat semacam kubangan untuk menampung darah hewan sembelihan. Namun mereka langsung saja menyembelihnya dan setelah itu darah yang mengalir di lantai-lantai atau di aspal-aspal diguyur dengan sentoran air dari pipa selang panjang. Walhasil, di pinggir-pinggir sepanjang jalan secara alami membentuk aliran darah yang memerah. Bagaimana tidak, tata kota yang ada memang tidak menyediakan selokan-selokan sebagaimana di Indonesia. Oleh sebab itu darah yang mengalir bisa menerobos ke mana saja, bahkan tumpah ke jalan raya sekalipun.

Tak hanya itu, terkadang beberapa orang iseng melumuri telapak tangan mereka dengan darah, kemudian distempelkan ke punggung-punggung mobil. Sebuah pemandangan yang sebenarnya mengerikan nan menjijikkan, namun di sini justru menjadi unik. Nah, pemandangan dan momen seperti inilah yang kali ini ingin kuabadikan sebagai kenangan kelak ketika aku telah kembali ke tanah air.

Beberapa saat setelah berfikir, aku menyalakan komputer dan meng-OL-kan YM. Ada Aan Zainul Anwar yang sedang Online di sekretariat NU, Bawwabah Dua. Juga ada beberapa kawan lain. Namun aku tertarik untuk menyapa Aan, mencoba iseng menanyakan kepadanya tentang peta perjalanan hari ini. Awalnya ia menjawab datar, belum ada rencana. Lalu aku utarakanlah niatku untuk mengajaknya jalan-jalan. Sebab, di sekretariat NU tentunya ada kamera yang bisa dipakai untuk jepret-jepret. Tawar menawar lewat chating.
“Jadi mau pergi ke mana nih?” tanya Aan.
“Aku juga belum tau, yang penting jalan aja. Memotret setiap tempat penyembelihan kurban yang banyak darah-darahnya” usulku agak konyol.
“Wah, asik juga tuh!” jawabnya cukup antusias. “Iya tapi kemana?” tanyanya lagi.
“Hem, ada usul?” aku kembali bertanya.
“Gimana kalo ke Mohandisin?”
“Wah, kalo Mohandisin kan daerah perkotaan, jadi kurang seru, kita nyari yang ada nuansa desa-desanya!”
“Yaudah kalo gitu ke Syubro aja!”
“Wah, terlalu jauh An!”
“Trus ke mana dunk?”
“Aku juga bingung. Tapi yang jelas kita harus berani jalan kaki kalau mau dapet foto!”
“Ah, kita naik bis aja Luth!”
“Iya tapi kemana?”
“Naik Jurusan Ahrom (Piramid) aja yuks, kan nanti lewat Tahrir, KBRI, Jami’ah Qahirah, dll. Gmn!”
“Terserah deh, asal kamu yang bayarin. Aku lagi nggak punya duit!”
“OK, nggak papa!” Aan setuju untuk take over ongkos jalan.

Namun, lagi-lagi aku belum merasa puas. Kalau cuma kamera NU rasanya kurang. Lalu muncullah keinginan untuk pinjam kamera di Rumah Budaya yang lebih keren. Aku telponlah Tabrani Basya, pengatur umum Rumah Budaya. Tapi sayang, jawaban yang aku dapat nihil. Sebab kameranya ternyata di bawa salah seorang anggota Rumah Budaya yang sedang menunaikan ibadah haji. Alternatif pertama gagal.

Aku mencoba mencari alternatif lain. Pinjam kamera Yanto, koordinator LSBNU, yang tipenya sama persis seperti kamera Bumah Budaya. Kemudian aku telpon Yanto. Deal! Alhamdulillah, akhirnya dapet juga kameranya. Kebetulan lagi nggak dipakai, jadi bisa aku pinjam. Ya, meskipun aku bisa ngambil kameranya baru pukul 1 siang, tak apalah meskipun molor. Yang penting dapet kamera bagus untuk potret-potret. Pukul 1 siang, aku masih belum beranjak dari kamar, hingga akhirnya Yanto menyapa lewat YM.
“Mas, kameranya dah bisa diambil nih, di TC (Tebu Ireng Center)”.
“OK To, nanti aku ambil. Kamu nggak ke mana-mana kan!”
“Enggak sih Mas, tapi kalo nanti saya pergi pun bisa kutitipkan sama orang di sini!”
“OK, seep, soalnya aku masih nunggu alarm dari Aan nih. Kayae tadi dia bilang mo Istirahat dulu sebentar.”
“Yaudah santai aja, Mas!”
“Thanks!”

Setelah itu aku sholat Dzuhur dan bersiap untuk meluncur ke TC. Pukul 2 siang aku baru keluar rumah, langsung menuju TC untuk mengambil kamera. Tak lama kemudian aku menuju Rumah Budaya yang bersebelahan dengan TC untuk mengambil Buletin MAKAR (Media Kebudayaan Rakyat) yang tadi sempat dibagikan di Masjid, namun aku pulang duluan sehingga tidak kebagian. Selepas itu aku menelpon Aan.
“An, sepuluh menit lagi kita ketemuan di depan market Habas Bawwabah tiga ya”.
“Wei, gitu ya, ok deh?!”
“Iya, aku sekarang sedang jalan melewati Suq Sayyarot (pasar mobil), bentar lagi sampai!”
“OK!”

Sembari berjalan, aku mengamati suasana sekeliling yang sepi. Meskipun tak dipungkiri juga masih banyak mobil yang lalu lalang, namun suasana lengang seakan menyergap alam kala itu. Masih pukul setengah 3 sore, namun langit terlihat gelap. Beberapa awan yang bergelantung di langit membentuk formasi acak yang sempat tertangkap kamera. Aku potret langit gelap, awan berarak dan jajaran tiang-tiang listrik yang menjulang di sepanjang Suq Sayyarot. Beberapa kakek tua dan nenek-nenek serta ibu-ibu duduk berjarak di setiap pinggir jalan. Apa yang mereka lakukan? tanyaku dalam hati. Oh, mungkin mereka sengaja parkir menunggu para dermawan yang membagikan daging atau sedekah uang! aku mencoba menerka-nerka. Ternya dugaanku benar, ketika aku melihat sebuah mobil yang berhenti di dekat mereka lalu memberikan bungkusan-bungkusan daging. Beberapa orang yang pada awalnya duduk lebih jauh berlari mendekati mobil, berharap mendapat bagian.

Tak lama kemudian aku sampai di Habas. Aku menunggu Aan yang sudah aku prediksikan datang terlambat. Aku belum sholat Ashar. Sementara adzan sudah berkumandang. Aku sholat dimana ya? Ah, di sini saja, biasanya juga para pegawai Habas kalau waktu sholat juga berjamaah di halaman depan market. Tapi kali ini, aku tunggu-tunggu mereka tak kunjung menggelar tikar untuk sholat. Oh, ternyata aku mendapati mereka sholat di dalam ruangan. Yah, nggak bisa ikutan sholat dunk kalo gini caranya. Lalu Aan datang.
“Sudah sholat?”
“Sudah, dunk!”
“Wah, aku belum nih An, sholat dimana ya?”
“Yaudah gini aja, kita naik angkot ke Sabi’ dulu, nanti kan di deket terminal sana ada masjid. Kamu sholat dulu aja di sana sembari nunggu bis jurusan Ahrom!”
“OK, yuk kita kemon!”

Lalu kami naik angkutan ke Sabi’. Sampai di sana langsung menuju masjid. Aku sholat Ashar. Setelah itu kembali ke terminal. Bus jurusan Ahrom sudah ada. Tapi ia diparkir tanpa ditemani sopir. Entah ia kemana. Kami tak langsung masuk, namun memilih menunggu di luar bus sambil motret-motret suasana sekitar. Di sebrang jalan berderet penjual kambing yang membiarkan kambing-kambingnya berkumpul tanpa diikat. Nampaknya mereka sudah sebegitu jinak, jadi tak butuh tali pengikatpun mereka tak bakal lari. Ughh, tak seperti di Indonesia!

Beberapa saat kemudian datanglah sang sopir. Lalu beberapa orang yang sebelumnya menunggu di luar bus segera naik. Begitu pula kami. Greng..greng.. sang sopir mulai menyalakan mesin bus. Lalu meluncurlah kami menelusuri jalan Kampung Tujuh, Rab’ah Adawea, Nadi Sikkah, Damardasy, Ghamrah, Ramsis, lalu sampailah ke Tahrir.

Nah, karena kami naik bus, akhirnya keinginan awal untuk jepret-jepret aliran darah gagal. Bagaimana bisa motret, sementara kami di atas bus yang berkaca buram, melaju kencang karena jalanan lengang. Oleh sebab itulah selama perjalanan kami berubah pikiran untuk mencari obyek jepretan di sunagi Nil, sebrang Tahrir. Maka turunlah kami di depan Mugamma, gedung departemen dalam negeri Kairo urusan kependudukan. Di situ kami mendapat view yang cukup bagus untuk bernarsis ria.

Setelah puas jeprat-jepter di depan Mugamma, kami berjalan menuju Nil. Tak kusangka ternyata di sana begitu ramai. Pagar sepanjang Nil sampai tak kelihatan karena penuh kerumunan manusia. Oh, baru tau aku, ternyata masyarakat Mesir juga suka menghabiskan waktu lebaran untuk berlibur atau sekedar refreshing di sunagi Nil.

Sampai di Nil pukul 4 lebih sedikit. Ah, masih ada beberapa saat menanti senja di sana. Lalu kami berniat untuk naik perahu menyusuri Nil. Di atas perahu itulah nantinya kami akan kembali bernarsis ria, berpose tanpa dosa, tak menghiraukan keramaian sekeliling. Ah, masa bodoh, jika tak sekarang kapan lagi bisa foto-foto di Nil, siapa tau lain waktu sudah tak sempat lagi.

Senja datang. Matahari merah merona. Aku mengabadikan Kairo senja di sungai Nil yang penuh berkah. Kuambil potret matahari yang mulai tenggelam di bebalik bangunan tinggi menjulang. Langit yang petang semakin menjadikan nuansa kontras antara hitam, kuning dan kemerahan. Kami melanjutkan perjalanan menyusuri tepian Nil dengan jalan kaki. Di bawah payungan awan yang kehitam-hitaman, membentuk arsiran hitam putih di lembaran langit. Aku kembali bergumam syukur untuk kesempatan senja ini. Sungguh indah karya agung Tuhan; matahari, sungai Nil dan Mesir.

Meskipun tak berhasil merealisasikan niat awal mengambil gambar-gambar darah, tapi Tuhan menggantinya dengan kesempatan mengambil potret senja di sungai Nil. Dan, sekali lagi hal ini lebih baik ketimbang aku hanya duduk bermalasan di kamar. Sebab dengan bergerak, kita akan mendapatkan sejuta hikmah yang luar biasa mahalnya. Lebih mahal dari sekedar uang transport. Lebih mahal dari sekedar biaya beli batrei kamera. “Dan sesungguhnya dalam setiap gerak akan ada barokahnya!”[]

Kampus biru Misykati; Senin, 8 Desember 2008.

Baca Selanjutnya...!...

Bersedekah untuk Akhirat

Monday, December 08, 2008

Oleh: Mohammad Luthfi al-Anshori

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tatkala seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) seluruh amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendo’akan (orang tua)nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Melalui hadits di atas, Rasulullah menginformasikan kepada kita, bahwa ternyata ada beberapa amalan manusia di dunia, yang ketika ia telah mati pahalanya masih terus mengalir selamanya. Di antara amalan itu adalah sedekah, yang mana ia bersifat lebih umum dibandingkan zakat.

Sebagian kalangan beranggapan bahwa kewajiban seorang muslim terhadap hartanya hanya terbatas pada penunaian zakat saja. Setelah menunaikan zakat, tuntaslah kewajibannya atas harta yang dimiliki. Padahal, di samping zakat, ada juga perintah agama tentang anjuran bersedekah. Yang mana, sedekah mempunyai dimensi yang lebih luas, yaitu memberikan bantuan berupa apa saja kepada setiap yang membutuhkan. Dan, sedekah bisa dilakukan kapan saja, tak harus menunggu momen tertentu.

Oleh sebab itulah, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa bersedekah. Di samping dalam rangka membantu sesama guna meringankan beban, pahala sedekah juga mengalir terus hingga Hari Perhitungan (hisâb). Bersedekah adalah bekal hidup di akhirat.

Lalu, benarkah bersedekah selalu identik dengan pemberian sesuatu kepada seseorang? Jika demikian, berarti orang miskin tak punya kesempatan untuk bersedekah? Pertanyaan dan ungkapan seperti ini konon pernah juga dirasakan oleh para sahabat Nabi.

Yaitu seperti yang dikisahkan oleh Abu Dzar, bahwa sekelompok sahabat Nabi pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu pergi dengan membawa gaji yang banyak. Padahal mereka mengerjakan sholat sebagaimana kami juga mengerjakannya, mereka berpuasa sebagaimana kami juga berpuasa dan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka!?”

Kemudian Rasulullah menjawab: “Tidakkah Allah juga telah menjadikan apa yang kalian miliki untuk kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap kalimat tasbîh yang kalian ucapkan adalah sedekah, setiap takbîr adalah sedekah, setiap tahmîd adalah sedekah, setiap tahlîl adalah sedekah, setiap amar ma’ruf kalian adalah sedekah, setiap nahi munkar adalah sedekah dan setiap kalian mendatangi istri-istri kalian (jimâ’) adalah sedekah!” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa menyingkirkan duri dari jalanan pun dihitung sedekah (HR. Bukhari dan Muslim). Dan, masih banyak lagi dimensi-dimensi sedekah yang bisa ditempuh oleh siapa saja, baik si kaya maupun si miskin, tak pandang buluh. Demikianlah, betapa besar kasih sayang Tuhan kepada manusia, sehingga Dia menyediakan fasilitas yang begitu mudah untuk bersedekah, sebagai investasi setelah mati.[]

Baca Selanjutnya...!...

Air Mata Bayi

Thursday, December 04, 2008


Titah hidup tidaklah mudah
sebab dalam kefanaan
hingar bingar kesemuan
mengaburkan pandangan
menyilaukan
samar!

Maka menangislah bayibayi
ketika difonis hidup
menghirup bau bangkai dunia
dan aku tak pernah melihat ataupun mendengar
seorang bayi tertawa
ketika berhijrah dari gua garba
menuju semesta fatamorgana!

Namun manusia dititipi lupa!
Fitrah murni suci yang ia rasakan kala itu
akan diuji oleh waktu.
Masihkah tangis yang pecah
akan selalu singgah di sebongkah darah
membekas, mengilhami
dalam perjalanan membawa nyawa
hingga tutup usia?

Bagi yang menyimpan air mata
dalam sepanjang tempuhan raga
lalu menetes di sudutsudut muka
membasuh gersang jiwa
maka hiduplah mereka,
meski dunia memenjara!

Bagi yang miskin air mata
oleh sebongkah kecongkakan
membeku,
membatu,
mengunci mata hati
maka matilah mereka
meski dunia bak gelanggang kebebasan!

Aku ingin sekali
meneteskan air mata bayi
kesekian kali
berkali-kali
sebentuk tangisan
ekspresi kesadaran
akan beban dunia
hingga kubernafas penuh makna
hidup sebagai HAMBA![]

Cairo malam, 4 Desember 2008

Baca Selanjutnya...!...

Nabi dan Yatim Piatu

Oleh: Mohammad Luthfi al-Anshori

Berbicara tentang yatim piatu, kita tentu teringat akan baginda nabi Muhammad SAW. Sejak masih di dalam kandungan beliau sudah menerima takdir sebagai yatim. Lalu ketika berusia 6 tahun ia genap menjadi yatim piatu. Namun, bukan berarti lantaran hal tersebut sang Nabi menjadi lemah. Justru sebaliknya, ia menjadi pribadi yang kuat nan kokoh.

Allah SWT berfirman: “Bukankah Dia (Allah) mendapatimu (Muhammad) dalam keadaan yatim, lalu Dia melindungi(mu)” (QS. Al-Dluhâ [93]: 6).

Secara tidak langsung, ayat di atas adalah jaminan dari Allah SWT terhadap kehidupan Nabi. Meskipun tak ada figur ayah dan ibu yang mengasuhnya, namun justru Allah sendirilah yang secara langsung membimbing dan mengarahkannya. Adakah seorang pembimbing yang lebih baik dari Allah! “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang tersesat, lalu Dia memberikan petunjuk” (QS. Al-Dluhâ [93]: 7).

Lalu apakah rahasia di balik skenario Tuhan yang menjadikan Nabi yatim piatu? Di antaranya adalah untuk memberi contoh kepada segenap manusia, bahwa seseorang yang berstatus yatim piatu sekalipun pantang menyerah dan berputus asa. Jika ada yang mengatakan bahwa yatim piatu, miskin dan hidup serba kekurangan adalah penghalang bagi seseorang untuk dapat mencapai derajat tertinggi, maka Nabi Muhammad adalah bukti bahwa pendapat itu salah. Bukankah pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik! (QS. Al-Ahzâb [33]: 21).

Yatim piatu sesungguhnya merupakan ujian berat dari Allah terhadap para hamba-Nya. Jika bisa bersabar dan mampu berjiwa besar, ia akan naik derajat di sisi-Nya. Sehingga, terhadap orang-orang yang tidak yatim piatu, Allah mewanti-wanti agar tidak menghina ataupun menindas mereka. “Maka terhadap anak yatim janganlah engkau bertindak sewenang-wenang” (QS. Al-Dluhâ [93]: 9).

Sebaliknya, Allah SWT memerintahkan kepada setiap manusia agar menyantuni anak yatim serta fakir miskin (QS. Al-Balad [90]: 13-16). Begitu juga Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya, aku dan penyantun anak yatim berada di surga seperti ini! (Rasulullah kemudian -memberikan isyarat dengan- menunjukkan jari tengah dan jari telunjuknya) (HR. Sahl bin Sa’d dalam Shahih Bukhari). Dari hadits ini kita dapat membayangkan betapa dekat posisi Nabi dan para penyantun anak yatim kelak di surga.

Walhasil, dari uraian di atas sekurangnya kita bisa memetik 3 poin penting. Pertama, senantiasa meneladani Rasulullah dalam segala aspek kehidupan. Kedua, seandainya kita ditakdirkan sebagai yatim harus senantiasa sabar, tawakkal dan terus berjuang menuju titik kemuliaan. Ketiga, para penyantun anak yatim akan mendapatkan surga dan berada dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Wallâhu a’lam![]

Baca Selanjutnya...!...

Malammalam Pertarungan

Tuesday, December 02, 2008


Di malammalam dingin
aku mencoba memanasmanaskan
menggosokgosok otakku dengan bebukuan
bacaanbacaan beradu berjejalan
yang satu ingin segera masuk
yang lain tertimbun
dan lainnya lagi melarikan diri
ah tak mengapa
aku sengaja
agar tak gigil
memanggil.

Meskipun malam pekat beku mengusik
kugesekgesekkan nalar hati nurani
berbenturan bertabrakan
menghasilkan percikpercik kekuningan
aku tampung
aku sekat
dalam ruang segi empat.

Masih belum cukup
aku kobarkan perapian
kutumpuk konflikkonflik
segenap gundah resah gelisah
kemiskinanku yang tak jemu
menghampiri di setiap waktu
kukotakkotak
kugaris
kupanah
kupilah mana yang mudah
mana yang susah
lalu kuguyurlah semua
dengan minyak semangat hidup
aku tak ingin segera mati
menjadi salju atau abu?

Di luar gelap
pun di jalanjalan perumahan
bak setapak hutan yang suram
lampulampu dimatikan
sengaja dipadamkan
agar tak nampak melakukan kejahatan
gelap dipilih
untuk memperoleh makan
hasil rampokan?

Untung kupunya sekotak ruang
kudiami di malammalam
menghindari perampokan
mengumpulkan percikanpercikan tarang
hasil gesekangesekan bebukuan, bacaan
hingga konflik kemiskinan yang selalu kubanggakan
Ah.. di kamarku malammalam terang
meski penuh kesumpekan.[]

Kairo pagi, 3 Desember 2008

Baca Selanjutnya...!...

Atas Nama Pengorbanan?

Monday, December 01, 2008

Kubayangkan berkorban sebagai keharusan,
pengorbanan adalah pahlawan.

tapi,
Kulihat manusia hambur
lari takut gugur
disergap rasa banci
ingin melarikan diri
lalu,
berfikir makmur sendiri
urusanmu, urusanmu!
urusanku, urusanku!
aku berkorban untuk diriku
bukan untukmu, atau mereka!

sementara,
yang lain tertindas
memperjuangkan nasib tak jelas
dan,
negara kerontang
gizinya diserap serakah
para benalu bermuka ramah,
pengecut!

Maka, jika tak ada yang mau berkorban,
bersiaplah menunggu giliran untuk dikorbankan,
entah oleh apa atau siapa,
menjadi korban dari penghianatan berseragam!?[]


Kairo, 2 Desember 2008
_Didedikasikan untuk setiap yang masih mau berkorban demi sesama!
_Sekaligus sindiran bagi yang ingin menang sendiri, menduduki kursi-kursi empuk, sementara sesamanya tidur di atas kardus!


Baca Selanjutnya...!...